MAQAMAT DAN AHWAL - SANTRI ENDONESA

Tiada Kata Terlambat Untuk Belajar

Breaking

Home Top Ad

W E L C O M E

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, August 22, 2018

MAQAMAT DAN AHWAL


PEMBAHASAN
MAQAMAT DAN AHWAL
A.    MAQAMAT
Maqamat secara harfiah berasal dari bahasa Arab yang berarti “tempat orang berdiri” atau “pangkal mulia”. Istilah ini selanjutnya diartikan sebagai “jalan panjang yang harus ditempuh oleh orang sufi untuk mendekatkan kepada Allah”. Dalam bahasa Inggris, maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti “tangga”.
Para sufi sepakat memahami maqamat bermakna kedudukan seorang perjalanan spiritual dihadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), dan latian-latian keruhanian (riyadlah), budi pekerti (adab) yang memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan dan melakukan upaya-upaya untuk menjalankan berbagai kewajiban, demi mencapai kesempurnaan.
Tentang beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk menuju tuhan, dikalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al Kalabadzi menyebutkan adanya sepuluh maqam, sebagai berikut: tobat, zuhud, sabar, kemiskinan, kerendahan hati, taqwa, tawakkal, rela, cinta dan pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu. Sedangkan Abu Nasr al Sarraj al Tusi menyebutkan maqam ada tujuh, antara lain: tobat, zuhud, wara’ (meninggalkan hal-hal yang syubhat), kemiskinan, tawakkal, cinta, pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu dan rela.
Menurut al Ghazali mengatakan maqamat ada tujuh yaitu: tobat, sabar, kemiskinan, tawakkal, cinta, pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu dan rela. Meskipun berbeda pendapat dalam menentukan maqamat, namun telah disepakati oleh para sufi jumlah maqamat yang digunakan ada tujuh, yaitu sebagai berikut:
1.      Al Taubah
Al taubah berasal dari bahasa Arab yaitu taaba-yatuubu-taubaatan yang artinya “kembali”. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh orang sufi adalah, memohon ampunan atas segala dosa dan kesalahan yang kita lakukan disertai janji yang bersungguh-sungguh, untuk tidak mengulanginya dan membuktikan dengan melakukan amal kebajikan.[1] Menurut al Ghazali mengklasifikasikan ada tiga tingkatan:
a.         Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
b.        Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju yang lebih baik lagi.
c.         Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah.[2]

2.      Zuhud
Secara umum, zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dan mengutamakan kehidupan akhirat. Dilihat dari maksudnya zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah. Orang yang berada pada tingkatan tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah tidak mempunyai arti apa-apa.
Adapun menurut al Ghazali zuhud ialah berpaling dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang lebih baik, benci dunia mencintai akhirat, atau berpaling dari selain Allah kepada Allah semata.[3]

3.      Al Wara’
Secara harfiah al wara’ artinya shaleh menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat).
Seorang sufi yang wara’ akan senantiasa menjaga kesucian, baik jasmani maupun rohaninya dengan mengendalikan segala prilakunya dan aktifitas kesehariannya. Ia hanya akan melakukan sesuatu yang bermanfaat dan tidak akan menggunakan sesuatu yang belum jelas statusnya dan senantiasa terjaga dari hal-hal yang tidak diridhai Allah.[4]

4.      Al Fakir
Fakir adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Fakir dapat berarti sebagai kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap fakir penting dimiliki orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta kemungkinan manusia dekat pada kejahataan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa menjadi tertambat pada selain Allah.

5.      Sabar
Menurut Syaikh Abdul Qadir al Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu:
a.         Sabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
b.        Sabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu dalam berbagai macam kesulitan dan musibah.
c.         Sabar atas Allah, yaitu sabar terhadap rezeki, jalan keluar, pertolongan dan pahala yang dijanjikan Allah di akhirat.[5]

6.      Tawakkal
Tawakkal sebagai sikap penyerahan segala bentuk upaya yang telah dilakukan oleh manusia kepada Allah. Sikap tersebut didasari oleh hati yang selalu mendorong manusia bercita-cita untuk memperoleh apa yang telah diusahakannya.

7.      Rela
Ada beberapa sufi yang memberikan definisi rela dengan mengatakan:
a.         Abu Bakar Tahir rela adalah sikap yang sama sekali tidak terpengaruh oleh keburukan sesuatu yang diterima dari Allah, kecuali selalu disikapi dengan senang hati.
b.        Ibnu Khafif rela adalah ketenangan hati menerima apa saja yang datang dari Allah.
c.         Rabi’ah al Adawiyyah rela adalah orang yang selalu senang hati menerima musibah, sama halnya ketika ia sedang menerima nikmat, maka itulah tanda-tanda orang rela.

B.     AHWAL
Ahwal merupakan pemberian tanpa didahului oleh mujahadah dan riyadah, yang disebut al mawahibu al faidatu ala al abdi min rabbihi (kemurahan pemberian Allah kepada hamba-Nya). Menurut Imam al Ghazali dalam hal ini membedakan hal dengan maqam, dengan mengatakan; bahwa hal adalah perasaan yang sering berubah-ubah, dan apabila sudah tetap, maka bisa menjadi maqam.
   As’adal Syahmaranimengemukakanpendapat alSarraj alTusi yang menetapkanjumlahahwalmenjadisepuluh, yaitu;
1.      Hal Muraqabah
   Yaitupemahamandiriterhadappentingnyasikappengawasansegalaperilakusehari-hari, yang bertujuanuntukmewujudkan rasa maluuntukberbuatburuk, kehebatansikapdanketinggianakhlak.

2.      Hal Qurbu
   Merupakangabungandarifana’denganperasaanbersatu, lalumelahirkan rasa kedekatandengan Allah. Bahkanada yang menyebutnyasebagaiwaslu (perasaansampaikepada Allah).

3.      Hal Mahabbah
   Adalahkeinginanhamba yang sangatmemuncakuntukmenemuiTuhan-Nya, sehinggasegalakecintaanterhadap yang lain samasekaliterlupakan. Kecintaantersebutdiwujudkandenganmemperbanyakibadahkepada-Nya.
   Salah satuayat Al Qur’an yang menyebutkan kata Mahabbahadalahsurat Ali Imran ayat 31, lalu Sahl alTustarimenafsirkankata tersebutdenganmengatakan:
a.         Tanda-tanda orang mencintai Allah, adalahmencintai alQur’an.
b.        Tanda-tanda orang yang mencintai alQur’an adalahmencintaiRasulullah.
c.         Tanda-tanda orang yang mencintaiRasulullahadalahmencintaisunnahnya.
d.        Tanda-tanda orang yang mencintai Allah, Rasul-Nya, Sunnahnya, pasti juga mencintaiakhirat.
e.         Tanda-tanda orang yang mencintaiakhiratadalahmencintai juga dirinya.
f.         Tanda-tanda orang yang mencintaidirinyatidakmembencikehidupanakhirat.
g.        Tanda-tanda orang yang membencikehidupandunia, adalah orang yang hanyasekedarmencarikehidupanduniakarenakepentinganuntukmenjadibekalkehidupanakhiratdanmenjadisaranauntuksampaikepada Allah.

4.      Hal Khauf
Khauf sebagai salah satu dari jumlah ahwal, dimaksudkan sebagai takut terhadap siksaan Allah yang telah ditetapkan oleh sufi dalam kegiatan tasawuf.

5.      Hal Raja’
Raja’ adalah suatu konsep dalam tasawuf yang merupakan salah satu bagian dari ahwal, yang berarti kondisi kerohanian peserta tasawuf yang selalu mengharap ridlo Allah, karena itu selalu memprbanyak ibadah kepada-Nya.

6.      Hal Shawq
Shawq adalah ketergantungan hati terhadap Allah karena sangat merindukan pertemuan dengan-Nya.


7.      Hal Insu
Insu adalah keramah-tamahan, yang merupakan bagian dari ahwal berupa inti kedekatan dengan Allah.

8.      Hal Tuma’ninah
Adalah ketenangan jiwa atau sakinah yang dirasakan pada saat sedang berdzikir, yaitu ketenangan jiwa menunggu sesuatu yang diharapkan dari Allah.

9.      Hal Mushahadah
Mushahadah artinya menyaksikan cahaya ketuhanan, sehingga segala fungsi-fungsi kejiwaan dapat melihat dan merasakan sesuatu yang bersumber dari Allah.

10.  Hal Yaqin
Ibnu al Qayyim al Jawziyyah membagi tingkatan yaqin menjadi tiga, yaitu:
a.         ‘Ilmu al yaqin yaitu keyakinan yang dapat menerima kebenaran konkrit dan abstrak, lalu berakhir dengan kuatnya suatu keyakinan.
b.        ‘Ainu al yaqin yaitu keyakinan yang muncul dari penglihatan mata batin, lalu menimbulkan kebenaran yang luar biasa.
c.         Haqqu al yaqin yaitu keyakinan yang di awali dengan tersingkapnya tabir, kemudian terlihat suatu warna keyakinan, lalu muncul fana’ dalam kebenaran keyakinan.[6]
















DAFTAR PUSTAKA

Ø  Solihin, Ilmutasawuf, Bandung: PustakaSetia, 2008.
Ø  Mas’ud, Ali, AkhlakTasawuf, Sidoarjo: DwiPustakaJawa, 2012.
Ø  Mujahidin, AkhlakTasawuf II: Pencarianma’rifahbagisufiklasikdanpenemuankebahagiaanbatinbagisufikontemporer, Jakarta: KalamMulia, 2010.


[1]Ali Mas’ud,2012, AKHLAK TASAWUF, Sidoarjo: Dwi Pustaka Jaya,Hlm. 95-96.
[2]Solihin, 2014, ILMU TASAWUF, Bandung: PUSTAKA SETIA,Hlm. 78-79.
[3]Ali Mas’ud, 2012, AKHLAK TASAWUF, Sidoarjo: Dwi Pustaka Jaya, Hlm. 98-99.
[4]Muhjuddin, 2010, AKHLAK TASAWUF II, Jakarta: KALAM MULIA, Hlm. 212.
[5]Solihin, 2014, ILMU TASAWUF, Bandung: PUSTAKA SETIA,Hlm. 79-80.
[6]Muhjuddin, 2010,AKHLAK TASAWUF II, Jakarta: KALAM MULIA,hlm. 218-223.

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages