PEMBAHASAN
MAQAMAT DAN AHWAL
A.
MAQAMAT
Maqamat secara harfiah berasal dari bahasa Arab yang berarti
“tempat orang berdiri” atau “pangkal mulia”. Istilah ini selanjutnya diartikan
sebagai “jalan panjang yang harus ditempuh oleh orang sufi untuk mendekatkan
kepada Allah”. Dalam bahasa Inggris, maqamat dikenal dengan istilah stages
yang berarti “tangga”.
Para sufi sepakat memahami maqamat bermakna kedudukan seorang
perjalanan spiritual dihadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras
beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), dan
latian-latian keruhanian (riyadlah), budi pekerti (adab) yang
memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan dan melakukan upaya-upaya
untuk menjalankan berbagai kewajiban, demi mencapai kesempurnaan.
Tentang beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh
oleh seorang sufi untuk menuju tuhan, dikalangan para sufi tidak sama
pendapatnya. Muhammad al Kalabadzi menyebutkan adanya sepuluh maqam, sebagai
berikut: tobat, zuhud, sabar, kemiskinan, kerendahan hati, taqwa, tawakkal,
rela, cinta dan pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu. Sedangkan
Abu Nasr al Sarraj al Tusi menyebutkan maqam ada tujuh, antara lain: tobat,
zuhud, wara’ (meninggalkan hal-hal yang syubhat), kemiskinan, tawakkal, cinta,
pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu dan rela.
Menurut al Ghazali mengatakan maqamat ada tujuh yaitu: tobat,
sabar, kemiskinan, tawakkal, cinta, pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat
segala sesuatu dan rela. Meskipun berbeda pendapat dalam menentukan maqamat,
namun telah disepakati oleh para sufi jumlah maqamat yang digunakan ada tujuh,
yaitu sebagai berikut:
1.
Al
Taubah
Al
taubah berasal dari bahasa Arab yaitu taaba-yatuubu-taubaatan yang
artinya “kembali”. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh orang sufi adalah,
memohon ampunan atas segala dosa dan kesalahan yang kita lakukan disertai janji
yang bersungguh-sungguh, untuk tidak mengulanginya dan membuktikan dengan
melakukan amal kebajikan.[1]
Menurut al Ghazali mengklasifikasikan ada tiga tingkatan:
a.
Meninggalkan
kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut kepada
siksa Allah.
b.
Beralih
dari satu situasi yang sudah baik menuju yang lebih baik lagi.
c.
Rasa
penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada
Allah.[2]
2.
Zuhud
Secara
umum, zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa
ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dan mengutamakan kehidupan akhirat.
Dilihat dari maksudnya zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan pertama
(terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua,
menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga (tertinggi),
mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada
Allah. Orang yang berada pada tingkatan tertinggi ini akan memandang segala
sesuatu, kecuali Allah tidak mempunyai arti apa-apa.
Adapun
menurut al Ghazali zuhud ialah berpaling dari sesuatu yang dibenci kepada
sesuatu yang lebih baik, benci dunia mencintai akhirat, atau berpaling dari
selain Allah kepada Allah semata.[3]
3.
Al
Wara’
Secara
harfiah al wara’ artinya shaleh menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini
selanjutnya mengandung arti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Dan
dalam pengertian sufi al wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya
terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat).
Seorang
sufi yang wara’ akan senantiasa menjaga kesucian, baik jasmani maupun rohaninya
dengan mengendalikan segala prilakunya dan aktifitas kesehariannya. Ia hanya
akan melakukan sesuatu yang bermanfaat dan tidak akan menggunakan sesuatu yang
belum jelas statusnya dan senantiasa terjaga dari hal-hal yang tidak diridhai
Allah.[4]
4.
Al
Fakir
Fakir
adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas
dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Fakir
dapat berarti sebagai kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam
menjalani kehidupan di dunia. Sikap fakir penting dimiliki orang yang berjalan
menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta kemungkinan manusia dekat
pada kejahataan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa menjadi tertambat pada
selain Allah.
5.
Sabar
Menurut
Syaikh Abdul Qadir al Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu:
a.
Sabar
kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
b.
Sabar
bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya
terhadapmu dalam berbagai macam kesulitan dan musibah.
c.
Sabar
atas Allah, yaitu sabar terhadap rezeki, jalan keluar, pertolongan dan pahala
yang dijanjikan Allah di akhirat.[5]
6.
Tawakkal
Tawakkal
sebagai sikap penyerahan segala bentuk upaya yang telah dilakukan oleh manusia
kepada Allah. Sikap tersebut didasari oleh hati yang selalu mendorong manusia
bercita-cita untuk memperoleh apa yang telah diusahakannya.
7.
Rela
Ada
beberapa sufi yang memberikan definisi rela dengan mengatakan:
a.
Abu
Bakar Tahir rela adalah sikap yang sama sekali tidak terpengaruh oleh keburukan
sesuatu yang diterima dari Allah, kecuali selalu disikapi dengan senang hati.
b.
Ibnu
Khafif rela adalah ketenangan hati menerima apa saja yang datang dari Allah.
c.
Rabi’ah
al Adawiyyah rela adalah orang yang selalu senang hati menerima musibah, sama
halnya ketika ia sedang menerima nikmat, maka itulah tanda-tanda orang rela.
B.
AHWAL
Ahwal merupakan pemberian tanpa didahului oleh mujahadah dan
riyadah, yang disebut al mawahibu al faidatu ala al abdi min rabbihi (kemurahan
pemberian Allah kepada hamba-Nya). Menurut Imam al Ghazali dalam hal ini
membedakan hal dengan maqam, dengan mengatakan; bahwa hal adalah perasaan yang
sering berubah-ubah, dan apabila sudah tetap, maka bisa menjadi maqam.
As’adal Syahmaranimengemukakanpendapat alSarraj alTusi yang
menetapkanjumlahahwalmenjadisepuluh, yaitu;
1.
Hal Muraqabah
Yaitupemahamandiriterhadappentingnyasikappengawasansegalaperilakusehari-hari,
yang bertujuanuntukmewujudkan rasa maluuntukberbuatburuk,
kehebatansikapdanketinggianakhlak.
2. Hal Qurbu
Merupakangabungandarifana’denganperasaanbersatu,
lalumelahirkan rasa kedekatandengan Allah. Bahkanada yang menyebutnyasebagaiwaslu
(perasaansampaikepada Allah).
3. Hal Mahabbah
Adalahkeinginanhamba
yang sangatmemuncakuntukmenemuiTuhan-Nya, sehinggasegalakecintaanterhadap yang
lain samasekaliterlupakan.
Kecintaantersebutdiwujudkandenganmemperbanyakibadahkepada-Nya.
Salah satuayat
Al Qur’an yang menyebutkan kata
Mahabbahadalahsurat Ali Imran ayat 31, lalu Sahl alTustarimenafsirkankata tersebutdenganmengatakan:
a.
Tanda-tanda orang mencintai Allah, adalahmencintai alQur’an.
b.
Tanda-tanda orang yang mencintai alQur’an adalahmencintaiRasulullah.
c.
Tanda-tanda orang yang mencintaiRasulullahadalahmencintaisunnahnya.
d.
Tanda-tanda orang yang mencintai Allah, Rasul-Nya, Sunnahnya, pasti juga
mencintaiakhirat.
e.
Tanda-tanda orang yang mencintaiakhiratadalahmencintai juga dirinya.
f.
Tanda-tanda orang yang mencintaidirinyatidakmembencikehidupanakhirat.
g.
Tanda-tanda orang yang membencikehidupandunia, adalah orang yang
hanyasekedarmencarikehidupanduniakarenakepentinganuntukmenjadibekalkehidupanakhiratdanmenjadisaranauntuksampaikepada
Allah.
4. Hal Khauf
Khauf sebagai salah satu dari jumlah ahwal, dimaksudkan sebagai
takut terhadap siksaan Allah yang telah ditetapkan oleh sufi dalam kegiatan
tasawuf.
5.
Hal
Raja’
Raja’ adalah suatu konsep dalam tasawuf yang merupakan salah satu
bagian dari ahwal, yang berarti kondisi kerohanian peserta tasawuf yang selalu
mengharap ridlo Allah, karena itu selalu memprbanyak ibadah kepada-Nya.
6.
Hal
Shawq
Shawq adalah ketergantungan hati terhadap Allah karena sangat
merindukan pertemuan dengan-Nya.
7.
Hal
Insu
Insu adalah keramah-tamahan, yang merupakan bagian dari ahwal
berupa inti kedekatan dengan Allah.
8.
Hal
Tuma’ninah
Adalah ketenangan jiwa atau sakinah yang dirasakan pada saat sedang
berdzikir, yaitu ketenangan jiwa menunggu sesuatu yang diharapkan dari Allah.
9.
Hal
Mushahadah
Mushahadah artinya menyaksikan cahaya ketuhanan, sehingga segala
fungsi-fungsi kejiwaan dapat melihat dan merasakan sesuatu yang bersumber dari
Allah.
10.
Hal
Yaqin
Ibnu al Qayyim al Jawziyyah membagi tingkatan yaqin menjadi tiga,
yaitu:
a.
‘Ilmu
al yaqin yaitu keyakinan yang dapat menerima kebenaran konkrit dan abstrak,
lalu berakhir dengan kuatnya suatu keyakinan.
b.
‘Ainu
al yaqin yaitu keyakinan yang muncul dari penglihatan mata batin, lalu
menimbulkan kebenaran yang luar biasa.
c.
Haqqu
al yaqin yaitu keyakinan yang di awali dengan tersingkapnya tabir, kemudian
terlihat suatu warna keyakinan, lalu muncul fana’ dalam kebenaran keyakinan.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Ø Solihin, Ilmutasawuf, Bandung:
PustakaSetia, 2008.
Ø Mas’ud, Ali, AkhlakTasawuf, Sidoarjo:
DwiPustakaJawa, 2012.
Ø Mujahidin, AkhlakTasawuf II:
Pencarianma’rifahbagisufiklasikdanpenemuankebahagiaanbatinbagisufikontemporer,
Jakarta: KalamMulia, 2010.
[3]Ali Mas’ud, 2012, AKHLAK TASAWUF, Sidoarjo: Dwi Pustaka Jaya,
Hlm. 98-99.
[4]Muhjuddin, 2010, AKHLAK TASAWUF II, Jakarta: KALAM MULIA, Hlm.
212.
No comments:
Post a Comment