Soal :
1.
Bagaimana pandangan anda tentang gerakan bela al-qur’an 212 dalam
persepektik dakwah al-qur’an?
2.
Berilah penjelasan mengenai teks hadis, mengenai wacana NKRI?
3.
Jelaskan langkah-langkah pengembangan teori dakwah?
4.
Identitas problematika dakwah islam, dan berilah tawaran solulinya?
Jawaban
:
1.
Pandangan tentang gerakan 212
Demonstrasi ataupun unjuk rasa merupakan salah
satu cara untuk menampakkan aspirasi ataupun pendapat masyarakat (ta‘bîr
ar-ra’yi) secara berkelompok. Secara umum, aktivitas menampakkan aspirasi atau
pendapat (ta‘bîr ar-ra’yi) di dalam Islam adalah perkara yang dibolehkan
(mubah). Hukumnya sama seperti kita mengungkapkan pandangan atau pendapat
tentang suatu perkara. Hanya saja, hal ini dilakukan oleh sekelompok orang.
Di dalam terminologi bahasa Arab, demonstrasi
terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Muzhâharah (demonstrasi), yaitu aksi sekelompok
masyarakat di tempat-tempat umum untuk menuntut perkara-perkara tertentu yang
sudah menjadi tugas negara atau para penanggung jawabnya. Para demonstran dalam
aksinya tersebut biasanya melakukan pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran
barang-barang milik negara ataupun barang-barang milik individu.
2. Masîrah (unjuk rasa), hampir sama dengan
demonstrasi, yaitu aksi sekelompok masyarakat untuk mendukung atau menuntut
sesuatu. Akan tetapi, tidak disertai pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran
atas barang-barang milik umum maupun khusus (milik individu).
Masîrah (unjuk rasa) merupakan salah satu cara
(uslûb) di antara berbagai cara pengungkapan aspirasi atau pendapat (ta‘bîr
ar-ra’yi). Oleh karena itu, aktivitas masîrah (unjuk rasa) bukanlah metode
(tharîqah) menurut Islam dalam melakukan proses perubahan di masyarakat.
Apabila kondisinya memungkinkan, masîrah (unjuk rasa) dapat dilakukan. Sebaliknya,
apabila kondisinya tidak memungkinkan,masîrah (unjuk rasa) tidak perlu
dilakukan. Hal ini sesuai dengan hukum kebolehannya.
Rasulullah saw tidak pernah menjadikan dan
menggunakan unjuk rasa sebagai metode untuk mengubah masyarakat jahiliah di
kota Makkah menjadi masyarakat Islam. Memang, beliau pernah melakukan
aktivitasmasîrah satu kali di kota Makkah. Beliau memerintahkan kaum Muslim
keluar dan berjalan membentuk dua shaf barisan. Satu dipimpin oleh ‘Umar ibn
al-Khaththab dan lainnya dipimpin oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib r.a. Dengan
diiringi suara takbir, kaum Muslim berjalan mengelilingi Ka’bah. Yang dilakukan
Rasulullah saw adalah mengambil salah satu cara (uslûb) yang tidak pernah
dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain sebelumnya, yang ditujukan
dalam rangka mengekspose dakwah Islam.
Pandangan Islam yang menjadikan masîrah (unjuk
rasa) sebagai uslûb mengungkapkan aspirasi atau pendapat, yang bisa dilakukan
bisa juga tidak, sangat berbeda dengan pandangan masyarakat Sosialis dan
Komunis. Mereka menganggap muzhâharah (demonstrasi) sebagai salah satu metode
baku (tharîqah) dalam melakukan perubahan masyarakat. Bagi mereka, demonstrasi
adalah semacam antitesa untuk menggerakkan proses perubahan masyarakat ke arah
yang mereka inginkan. Oleh karena itu, apa pun akan mereka lakukan; termasuk
dengan jalan merusak, menghancurkan, dan membakar fasilitas-fasilitas umum,
negara, maupun barang-barang milik individu.
Berdasarkan hal ini, masyarakat Sosialis atau
Komunis telah menjadikan muzhâharah (demonstrasi) sebagai metode baku dan ciri
khas masyarakat mereka dalam melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat.
