Al-Wara’ - SANTRI ENDONESA

Tiada Kata Terlambat Untuk Belajar

Breaking

Home Top Ad

W E L C O M E

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, August 22, 2018

Al-Wara’



Al-Wara’
Oleh: Wildan El Mazir (U20162022)
            Kata Al-Wara’ secara harfiah berarti shaleh, menjauhkan diri dari segala tindakan yang berbau tidak baik atau dosa. Bagi kaum sufi, Al-Wara’ dimaknai sebagai suatu tindakan manusia yang selalu menjauhi perilaku-perilaku yang di dalamnya terdapat Subhat; yakni sesuatu yang mengandung keragu-raguan antara halal dan haram.
            Dalam pandangan para sufi, sesuatu yang haram akan menyebabkan noda hitam di dalam hati yang pada akhirnya dapat mematikan hati yang karenanya tidak dapat behubungan dan dekat dengan Allah. Karena itu, para sufi pun sangat berhati-hati, sesuatu yang memang tidak jelas kehalalan dan keharamannya pun musti ditinggalkan.
            Ibrahim bin Adham mengatakan:

            الورع ترك كل شبهة وترك مالا ىعنىك وهو ترك الفضلا ت   
            Artinya;
“Wara’ adalah meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan. ”   
            Dari engertian ini sudah terlihat bahwa Wara’ bukan saja meninggalkan yang syubhat tetapi juga berbagai kenikmatan yang halal yang dianggap tidak penting.
            Pemahaman semacam ini dilandasi   pada sebuah sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits berikut ini:

عن ا لحسن بن علي رضى لله عنها قا ل، حفظت من رسو لله عليه وسلم دع ما يريبك الي ما يريبك. رواه الترمذى
            Artinya;
“Dari Husain bin ali r.a. ia berkata; Saya selalu ingat pada sabda Nabi Muhammad SAW, yaitu; Tinggalkan hal yang meragukannmu dan kerjakanlah sesuatu yang tidak meragukanmu.        (HR. Titmidzi ) 
            Dalam kehidupan sehari-hari perilaku Wara’ sufi ini akan terlihat dari prilaku mereka yang tidak tersedia makan dan minum sembarangan tempat, tidak jelas halal haramnya, serta tidak tahu sumbernya. Semua kehati-hatian seperti ini mereka lakukan karena mereka sangat percaya, bahwa apapu yang dimakan seseorang akan memengaruhi seseorang yang memakannya. Oleh karena itu, para sufi sangat berhati-hati dalam memilih dan menentuka jenis makanan yang akan dimakannya agar hati tidak menjajadi gelap dank eras sehingga sulit untuk bisa dekat dengan Tuhan Maha Pencipta.
            Sebab hal itulah, para sufi sangat menakuti dan menjauhi hal yang syubhat karena akan menjadikan hatinya kotor sehingga menghalangi pencarian nur Ilahi pada dirinya.
            Sebagaimana diketahui bersama bahwa sifat Zuhud merupakan bagian yang dapat mendekatkan hamba dengan Allah SWT. begitu pula Wara’ lebih dekat pada kehati-hatian dan mawas sendiri dari segala makanan, minuman, dan pakaian yang diragui selain haram.
 Menjadikan perilaku Wara’ini meniscayakan seseorang akan selalu memperhitungkan  terhadap sekecil apapun keburukan dan kesyubhatan yang dapat menghalangi kedekatannya dengan tuhan. Para sufi akan sangat kecewa manakala hal-hal yang syubhat terutama makanan, minuman, pakaian dan sebagainya menjadi penghalang baginya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.
Dengan demikian, perilaku Wara’ meniscayakan seseorang agar selalu berhati-hati dalam pencaran nafkah dan pendirian fasilitas kebutuhan dasarnya, seperti pangan dan sandang. Sikap kehati-hatian ini, memungkinkan seseorang terhindar daaari sifat-sifat rakus, iri dan sebaganya yang pada akhirnya terhindar dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan hikum agama.
Perintah untuk berlaku Sifat Wara’ ini juga ditemui dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

فمن اتقى من الشبها ت فقد استبرا من الحرام . رواه البخاري 
            Artinya;
“Maka siapa yang terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram. ” (HR. Bukhari)         
Kemudian dari semua yang telah dibahas, sikap seperti ini juga membawa konsekuensi besar dalam bentuk munculnya hasrat yang besar untuk menaati perintah Allah Swt. dalam semua perbuatan. Menjadikan setiap hamba yang bersikap seperti ini niscaya akan selalu dekat dengan Allah SWT.
Egitulah sekilas ulasan perihal sifat Wara’.  Kemudian Imam Al-Ghazali berendapat bahwa sikap Wara’ merupakan suatu pekerjaan dengan menahan diri dari larangan Allah. Ada Tiga macam Wara’ dalam perspekrif Imam Al-Ghazali:
Pertama, Wara’ Shiddiqin; yaitu meninggalkansegala sesuatu yang tidak ada dalil atau bukti yang menghlalkan hal tersebut.
Kedua, Wara’ Muttaqin: yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak mengandung syubhattetapi dikhawatirkan membawankepada sesuatu yang haram.
Ketiga, Wara’Shalihin:  yaitu meninggalkan segala sesuatuyang boleh jadi hala atau haram. Tetapi belum tentu menyehatkan untuk badan.
Sebagai sedikit acuan, di sini ada beberapa contoh sebagai bahan sebuah motivasi, bahwa dari suatu riwatyat, Hasan bin Sinan belum pernah tidur telentang, belum pernah makan samin, belum pernah minum air dingin,. Suatu saat ia bermimpi meninggal dunia. Dalam kondisi demikian ia ditanya oleh seseorang,
“Apa yang teah Allah berikan kepadamu?”
“Kebaikan. Hanya saja saya terhalang masuk surge kaena sebatang jarumyang pernah saya pinjam tapi belum saya kembalikan. ” Jawabnya demikian.
Dari semua penjelasan yang telah terpaparkan, tentu sudah begitu jelas bahwa seseorang yang bersikap Wara’ sangatlah utama di mata Allah. Terlepas dari semua itu, banyak manfaat yang dapat dipetik dari sikap tersebut. Di antaranya, --seseorang yang bersifat Wara’--  tentu akan terhindar dari adzab Allah SWT, mempunyai pikiran dan hati yang tenang dan mendapat keridhaan Allah SWT yang mendorong melakukan hal yang terus menambah pahala kebaikan.
Dari semua hal yang telah dibahas panjang lebar, dapat ditarik kesimpulan bahwa Wara’ merupakan suatu tindakan manusia yang selalu menjauhi perilaku-perilaku yang di dalamnya terdapat Subhat; yakni sesuatu yang mengandung keragu-raguan antara halal dan haram. Dan melaksanakan sikap Wara’ tersebur merupakan suatu  pekerjaan yang terpuji, Sebagaimana Rasululah bersabda;

ان الحلال بين وان الحرم پين وما  بنهماامور مشتهات لايعلمهن كثير من الناس، فمن اتقى الشبها ت استبرا لدينه وعرضه                            
      
Artinya;
 Sesungguhnya halal itu jelas. Haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak kesyubhatan yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.


17.02.2017



Daftar Pustaka

- Dr. H. M. Jamil, MA. Akhlak Tasawuf. Ciputat 2013. Refrensi (Gaung Persada Press Group).
- Prof. Dr. Amril, MA. Akhlak Tasawuf  Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia. Bandung 2015. PT. Refika Aditama.
- Http://www.Islam-Center.net/id/prinsip-prinsip-keislaman/pengertian-islam/125-sifat-wara.Html.



No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages