10. Periwayatan
Anak dari Bapak
Periwayatan anak dari bapaknya ada
dua macam, pertama, periwayatan anak dari bapaknya saja, dan yang
demikian sangat banyak. Conroh yang masyhur adalah riwayat Abu al-Usyara’ dari
bapaknya, “ Aku bertanya kepada Rasulullah saw. Apakah penyembelihan itu
semata-mata pada tenggorokan dan leher” ?
Abu al-Usyara’ tidak pernah
disebut-sebut dalam sanad, kecuali dalam bentuk kunyah. Dan bapaknya
tidak pernah disebut namanya dalam sanad hadits. Yang masyhur nama bapaknya
adalah Usamah bin Malik bin Qihtham.
Kedua, periwayatan anak dari bapaknya dari
kakeknya. Dan yang demikian juga banyak jumlahnya. Akan tetapi, jenis yang
pertama lebih banyak. Periwayatan seseorang dari bapaknya dari kakeknya adalah
suatu hal yang dapat dibanggakan dan diinginkan oleh setiap rawi. Abul Qasim
Manshur bin Muhammad al-Alawi berkata, “suatu sanad sebagiannya unggul dan
sebagian yang lain mengungguli lainnya. “ pernyataan seseorang: haddatsani
abi ‘an jaddi adalah termasuk sanad
yang mengungguli yakni mulia dan istimewa.
Berikut adalah empat sanad yang
termasuk jenis kedua:
1.
Amr bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdillah Amr bin al-Ash dari
bapaknya dari kakeknya. Hadits yang diriwayatkan dengan sanad ini terhimpun
dalam suatu naskah yang cukup besar dan hadits-haditsnya hasan. Kebanyakan
haditsnya menyangkut fikih.
2.
Bahz bin Hakim bin Muawiyah bin Haidah Al-Quraisyi dari bapaknya
dati kakeknya. Hadits yang diriwayatkan dengan sanad ini terhimpun dalam naskah
yang cukup dalam musnad imam ahmad, dan hadits-haditsnya hasan.
3.
Thalhah bin Musharrif bin Amr bin Ka’b al Yamani dari bapaknya dari
kakeknya. Thalhah adalah periwayat yang tsiqat dan unggul. Kakeknya adalah Amr
bin Ka’b. Ia adalah seorang sahabat menurut jumhur. Akan tetapi bapaknya Mushariff
adalah orang yang majhul, haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud.
4.
Katsir bin Abdillah bin Amr bin Auf al-Muzani dari bapaknya dari
kakeknya. Hadits yang sanadnya demikian diriwayatkan oleh al-turmudzi sebanyak
lima buah hadits yang dihukuminya hasan karena diperkuat dengan sanaad lain.
Akan tetapi, banyak sekali dihukumi dhaif oleh kebanyakan muhaddits, bahkan
mereka meninggalkan dan melemparnya, sementara yang lain membiarkannya.
Periwayatan anak dari bapak seperti ini perlu untuk diketahui
mengingat sering kali nama bapak atau kakek tidak disebut dalam sanad, dan
karenanya khawatir tidak diketahui oleh orang yang mempelajarinya.
Ihwal para Rawi
Beberapa pembahasan dari
cabang-cabang ilmu hadits.
1.
Al-Mubhamat
2.
Periwayat yang disebut dengan beberapa nama
3.
Al-Asmaa’ wa al-kunna
4.
Al-Alqab (julukan-julukan)
5.
Para periwayat yang dinisbatkan kepada selain bapaknya
6.
Nisbat yang tidak sesuai dengan kenyataan
7.
Para periwayat dan ulama bekas hamba
8.
Negara dan daerah para periwayat
9.
Nama-nama dan kunya-kunyah tunggal
10.
Al-Muttafiq wa al-muftariq
11.
Al-mu’talif wa al-mukittalif
12.
Al-mutasyabih (gabungan
dari dua cabang sebelumnya)
13.
Al-Mutasyabih al-Maqlubi
Berikut penjelasan satu per satunya:
1.
Al-mubhamat
Ialah
orang yang terlibat dalam hadits tetapi nama jelasnya tidak disebutkan. Ini
dapat diketahui karena namanya pernah disebutkan dalam sebagian riwayat, dan
ahli sejarah juga memuat keterangan sebagian besar mereka, atau dengan cara
lain. Kebanyakan nama mereka belum diketahui dengan pasti.
Diantara
faedah terungkapnya nama yang mubham dalam matan adalah agar dapat diketahui
dengan pasti siapa rawi yang menyandang sifat keutamaan atau sebaliknya, atau
mengetahui kemungkinan suatu hadits wurud lantaran sebabnya, dan ada hadits
lain yang menentang. Dengan demikian, bisa diketahui sejarah hadits tersebut
jika telah diketahui dengan pasti, sehingga jelas waktu masuk islamnya, mana
yang me-mansukh dan mana yang di-mansukh.
2.
Rawi yang dissebut dengan banyak nama atau predikat
Faedah
dari mengetahui pembahasan ini ialah
untuk menghindari dari menduga bahwa seorang rawi yang karena memiliki dua
nama. Hal ini terjadi karena penyebutan nama yang berbeda-beda pada seorang
rawi adalah karena usaha tadlis yang mereka lakukan. Mereka
membingungkan orang banyak dengan menyebut seorang perawi dengan nama yang
tidak dikenal atau dengan kunyah yang tidak diketahui.
3.
Al-Asma’ wa al-Kuna
Yang
disebut al-asma wa al-kuna adalah untuk menjelaskan nama orang-orang yang
dikenal dengan kunyah dan kunyah yang dikenal dengan namanya.
Faedahnya adalah untuk mempermudah pengenalan terhadap nama para rawi yang
masyhur dengan kunyah-nya agar lebih lanjut dapat diketahui
karakteristiknya dan untuk menghindari salah duga karena menganggap seorang
rawi adalah dua orang karena suatu saat ia disebut dengan namanya dan pada saat
lain dengan kunyah-nya itu.
4.
Lakab-lakab Muhaddisin
Lakab
adalah suatu julukan yang disebutkan kepada seseorang yang mengesankan pujian
atau cacian. Tema ini sangat penting, karena banyak rawi yang tidak dikenal
kecuali dengan lakabnya. Orang yang tidak mengetahui ilmu ini bisa jadi
menganggap lakab itu sebagai nama atau menganggap seseorang yang suatu saat
disebut dengan namanya, dan pada saat lain disebut dengan lakabnya adalah dua
orang yang berlainan, sebagaimana yang dialami oleh banyak penulis.
5.
Para rawi yang dinisbatkan kepada selain bapaknya
Mengetahui
nama bapak yang seorang rawi dinisbatkan kepadanya dalah suatu hal yang harus
dilakukan untuk membedakan periwayat itu dari rawi yang lain, lantaran kadang
kala seorang rawi dinisbatkan kepada bukan bapaknya. Jadi, mengetahui mereka
adalah teramat sangat penting, berikut nama bapak-bapaknya, agar tidak salah
duga akan seorang rawi dengan rawi lainnya ketika dinisbatkan kepada ayahnya
masing-masing.
6.
Nisbat yang tidak seharusnya
Mengetahui
nisbat seorang perawi itu sangat penting untuk dapat membedakan seorang rawi
dengan rawi lainnya. Barang siapa tidak memperhatikan masalah ini maka ia bisa
salah dalam mengambil suatu keputusan.
7.
Para Rawi dan Ulama yang Termasuk Maula
Asal-usul
penisbatan seorang rawi kepada suatu suku tertentu adakalanya karena faktor
nasab atau keturunan. Seperti Quraisyi, yakni periwayat keturunan Quraisyi;
atau karena faktor wala’, sehingga ia dinisbatkan dengan menambah kata maula,
seperti Maula Quraisyi atau Al-Quraisyi
Maulahum.
8.
Negara dan Daerah para Rawi
Semula
orang-orang Arab menisbatkan dirinya kepada suku masing-masing. Namun setelah
islam datang dan menguasai desa dan kota mereka, terjadilah penisbatan diri
kepada tempat tinggalnya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang non-Arab.
Suatu
ketetapan dalam tradisi mereka, bahwa apabila seseorang berasal dari sutu desa
maka ia dapat menisbatkan dirinya kepada desanya, atau kotanya, atau
wilayahnya. Orang yang berasal dari suatu negara lalu pindah ke negara lain,
maka ia dapat menisbatkan dirinya kepada salah satunya, bahkan akan lebih baik
apabila ia menisbatkan kedua negaranya.
9.
Nama, Kunyah, dan Lakab yang Tunggal
Banyak
sekali kita jumpai suatu nama dipakai lebih dari satu orang, seperti nama Ali
dan Sa’ad. Demikian pula kunyah dan lakab. Dari sini kita tau bahwa
nama-nama demikian adalah hanya dengan menyebut satu nama itu kita telah dapat
mengetahui rawi yang dimaksud, karena tidak ada rawi lain yang memiliki nama,
kunyah, atau lakab serupa. Disamping iyu kita dapat dengan mudah menandai
nama-nama yang diperlukan untuk menghindari salah sebut dan perubahan.
10. Al-Muttafiq wa
Al-Muftariq
Al-Muttafiq
wa Al-Muftariq adalah satu
nama, nasab, sebagainya yang dipakai oleh lebih seorang perawi. Dengan kata
lain, mereka sama dalam nama, tetapi merupakan seorang yang berbeda. Oleh
karena itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan membedakan dua rawi
atau lebih yang memiliki nama yang sama karena sangat mungkin seseorang akan
menduka sejumlah nama yang sama adalah seorang pribadi, sementara yang satu
tsiqat dan lainnya dhaif. Dengan demikian, dia akan dapat mendhaifkan hadis
yang shahih atau menshahihkan yang dhaif.
11. Al-Mu’talif wa
Al-Mukhtalif
Al-Mu’talif
wa Al-Mukhtalif adalah nama
atau nisbat yang tulisannya serupa tetapi bacaannya berbeda. Nama-nama yang
demikian sangat banyak jumlahnya dan belum ada inventarisasi ynag relatif
lengkap dan dapat dijadikan pegangan, melainkan hanya berdasarkan hafalan para
ulama yang cukup terperinci. Inventarisasi itu sendiri adalah nama-nama jenis yang
ada dikalangan Quraisyi dan Anshar saja. Hal ini tidak menutup kemungkinan kedua
nama tersebut terdapat pada selain orang-orang makkah dan madinah.
12. Al-Mutasyabih
Al-Mutasyabih adalah kesamaan nama atau kunyah antara dua orng rawi yang dikenal
dengannya, sementara nasab atau nisbat mereka termasuk al-mu’talif wa
al-mukhalif atau sebaliknya yaitu nama mereka termasuk al-mu’talif wa
al-mukhalif, tetapi nisbat atau nasab mereka sama, baik nama maupun kunyahnya.
Dan lafa;-lafal yang tulisannya mirip dan berdekatan dapat dianggap sebagai
al-mu’talif wa al-mukhalif meskipun sebagian hurufnya berbeda.
13. Al-Mustabih
Al-Maqlub
Al-Mustabih
Al-Maqlub adalah nama
seorang rawi yang sama dengan nama bapak rawi lain, baik tulisan maupun bacaannya
dan nama rawi yang kedua sama dengan nama bapak rawi yang pertama. Silang nama
seperti ini menimbulkan terbaliknya pemahaman sebagian muhadditsin.
3. IHWAL
PERIWAYATAN HADITS
Kaidah-kaidah yeng berkenaan dengan persoalan ini dibahas dalam
metodologi tentang ihwal periwayatan hadits dari sisi pengambilan hadits dari
soerang rawi yang lazim disebut oleh para ulama dengan al-tahammul dan
sisi penyampaian hadits yang lazim disebut dengan al-ada’. Dan hal-hal
lain yang harus senantiasa diperhatikan oleh seorang rawi ketika membawa dan
menyampaikan hadits, yakni tata tertub, keikhlasan, ketelitian dan keepatan,
karena semua ini sangat berkaitan erat dengan ilmu-ilmu tentang rawi.
Ilmu tentang semua hal diatas sangat
penting kedudukannya dalam poko-pokok ilmu hadits karena ilmu tersebut dapat
membimbing kita kepada pengkajian yang sistematis dan detail, sebagaimana yang
digunakan oleh para ulama ketika menerima dan menyampaikan hadits juga
memberikan penjelasan mengenai semangat iman yang tinggi yang mereka miliki
untuk mencurahkan seluruh kemampuan dan kesungguhan dalam memelihara dan
menyebarkan hadits dengan penuh rasa tanggung jawab dan kecermatan sebagaimana
yang dikehendaki oleh ilmu ini.
Bab ini mencakup banyak cabang
bahasan, dan berikut ini pembahasan singkatnya;
a.
Adab Pencari Hadits
Yang
dimaksud dalam bab ini sebenarnya adalah tidak berbeda dengan adab pencari ilmu
pada umumnya, yakni tata cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan ilmu yang
dimaksudkan. Hanya saja para muhadditsin secara khusus membahas adab bagi
pencari hadits mengingat begitu pentingnya kedudukan hadits. Berikut adab
pencari ilmu antara lain;
1.
Ikhlas karena Allah
2.
Bersungguh-sungguh dalam Mengambil Hadits dari Ulama
3.
Mengamalkan Ilmunya
4.
Memuliakan dan Menghormati Guru
5.
Memberikan Ilmu yang Dikuasainya kepada Sesama Rekan Pencari
Hadits.
6.
Memakai Metodologi yang Berlaku dalam Pencarian Hadits
7.
Memperhatikan Mushthalah Hadits
b.
Adab Muhaddits
Adab
yang dimaksud disini adalah adab yang dibutuhkan oleh setiap orang yang akan
memimpin suatu majelis ilmu atau mengajar. Para Muhadditsin menganggap penting
adab ini, khususnya bagi orang yang akan mengajarkan hadits Rasulullah SAW.
Tata cara (adab) tersebut antara lain;
1.
Ikhlas dan Niat Benar
2.
Menghiasi Diri dengan Berbagai Keutamaan
3.
Memelihara Kecakapan Mengajarkan Hadits
4.
Berhenti Jika Khawatir Salah
5.
Menghormati Orang yang Lebih Utama Darinya
6.
Menghormati Hadits dan Mendatangi Majelis Pengkajian Hadits
7.
Menyibukkan Diri Menulis Karya Ilmiah
c.
Berbagai Karya Tulis tentang Hadits Nabi Saw.
Para
muhadditsin telah menulis berbagai jenis kitab hadits dalam berbagai bidang
bahasannya. Hal ini merupakan khazanah ilmu hadits yang dapat menjawab semua
masalah yang dijumpai oleh para ulama dan penelitian kitab. Jenis-jenis kitab
hadits yang terpenting adalah sebagai berikut;
1.
Kitab-kitab Hadits yang Disusun Berdasarkan Bab
Teknik
penyusunan kitab jenis ini adalah mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki tema
yang sama menjadi satu judul umum yang mencakupnya, seperti kitab sl-Shalah,
kitab al-Zakah, dan kitab al-Buyu.
Kemudian
hadits-haditsnya dibagi-bagi menjadi beberapa bab. Masing-masing bab mencakup
satu atau beberapa hadits yang berisi masalah juz’iyah. Setiap bab
diberi judul yang menunjukkan temanya, seperti bab miftah al-Shalah
al-Thahur. Para muhadditsin menyebut judul bab itu dengan tarjamah.
Keistimewaan
kitab-kitab jenis ini adalah mudah dijadikan kitab sumber, sehingga menjadi
tumpuan utama bagi para penuntut ilmu dan para peneliti.
Penyusunan
kitab-kitab berdasrkan bab itu ditempuh dengan berbagai cara, diantaranya
adalah;
a.
Al-Jawami’
Kitab
jami’ menurut istilah adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan bab dan
mencakup hdits-hadits berbagai sendi ajaran islam dan sub-subnya yang secara
garis besar terdiri dari delapan bab, yaitu akidah, hukum, perilaku para tokoh
agama, adab, tafsir, fitan, tanda-tanda kiamat, dan manaqib.
b.
Al-Sunan
Kitab
sunan adalah kitab-kitab yang menghimpun hadits-hadits hukum yang marfu’ dan
disusun berdasarkan bab-bab fiqih.
c.
Al-Muahannafat
Kitab
mushannafat adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab fiqih tetapi
mencakup hadits mauquf, hadits maqthu’, disatukan dengan hadits marfuk.
d.
Al-Mustadrakat
Kitab
mustadrakat yang terkenal adalah karya al-Hakim al-Naisaburi
e.
Al-Mustakhrajat
Kitab
mustakhrajat yang masyhur adalah kitab mustakhraj atas Sahihain.
2.
Kitab-kitab Hadits yang Disusun Berdasarkan Urutan Nama-Nama
Sahabat
Yaitu
kitab-kitab yang menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan setiap sahabat di
tempat yang khusus dan mencantumkan nama sahabat yang meriwayatkannya.
Teknik
penyusunan seperti ini sangat membantu dalam mengetahui jumlah dan jenis hadits
yang diriwayatkan para sahabat dari Nabi Saw. Dan mempermudah pengecekannya.
Keberadaan kitab ini sangat berfaedah bagi pencarian sumber hadits yang telah
diketahui nama sahabat yang meriwayatkannya serta faedah-faedah lain yang
berkaitan dengan kemudahan pengkajian hadits.
Kitab-kitab
hadits yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat ada dua macam, yaitu;
1.
Kitab Musnad
Kitab
musnad adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat. Urutan
nama sahabat itu adakalanya disusun berdasarkan urutan huruf hijaiah,
adakalanya berdasarkan urutan waktu masuk islam, dan adakalanya berdasarkan
keluhuran nasabnya.
2.
Al-Athraf
Kitab
al-athraf adalah kitab-kitab yang disusun untuk menyebutkan bagian hadits yang
menunjukkan keseluruhannya, lalu disebutkan sanad-sanadnya pada kitab-kitab
sumbernya. Sebagian penyusun menyebutkan sanadnya dengan lengkap, dan sebagian
lainnya hanya menyebutkan sebagiannya.
Faedah
kitab-kitab ini antara lain sebagai berikut;
a.
Mempermudah mengetahui sanad-sanad hadits, karena sanad-sanad itu
terkumpul di satu tempat.
b.
Mempermudah mengetahui penyusun sumber asli yang mengeluarkan
hadits tersebut serta bab hadits dalam sumber-sumber tersebut. Dengan demikian,
kitab jenis ini menetapkan suatu bentuk indeks hadits yang multifungsi.
3.
Kitab-kitab Mu’jam
Kitab
mu’jam menurut istilah adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan susunan
guru-guru penulisnya yang kebanyakan disusun berdasarkan urutan huruf hijaiah,
sehingga penyusun mengawali pembahasan mu’jam nya dengan hadits-hadits yang
diterima dari Aban, lalu yang dari Ibrahim, dan seterusnya.
4.
Kitab-kitab yang Disusun Berdasarkan Urutan Awal Hadits
Yaitu
kitab-kitab hadits yang menyebutkan beberapa kata awal setiap hadits yang
disusun urutan mu’jam. Jadi dimulai dengan hadits yang diawali dengan huruf
alif, lalu hadits yang di awali dengan huruf ba’, dan seterusnya.
Kitab
jenis ini ada dua macam, antara lain;
1.
Kitab Majami, yaitu kitab-kitab yang merupakan himpunan hadits dari
berbagai kitab hadits, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
2.
Kitab-kitab tentang-hadits yang sering diucapkan oleh orang umum.
5.
Kitab-Kitab Himpunan Hadits
Yaitu
kitab-kitab yang disusun untuk menghimpun hadits dari sejumlah kitab sumber
hadits. Kitab ini disusun dengan dua cara, yaitu;
1.
Kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan bab.
a. Jami’ al-Ushul
min Ahadits al-Rasul karya
Ibnu Atsir al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari. Hadits-haditsnya ditulis tanpa
disertai sanad. Setiap hadits diberi penjelasan ringkas tentang lafal-lafal
yang asing. Namun tidak disertai dengan penjelasan tentang derajat
hadits-hadits sunan, bahkan ia tidak menyebutkan komentar al-Turmudzi terhadap
hadits-hadits yang diriwayatkannya, sehingga hal ini membuat para pembacanya
membutuhkan upaya lebih lanjut untuk mengetahuinya.
b. Kanzul Ummal fi
Sunan al-Aqwal wa al-Afal karya
al-Syaikh al-Muhaddits Ali bin Hisam al-Muttaqi al-Hindi. Merupakan kitab yang
paling lengkap dalam bidangnya, karena mencakup 93 buah kitab hadits.
2.
Hadits-hadits yang disusun berdasarkan urutan pertama pada mu’jam
Kitab
ini merupakan cuplikan dari kitab al-jami al-kabir, dengan meninggalkan pengulangan hadits dan
menambahkan sejumlah hadits, sehingga jumlah haditsnya mencapai 10.031 buah.
Kitab
ini mendapat sambutan hangat dari kalangan ulama, dan muncul banyak syarah atas
kitab ini. Akan tetapi sebagian kode kitab ini berbeda dengan kode kitab dalam
al-jami’ al-kabir.
6.
Kitab al-Zawaid
Al-Zawaid
adalah kitab-kitab hadits yang disusun untuk menghimpun hadits-hadits yang
tidak terdapat pada kitab yang lain, yakni selain hadits-hadits yang terdapat
dalam kitab-kitab yang diperbandingkan itu.
Sangat
banyak ulama yang telah menyusun kitab al-Zawaid ini, sebagian diantaranya
adalah majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid ditulis oleh Hafizh Nuruddin
Ali bin Abu Bakar al-Haitsami. Kitab ini menghimpun hadits-hadits yang tidak
terdapat pada al-kitub al-sittah, enam sumber kitab hadits yang
terpenting yaitu, Musnad Ahmad, Musnad Abu Ya’la al-Maushili, Musnad
AL-Bazzar, dan kitab mu’jam yang tiga karya al-Thabrani.
Kitab
ini disusun untuk menjelaskan derajat hadits-hadits tersebut, keshahihan dn
kedhaifannya, serta kebersambungan dan keterputusan.
Kitab
ini sangat besar faedahnya, hanya saja cetakanya masih membutuhkan editing dan
pemberian tanda baris lebih banyak daripada yang ada sekarang.
No comments:
Post a Comment