Keberadaan demonstrasi adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi
agar proses perubahan dapat bergulir. Dalam skala yang lebih luas lagi, mereka
menyebutnya dengan revolusi rakyat. Dengan mengatasnamakan rakyat, mereka
berhak menghancurkan, merusak, dan membakar fasilitas dan milik umum maupun
milik individu. Tujuannya adalah untuk menghasilkan sebuah sintesa, yaitu
sebuah masyarakat Sosialis atau Komunis yang mereka angan-angankan.
Bagi kaum Muslim, haram hukumnya melakukan
demonstrasi (muzhâharah) seperti yang dilakukan oleh kaum Sosialis maupun
Komunis; yakni dengan cara merusak, menghancurkan, dan membakar barang-barang
milik masyarakat, negara, maupun milik individu. Bagi kita, kaum Muslim, darah
seorang Muslim, harta kekayaan yang dimilikinya, dan kehormatannya haram
ditumpahkan, dirampas, dan dilanggar oleh Muslim lainnya. Syariat Islam bahkan
menjaga tiga perkara tersebut dalam pagar yang sangat rapat.
Pelanggaran terhadap tiga perkara itu
digolongkan ke dalam hukum-hukum hudûd, yaitu hukum yang bentuk pelanggaran dan
sanksinya hanya ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di samping itu, kita, kaum Muslim, tidak
mengenal prinsip dan kaidah ‘menghalalkan segala cara’ (al-ghâyah lâ tubarriru
al-washîlah), sebagaimana yang dianut oleh masyarakat Sosialis, Komunis, dan
Kapitalis. Tindak-tanduk seorang Muslim, masyarakat Muslim, dan penguasa Muslim
wajib terikat dengan syariat Islam; termasuk dalam mengungkapkan aspirasi atau
pendapat dengan berunjuk rasa maupun dalam melakukan proses perubahan di
tengah-tengah masyarakat. Tidak pantas seorang Muslim mengaku beriman kepada
Allah Swt dan Rasul-Nya, sementara dalam mengungkapkan aspirasi/pendapat dan
melakukan proses perubahan masyarakat agar menjadi masyarakat Islam, mereka
lakukan dengan menghalalkan segala cara, mencampakkan tolok ukur halal-haram,
dan membuang tuntunan syariat Islam. Allah Swt berfirman:
]وَمَا كَانَ لِمُـؤْمِنٍ وَلاَ مُـؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
"Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan
tidak (pula) bagi perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada pilihan (selain hukum Islam) tentang
urusan mereka". (QS al-Ahzab [33]: 36)
BERIKUT DALIL DALAM Al-Qur’an, As-Sunnah, Siroh
Rasul saw. dan Kaidah Fiqhiyah tentang masyirah.
1. Al Qur’an
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)( QS Al-Anfaal 60).
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)( QS Al-Anfaal 60).
2. Hadits Rasul saw
Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang
haq/benar terhadap penguasa yang zhalim (HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani,
Al-Baihaqi, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi)
Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah
dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu,
dengan hatitnya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman (HR Muslim).
3. Sirah Rasul saw (Sirah juga sunnah)
Nabi saw. dengan para sahabatnya melakukan unjuk rasa atau demonstrasi meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw. di jalan-jalan sambil menelusuri jalan Mekkah dengan tetap melakukan tabligh dakwah.
Nabi saw. dengan para sahabatnya melakukan unjuk rasa atau demonstrasi meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw. di jalan-jalan sambil menelusuri jalan Mekkah dengan tetap melakukan tabligh dakwah.
Rasulullan saw. dan para sahabatnya sambil
melakukan Thawaf Qudum setelah peristiwa Hudaibiyah melakukan demo
memperlihatkan kebenaran Islam dan kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan
unjuk kekuatan) dengan memperlihatkan pundak kanan ( idhthiba’) sambil
berlari-lari kecil. Bahkan beliau secara tegas mengatakaan saat itu:” Kita
tunjukkan kepada mereka (orang-orang zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran)
adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan dimain-mainkan)”.
4. Kaidah Fiqhiyah
Sesuatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kewajiban kecuali dengannya, maka hal tersebut menjadi wajib.
Sesuatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kewajiban kecuali dengannya, maka hal tersebut menjadi wajib.
Sehingga dalam hal ini suatu tujuan yang akan
ditempuh dengan mengharuskan menggunakan sarana, maka pemakaian sarana tersebut
menjadi wajib. Dan demonstrasi adalah sarana yang sangat efektif dalam
melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, dakwah dan jihad.
Di bawah ini adalah alasan-alasan yang menjadikan demonstrasi haram :
1. Jika tujuan demonstrasi untuk mengokohkan atau membela kezholiman
seseorang, dan membelanya agar tidak diturunkan dari jabatannya.
2.Jika hanya membela kepentingan suatu golongan tertentu saja dengan
menjatuhkan golongan yang lain.
3.Jika tidak ada sebab yang mendesak atau tanpa alasan yang dibenarkan.
4.Jika demo dimaksudkan untuk menyerang penguasa hingga menyebabkan
kacaunya stabilitas ekonomi bahkan tertumpahnya darah dari para demonstran.
Alasan tentang syarat dibolehkannya melakukan demonstrasi atau unjuk rasa
bisa menjadi suatu hal yang wajib dilakukan, diantaranya :
1.Apabila orang-orang kafir memerangi atau menggugat syariat Allah, maka
hukumnya menjadi wajib.
2.Jika pemerintah sudah meremehkan, mengekang, serta merampas hak-hak
rakyat terutama yang menyangkut dhoruriyatu al-khomsah.
3.Apabila seorang hakim lebih mengutamakan dan lebih mementingkan kaumnya,
madzhabnya, atau bahkan partainya dalam perkara hak dan kewajiban.
4.Apabila pemerintah lemah dalam kepemimpinannya, terkhusus dalam urusan
darah (jiwa) seseorang.
5.Menelurkan kebijakan guna melanggengkan kursi kekuasaannya.
6.Memimpin untuk mengenyangkan perut semata.
7.Penguasa membiarkan, bahkan menyuruh perangkat pemerintahan untuk
mengaganggu atau meneror rakyat.
8.Menghendaki negara lain (Negara Islam) agar tunduk pada
hegemoni penjajah atau barat.
2. Wacana
NKRI
Sudah
sama-sama diketahui bahwa Negara ini dibentuk menjadi sebuah bangsa berawal
dari senasib sepenanggungan sebagai negri jajahan Hindia Belanda dari Sabang
sampai Meroke. Perjuangan mengusir penjajah dilakukan oleh seluruh bangsa yang
berawal dari bersifat kedaerahan masing-masing hingga menjadi perjuangan
kebangsaan yang bersifat nasional. Dari berdirinya Budi Utomo, Syarikat Islam,
Muhamadiyah, Nahdlotul Ulama hingga pernyataan Sumpah Pemuda dari semua unsur
Kedaerahan yang menyatakan satu kesatuan Bertanah Air, Berbangsa dan Berbahasa
Satu yaitu INDONESIA.
Kemudian proses berdirinya negara dimulai dari
dibentuknya suatu badan yaitu BPUPKI kemudian membentuk kepanitiaan PPKI yang
merumuskan bentuk negara dan dasar negara yang dilakukan oleh tim sembilan
terdiri dari satu unsur kristen, empat Islam santri dan empat dari unsur Islam
Nasionalis, merekalah para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pertanyaannya Mengapa mereka yang mayoritas beragama Islam tidak mendirikan
Negara Islam saja..? Pastinya mereka mencari rujukan, dalil-dalil dan dasar
agama atau contoh-contoh negara-negara yang sudah ada saat itu. Perlu diingat,
sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia itu sudah ada kesultanan,
kerajaan-kerajaan yang bersifat kedaerahan dan mereka para kesultanan
meleburkan diri kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasar ke-bineka
tunggal ika-an lah bangsa ini terbentuk, bukan dari satu suku saja, bukan dari
satu agama saja, bukan dari satu bahasa saja, semua dengan ikhlas beleburkan
diri menjadi satu tanpa ada paksaan diantara anak bangsa tersebut.
Sebagai contoh kerajaan Siak Sri Indrapura di Daerah
Riau, Kesultanan Siak, Sultan Syarif Qasim II dengan ikhlas menyerahkan mahkota
kerajaanya kepada presiden Indonesia Ir. Sukarno di jakarta termasuk Istananya.
Dan Sultan melepas semua atribut kesultanan beliau, beliau sendiri menetap di
Jakarta sebelum akhirnya kembali ke kota Pekanbaru, Riau. Begitupun
kerajaan-kerajaan lain menyatakan diri menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia walau sebelumnya kerajaan-kerajaan tersebut adalah
negara-negara merdeka yang berdaulat dan diakui oleh dunia internasional.Semua
itu karena ke-BINEKA TUNGGAL IKA-an dan negara berdasarkan PANCASILA dan UUD
1945. Sejarah membuktikan bahwa tidak ada satu kerajaan di bumi nusantara ini
yang bergabung atas dasar pemaksaan.
Sejarah membuktikan bahwa NKRI didirikan
berdasarkan hasil musyawarah diantara para pejuang kemerdekaan dengan BPUPKI
kemudian menjadi PPKI dan membentuk panitia sembilan yang bertugas merumuskan
bentuk negara sebelum akhirnya memproklamirkan berdirinya sebuah negara merdeka
oleh Ir. Sukarno dan Dr. Moh. Hatta, atas nama bangsa Indonesia.
Musyawarah, sebagai perintah agama terdapat
dalam Al Qur'an Surat Ali 'Imron ayat 159 : "Wasyawirhum fil amri",
bermusyawarahlah kalian dalam urusan kalian. kemudian surat Asy-Syuro ayat 38 :
"Walladzinas tajabu lirobbihim wa aqomushsholata wa amruhum syuro bainahum
wamimmaa rodzaqnahum yunfiquun", Dan bagi orang-orang yang menerima (
mentaati ) seruan Tuhannya dan melaksanakan sholat sedang urusan mereka
diputuskan dengan musyawaroh antara mereka dan mereka menginfaqkan sebagian
dari rizqi yang kami berikan kepada mereka.
Itulah dua ayat yang memerintahkan musyawaroh
dan batasannya jelas, yaitu melaksanakan sholat dan menginfaqkan rizki atau
berzakat.
Kemudian sampai kapan hasil musyawaroh itu disepakati, Al Qur'an surat Al Isro' ayat 34 : "Wa awfu bil'ahdi, innal 'ahda kaana mas'ulaa", dan penuhilah janji (kesepakatan), karena janji itu pasti dimintai pertanggung jawabannya.
Kemudian sampai kapan hasil musyawaroh itu disepakati, Al Qur'an surat Al Isro' ayat 34 : "Wa awfu bil'ahdi, innal 'ahda kaana mas'ulaa", dan penuhilah janji (kesepakatan), karena janji itu pasti dimintai pertanggung jawabannya.
Jelaslah bahwa mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonsia itu adalah suatu kewajiban yang diperintahkan Al Qur'an
dimana kesepakatan hasil musyawaroh itu wajib dipenuhi. Dan Negara Wajib
menumpas setiap perbuatan atau gerakan yang menentang Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini.
Mempertentangkan Pancasila dan Islam memang terasa lebih mudah daripada
memahami keduanya secara proporsional. Namun demikian, NU telah menegaskan
pandangannya yang jelas dan jernih, yang tercantum dalam Deklarasi Hubungan
Pancasila dan Islam, sebagai berikut:
1.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia adalah prinsip
fundamental namun bukan agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak
dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara menurut pasal 29 ayat (1)
UUD 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut
pengertian keimanan dalam Islam.
3.
Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah meliputi aspek
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4.
Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat
Islam Indonesia untuk menjalankan kewajiban agamanya.
5.
Sebagai konsekuensi dari sikap tersebut di atas, Nahdlatul Ulama
berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan
pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Merujuk pernyataan KH. Achmad Siddiq, Peletak Dasar Khitthah NU: “Nahdlatul
Ulama menerima Pancasila menurut bunyi dan makna yang terkandung dalam
Undang-Undang 1945 (bil lafdhi wal ma’nal murad), dengan rasa tanggung jawab
dan tawakkal kepada Allah.”
NKRI dalam Perspektif NU
Demokrasi di era reformasi telah membuka seluas-luasnya pintu kebebasan.
Bahkan kebebesan yang menjurus pada tindakan makar terhadap negara pun leluasa
bergerak. Semisal eksistensi Hizbut Tahrir yang jelas-jelas mengagendakan
penggulingan negara (tasallum zimam al-hukm).
Namun bagi NU, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan upaya
final dari perjuangan seluruh penduduk Indonesia–termasuk umat Islam di
dalamnya– dalam mendirikan negara. NKRI adalah negara yang sah menurut hukum
Islam, yang menjadi wadah berkiprah melaksanakan dakwah yang akomodatif dan
selektif, serta bertaqwa sesempurna mungkin, tidak usah mencari atau membuat
negara yang baru.
Bahkan merujuk Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, mempertahankan dan
menegakkan NKRI menurut hukum Agama Islam adalah wajib, termasuk sebagai satu
kewajiban bagi tiap-tiap muslim, dan jihad fi sabilillah.Karena itu, NU mempunyai tanggung jawab terhadap
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, baik dahulu, sekarang, maupun masa
mendatang.
3.Pengembangan Teori Dakwah
Dakwah merupakan tugas
bagi setiap umat Islam yang dalam menjalaninya tidaklah semudah membalikan
telapak tangan. Di lapangan begitu banyak persoalan dan tantangan. Mulai dari
masalah ketidaktahuan umat terhadap syari’at hingga perselisihan antar umat
Islam dan antar umat beragama. Disamping itu, saat ini zaman telah berkembang
sedemikian rupa. Perkembangan budaya, ekonomi, pemerintahan, dan teknologi yang
tumbuh begitu pesat. Bila dakwah Islam tak mampu mengikuti perkembangan zaman,
tak menutup kemungkinan ia hanya akan terdampar di musieum peradaban. Dakwah
hanya akan menjadi wacana dan kenangan semata, tanpa memperlihatkan pengaruhnya
bagi umat dan dunia.
Dakwah artinya menyeru,
mengajak, atau mendorong. Secara etimologi perkataan dakwah berasal dari bahasa
Arab yaitu dari kata da’a, yad’u, da’watan yang berarti,
seruan-ajakan-panggilan. Menurut istilah dakwah adalah suatu proses upaya
mengubah sesuatu situasi kepada situasi yang lain yang lebih baik sesuai ajaran
Islam, atau proses mengajak manusia ke jalan Allah yaitu Al-Islam. Menurut
Hasjmy, dakwah adalah mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan aqidah
dan syari’ah Islam yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalakan oleh
pendakwah sendiri. Tujannya adalah untuk membentangkan jalan Allah di atas muka
bumi agar dilalui umat manusia. Sedang menurut H. Endang S. dakwah adalah
penjabaran, penterjemahan dan pelaksanaan Islam dalam perikehidupan dan
penghidupan manusia (termasuk di dalamnya politik, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan, ilmu pengetahuan kesenian dan sebagainya. Menurut Asmuni Syukir
strategi dakwah artinya sebagai metode, siasat, taktik atua meniuvers yang
dipergunakan dalam aktivitas (kegiatan) dakwah.
Dalam mengembangkan
dakwah sebagai ilmu terasa sangat tidak mungkin tanpa dibarengi dengan adanya
penemuan dan pengembangan kerangka teori dakwah. Tanpa teori dakwah maka apa
yang disebut dengan ilmu dakwah tidak lebih dari sekadar kumpulan pernyataan
normatif tanpa memiliki kadar analisa atas fakta dakwah atau sebaliknya, ilmu dakwah
hanya merupakan kumpulan pengetahuan atas fakta dakwah yang tidak akan
bisa dijelaskan hubungan kausalitasnya antar fakta sehingga mandul untuk
memandu pelaksanaan dakwah dalam menghadapi masalah yang kompleks.
Secara akademik, dengan
adanya teori dakwah maka dapat dilakukan generalisasi atas fakta-fakta dakwah,
memandu analisa dan klasifikasi fakta dakwah, memahami hubungan antarvariabel
dakwah, menaksir kondisi dan masalah dakwah baru seiring dengan perubahan
sosial di masa depan serta menghubungkan pengetahuan dakwah masa lalu, masa
kini dan masa yang akan datang.
