KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya , yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah,dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah fiqih perbandingan madzhab yang berjudul Al-Ikhtilah dengan
baik.
Dalam penulisan makalah ini kami berterima kasih kepada :
1.
Bapak Fajar Shodiq Lc. M.Th.Iselaku dosen pengampu mata kuliah
fiqih perbandingan madzhab semester 3.
2.
Kepada teman-teman program study Ilmu Hadits yang telah membantu
dalam hal sarana prasarana juga dukungan motifasi dalam menyelesaikan tugas
ini.
Kami menyadari dalam setiap penulisan tiada kata sempurna, kami
mohon kritik dan saran dalam hasil karya ini agar kami dapat lebih baik lagi
menulis karya ilmiah kedepannnnya.
Jember, 24September 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar........................................................................................... 1
Daftar isi..................................................................................................... 2
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang............................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 3
1.3 Tujuan ............................................................................................ 3
Pembahasan
2.1
Ta’rif Al-Ikhtilaf................................................................................... 4
2.2
Al-Iktilaf Al-Maqbul............................................................................ 5
2.3
Asbab Al-Ikhtilaf ................................................................................ 6
Penutup
3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 11
3.2 Saran.................................................................................................... 11
Daftar Pustaka............................................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ada beberapa hal yang perlu disampaikan,
pertama, dalam islam terdapempat madzhab fiqih yang terkenal. Urutannya:
Hanafi, Maliki, Safi’i, Hambali. Inilah madzhab yang terkenal dalam fiqih
islam. Kedua, walaupun sudah ada empat madzhab tidak berarti bahwa semua
syari’at islam itu telah dibicarakan oleh keempat madzhab tersebut. Ini
berarti, belum tentu pedapat di luar empat madzhab itu secara otomatis salah.
Salah atau tidak mesti menggunakan pijakan dan patokan yang sudah disepakati
yaitu Quran dan hadits. Ketiga, barangkali ada baiknya ikhwan fillah
mengetahui, mengapa hanya empat madzhab ? karena hanya empat madzhab yang lolos
dari seleksi alam. Mengapa bisa lolos, sebab imam-imam dari empat madzhab ini
mempunyai pengikut-pengikut atau murid-murid yang rajin mencatat perkataan
imamnya yang terus-menerus diwariskan hingga sampai kepada kita. Imam-imam yang
diwariskan ilmu dari Imam yang empat itu belum tentu kadar keimanannya dibawah
imam yang empat, banyak diantaranya yang juga sangat pandai. Namun
pedapat-pendapat mereka akhirnya dinisbatkan kepada pemberi pendapat yang
pertama, yaitu imam yang pertama.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dariAl-Iktilaf ?
2. Bagaimana Al-Ikhtilaf Al-Maqbul ?
3. Apa saja asbab Al-Ikhtilaf ?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui secara jelas pengertian Al-Ikhtilaf
2. Agar mengetahui bagaimana Al-Ikhtilaf yang Maqbul
3. Untuk mengetahui asbab Al-Ikhtilaf
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ta’rif Al-Iktilaf
Iktilaf
menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berdasar dari bahasa
arab yang asal katanya khalafa, yakhlifu, khilafan. Maknanya lebih umum dari
pada al diddu, sebab setiap hal yang berlawanan atau aldiddain pasti akan
saling bertentangan.
Manusia
berbeda pendapat, mereka saling berbantah dan perang mulut. Terhadap perkara
ini Allah menegaskan dalam firmannya QS. Maryam 37, yang artinya:
“maka berselisihlah golongan-ngolongan (yang ada)
diantara mereka, maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu
menyaksikan hari yang besar”. [1]
Sedangkan
menurut istilah ikhtilaf dan mugholif adalah mengambil satu jalan diantara
jalan yang lain baik dalam keadaan ataupun pekerjaan, secara umum perbedaan itu
setiap dua perkara yang berlawanan dan setiap dua yang berbeda itu belum tentu
berlawanan.[2]
Perbedaan pendapat dalam hukum Islam bagaikan buah yang banyak yang berasal
dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan Sunnah, bukan sebagai buah yang
banyak yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalah
al-Qur’an dan Sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil-dalil naqli dan aqli,
sedangkan buahnya adalah hukum Islam (fiqih) meskipun berbeda-beda atau banyak
jumlahnya.[3]
Ikhtilaf dalam fiqih dibagi menjadi tiga:
ikhtilaf maqbul, iktilaf madmum, dan ikhtilaf saighma’kul.
2.2 Al-Ikhtilaf Al-Maqbul
Al-Ikhtilaf
Al-Maqbul merupakan perbedaan yang diterima, ulama berbeda pendapat mengenai
suatu kesunahan dari beberapa macam-macam hal tersebut dan mendahulukan kesunnahan
dari yang lainnya dan Ibnu Taimiyah menyamakan hal ini dengan macam-macamnya
haji jika seseorang melakukan haji qiran ataupun tamattuk ataupun ifrad maka
hal itu sudah dianggap haji menurut ulamanya orang-orang Islam, meskipun ulama
tersebut bertentangan mengenai yang lebih utama dari tiga hal tersebut. Begitu
juga mengenai masalah adzan, adzan bisa dianggap benar meskipun di dalamnya ada
bacaan tarji’ (dua kalimat syahadat) ataupun tidak, begitu juga dengan empat
takbiran baik diawal atau ditengah-tengah takbir. Begitu juga mengenai iqamah,
iqamah bisa sah baik dibaca sekali atau dua kali, dimana saja iqamahnya maka
tetap sah menurut ulama orang Islam kecuali jika diantara manusia tersebut
terdapat pertentangan.[4]
Begitu
juga mengenai permasalahan basmalah apakah dibaca keras atau pelan dan setiap
keduanya itu boleh hukumnya dan tidak membatalkan shalat namun letak perbedaan
itu pada kesunatannya sebagian ulama mensunnahkan sebagian lainnya memakruhkan.[5]
Begitu
juga masalah qunut dalam shalat subuh ulama berbeda pendapat mengenai
kesunnahan dan kemakruhannya, begitunpula bagi yang meninggalkannya apakah
harus melakukan sujud sahwi atau tidak. Namun apabila tidak melakukannya para
ulama tetap menghukuminya dengan sah karena melakukan qunut itu bukan sebuah
kewajiban. Begitu pula orang yang melakukan qunut, para ulama sepakat
menghukumi shalatnya tetap sah karena qunut termasuk perpanjangan rukun yang
ringan dan itu merupakan do’a pada rukun ini. Maka apabila seseorang melakukan
qunut diselainnya waktu subuh maka pekerjaan tersebut tidak membatalkan shalat
menurut kesepakatan ulama.[6]
Begitu
pula mengenai membaca istiftah, perbedaan ulama mengenai hal ini terletak pada
hal kesunnahannya. Adapun perbedaan mengenai kewajibannya itu hanya sedikit terjadi,
dan kewajiban istiftah tersebut berasal dari pendapat madzhab Imam Ahmad.
Maka
ikhtilaf ini merupakan ikhtilaf diantara umat yang mana perkaranya itu sangat
mudah. Ibnu Taimiyah berkata : “Memecah diri dari umat mengenai hal ini hukumya
itu tidak boleh memberikan hak pada sunnah dengan hak yang berada di atasnya”.
Seperti contoh seseorang yang memberikan hukum yang lainnya seperti wajib dan
sunnah yang afdhol. Karena tidak boleh hukumnya menjadikan perkara sunnah
menjadi wajib dan juga sebaliknya sekiranya seseorang mencegah orang lain untuk
meninggalkan perkara tersebut karena hal kewajibannya. Maka Ibnu Taimiyah
berpandangan bahwa orang yang seperti itu telah keluar dari agamanya dan
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan meninggalkan hal yang sunnah
tersebut karena adanya perbedaan yang jelas itu hukumnya lebih utama daripada
melakukannya. Begitu pula yang wajib.[7]
Dan
menjadi sesuatu yang diketahui yaitu sesungguhnya(i’tilaful qulup) bersatunya hati
umat islam di dalam agama itu lebih utama dari pada mengerjakan sunnah. Maka
apabila ada seseorang meninggalkan sunnah karena alasan i’tilaful qulub maka
hal tersebut lebih utama dikerjakan apabila didalamnya terdapat kemaslahatan.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Aisyah RA.
Rasulullah bersabda :” seandainya umatmu tidak memperbaharui atau merenovasi
ka’bah pada zaman jahiliyah niscaya akan aku rusak dan aku ratakan ka’bah itu
dengan bumi dan akan ku jadikan ka’bah itu sebagai tempat keluar masuknya
seseorang.[8]
2.3 Sebab-sebab Terjadinya Ikhtilaf
Terjadinya
perbedaan pendapat tentang menetapkan hukum islam, di samping disebabkan oleh
faktor yang bersifat manusiawi, juga faktor lain karena adanya segi-segi khusus
yang bertalian dengan agama. Faktor
penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang petummbuhan hukum pada generasi
berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjang sejarah hukum islam, sehingga
kadang- kadang menimbulkan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang –
orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah
tidak begitu di persoalkan lagi, apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang terjadi karna perbedaan
dalam berijtihad.[9]
Setiap
mujtahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan fikirannya untuk menemukan hukum
Allah SWT dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penjelasan
dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka yang pokok adalah
sama, yaitu al-qur’an dan sunnah. Tetapi terkadang temuan mereka berbeda satu
sama lain dan masing –masing dengan hasil ijtihadnya, yang menurut dugaan
kuatnya adalah benar dan tepat.
Syehk
Muhammad al- madany dalam bukunya Asbab
ikhtilaf al- Fuqoha’, membagi ikhtilaf itu pada empat macam, yaitu
1.
Pemahaman al-qur’an dan sunnah
Rasulullah SAW.
2.
Sebab – sebab khusus tentang sunnh
Rasulullah SAW.
3.
Sebab –sebab yang berkenan dengan
qaidah –qaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah.
4.
Sebab – sebab yang khusus mengenai
penggunaan dalil di luar al- qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Penjelasan dari masing –masing
penyebab ikhtilaf itu adalah sbagai berikut:
1.
Pemahaman al- Qur’an dan sunnah
Seperti di maklumi, sumber syari’at
islam adalah al- quran dan sunnah rasul. Keduanya berbahasa arab. Diantara
kata-katanya ada yang mempunyai arti
lebih dari satu (musytarak). Selain
itu pada ungkapannya terdapat kata ‘am
(umum) tetapi yang dimaksudkannya “khusus”.
Adapula perbedaan tinjauan dari segi lughawi
dan ‘urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.
Berikut ini dikemukakan dua contoh
mengenai musytarak dalam nash al-aquran yang menimbulkan ikhtilaf tersebut.
Pertama kata ” ya’fu” kata ini mengandung dua arti musytarak yaitu menggugurkan
dan menghibahkan. Konsekuensinya, para mujtahid berbeda pendapat dalam
menentukan siapakah yang berhak membebaskan sebagian mahar yang telah di
tentukan, apakah wali atau suami.
2.
Sebab – sebab Khusus Mengenai Sunnah
Rasulullah SAW
Sebab –sebab khusus mengenai sunnah
rasul SAW. yang menonjol antara lain: (a) pebedaan dalam penerimaan hadist,
sampai atau tidaknya suatu hadits kepada sebagian pendapat, (b) perbedaan dalam
menilai periwayatan hadits (shahih atau tidaknya), (c) perbedaan kedudukan
syakhsbiyyah Rasul.
a. Perbedaan
dalam penerimaan hadits
Para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan) hdits, kesempatannya
tidak sama. Ada banyak yang menghadiri majlis rasul, tentunya mereka inilah
yang banyak menerima hadits sekaligus meriwayatkannya.tapi banyak pula diantara
merek yang sibuk dengan urusan –urusan pribdinya, sehingga jarang menghadiri
majlis Rasul, pada hal biasanya dalam majlis itulah rasul menjelaskan masalah
–masalah yang ditanyakan atau menjelskan hukum sesuatu ; memerintah atau
melarang dan menganjurkan sesuatu.
b. Perbedaan
dalam menilai periwayat hadits
Adakalanya sebagian ulama memandang periwayat suatu hadits shahih,
sedangkan menurut ulama yang lain tidak, misalnya karna tidak memenuhi semua
persyaratan yang telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad,
maupun matannya.
c. Ikhtilaf
tentang kedudukan Rasulullah SAW
Bahwa rasul disamping keberadaannya sebagai rasul, juga sebagai manusia
biasa (Q.S. al- Kahfi : 110). Kadang –kadang
beliau bertindak sebagai panglima perang sebagai kepala negara dan
sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak sama
kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika melakukannya.
3.
Perbedaan Mengenai Qawa’id Ushuliyyah
dan Qawa’id Fiqhiyyah
Sebab –sebab perbedaan pendapat yang
berkaitan dengan kaidah –kaidah ushul diantaranya adalah mengenai istisna’
yakni : apakah istisna’ yang terdapat sesudah beberapa jumlah yang di’athafkan
satu sama lainnya, kembali kepada semua ataukah kepada jumlah terakhir saja.
Adapuun sebab –sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan denagn kaidah
–kaidah fiqhiyah contohnya antara lain sebagai berikut :
a. Madzhab
Syafi’i menggunakan kaidah:” hukum terkuat dari segala sesuatu adalah boleh,
sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya.
b. Madzab
Hanafi menngunakan kaidah :” hukum yag terkuat dari segala sesuatu adalah
haram, sehingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.
4.
Perbedaan penggunaan dalil diluar
Al-qur’an dan sunnah.
Ulama terkadang berbeda pendapat pula
mengenai fiqh, disebabkan perbedaan penggunaan dalil diluar al-qur’an dan
sunnah, seperti; Amal ahli madiah dijadikan dasar fiqh oleh imam malik,
tidak dijadikan dasar oleh para imam yang lainnya. Begitu pula perbedaan dalam
penggunaan ijma’ qiyas, maslahah mursalah, istihsan, sad al-Dzari’ah,
istishhab, urf dsb, yang oleh sebagian ulama’ dijadikan dasar, sedang para
ulama’ lain tidak menjadikan dasar dalam mengistimbatkan hukum, sekalipun
kebenarannya perbedaan itu hanyalah dalam tingkatan penggunaannya saja.
Dari uraian diatas tentang
sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam disimpulkan bahwa:
a. Perbedaan
ulama’ mengenai sumber hukum utama (al qur’an) adalah dari segi pemahaman
semata-mata terdapat nash-nash yang zhanny (tidak pasti )dalalahnya.
b. Perbedaan
mengenai sumber hukum yang ke dua, yakni sunnah rasul, yakni dari segi wurud
(penilaian terhadapat sanad dan sebagian matan hadist), disamping
segi dalalahnya, serta perbedaan mengenai kedudukan sunnah rasul sesudah
dikaitan dengan Syakhshiyyah rasul (sebagai rasul atau insaniyahnya).
c. Perbedaan
pendapat dalam islam, bukan mengenai persoalan dasar (pokok), baik di kalangan
ahlussunnah, maupun syiah dan mu’tazilah, melainkan perbedaan pandangan dan
penilaian terhadap nuzusb, (al qur’an dan sunnah) yang memungkinkan dan
memberi celah-celah adanya perbedaan penafsiran. Karna itu, peganut mahzab
tertentu sering menentang mahzabnya sendiri, seperti ibn taimiyah dan ibn al
qayyim terhadap imam ahmad bin hambal, serta abi yusuf dan muhammad al hasan al
saibany terhapat imam abi hanifah.
d. Perbedaan
yang disebabkan penggunaan dalil diluar al qur’an dan sunnah seperti ijma’,
qiyas, istihsan, mashabab mursalah, dan lain-lain.
Kesimpulan
1.
Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat di antara ahli hukum islam
(Fuqaha’) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan
pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam),
disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum
suatu masalah.
2.
Al-Ikhtilaf Al-Maqbul adalah ikhtilaf
yang mendahulukan kesunnahan dari yang
lainnya. Ikhtilaf ini juga merupakan ikhtilaf diantara umat yang mana
perkaranya itu sangat mudah, akan tetapi jika meninggalkan hal yang sunnah
tersebut karena adanya perbedaan yang jelas itu hukumnya lebih utama dari pada
melakukannya. Begitu pula yang wajib.
3.
Sebab-sebab Terjadinya Ikhtilaf ikhtilaf
itu pada empat macam, yaitu;
1.Pemahaman al-qur’an dan sunnah Rasulullah SAW
2.Sebab – sebab khusus tentang sunnh Rasulullah SAW.
3.Sebab –sebab
yang berkenan dengan qaidah –qaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah.
4.Sebab – sebab
yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar al- qur’an dan sunnah Rasulullah
SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Huzaimah,
Tahido Yanggo. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos
Al-Bati,
Muhammad Sa’id Ramadhan. 1993. muhadhorot fi fiqhil muqarron. Darr
Ai-fikr Al-Ma’asyir: Beirut
[1] Tahido Yanggo Huzaimah, Pengantar Perbandingan Mazhab,(Jakarta:Logos,
1997) Hal.47
[2]Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Bati, muhadhorot fi fiqhil muqarron,(
Darr Ai-fikr Al-Ma’asyir: Beirut, 1993)hal.15
[3]Tahido Yanggo Huzaimah, Pengantar Perbandingan Mazhab, Hal.49
[4]Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Bati, muhadhorot fi fiqhil muqarron,(
Darr Ai-fikr Al-Ma’asyir: Beirut, 1993) hal.15
[5]Ibid 15-16
[6]Ibid 16
[7]Ibid 16
[8]Ibid 17
[9]Tahido Yanggo Huzaimah, Pengantar Perbandingan Mazhab,(Jakarta:Logos,
1997) Hal 51
No comments:
Post a Comment