Strategi dakwah yang
dipergunakan di dalam usaha dakwah harus memperhatikan beberapa asas dakwah,
agar proses dakwah dapat mngena sasaran dan mudah diterima oleh masyarakat
objek dakwah. Beberapa asas dakwah yang harus diperhatikan di antaranya sebagai
berikut :
1. Asas filosofis. Asas
ini terutama membicarakan masalah yang erat hubungannya dengan tujuan-tujuan
yang hendak dicapai dalam proses atau dalam aktivitas dakwah;
2. Asas kemampuan dan
keahlian da’i;
3. Asas sosiologi. Asas
ini membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi dan kondisi sasaran
dakwah. Misalnya, politik, pemerintah setempat, mayoritas agama di daerah
setempat, filosofis sasaran dakwah. Sosio-kultural sasaran dakwah dan
sebagainya;
4. Asas psikologis.
Asas ini membahas masalah yang erat hubungannya dengan kejiwaan manusia.
Seorang da’i adalah menusia, begitupun saran dakwahnya yang memiliki karakter
(kejiwaan) yang unik yakni berbeda satu sama lainnya. Apalagi masalah agama,
yang merupakan masalah ideologi atau kepercayaan (rakhaniah) tak luput dari
masalah-masalah psikologis sebagai asas (dasar) dakwahnya; dan
5. Asas efektifitas dan
efisiensi. Asas ini maksudnya adalah di dalam aktivitas dakwah harus berusaha
menyeimbangakan antara biaya, waktu maupun tenaga yang dikeluarkannya dengan
pencapaiaan hasilnya, bahkan kalau bisa waktu, biaya dan tenaga sedikit dapat
memperoleh hasil yang semaksimal mungkin. Dengan kata lain ekonomis biaya,
tenaga dan waktu, tapi dapat mencapai hasil yang semaksimal mungkin atau
setidak-tidaknya seimbang antara keduanya.
Dengan mempertimbangkan
asas-asas sebagaimana tersebut diatas, seorang da’i tinggal memformulasikan dan
menerapkan strategi dakwah yang sesuai dengan kondisi mad’u sebagai objek
dakwah.
Ada beberapa tahapan
dakwah Rasulullah dan para sahabatnya yang dapat dibagi menjadi tiga tahapan.
Pertama, tahap pembentukan (takwin). Kedua, tahap penataan (tandhim). Ketiga,
tahap perpisahan dan pendelegasian amanah dakwah kepada kepada generasi
penerus. Pada setiap tahapan memiliki kegiatan dengan tantangan khusus dengan
masalah yang dihadapi. Dalam hal ini dapat dinyatakan ada beberapa model dakwah
sebagai proses perwujudan realitas ummatan khairan.
1. Model Dakwah dalam
Tahap Pembentukan (Takwin)
Pada tahapan ini
kegiatan utamanya adalah dakwah bil lisan (tabligh) sebagai ihtiar sosialisasi
ajaran tauhid kepada masyarakat Makkah. Interaksi Rasulullah Saw dengan mad’u
mengalami ekstensi secara bertahap: keluarga terdekat, ittishal fardhi (QS. 26:
214-215) dan kemudian kepada kaum musyrikin, ittishal jama’i (QS. 15: 94).
Sasarannya bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam kepribadian
mad’u, kemudian apa yang sudah diterima dan dicerna dapat diekspresikan dalam
ghirah dan sikap membela keimanan (akidah) dari tekanan kaum Quraisy. Hasilnya
sangat signifikan, para elite dan awam masyarakat menerima dakwah Islam.
2. Tahap Penataan Dakwah
(Tandzim)
Tahap tanzhim merupakan
hasil internalisasi dan eksternalisasi Islam dalam bentuk institusionalisasi
Islam secara komprehensip dalam realitas sosial. Tahap ini diawali dengan
hijrah Nabi Saw ke Madinah (sebelumnya Yastrib). Hijrah dilaksanakan setelah
Nabi memahami karakteristik sosial Madinah baik melalui informasi yang diterima
dari Mua’ab Ibn Umair maupun interaksi Nabi dengan jama’ah haji peserta
Bai’atul Aqabah. Dari strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan
kultural, struktural, dan militer sudah sedemikian mencekam, sehingga jika
tidak dilaksanakan hijrah, dakwah dapat mengalami involusi kelembagaan dan
menjadi lumpuh.
Hijrah dalam proses dakwah Islam menjadi sunnatullah. Mad’u (masyarakat) diajak
memutus hubungan dari lingkungan dan tata nilai yang dhalim sebagai upaya
pembebasan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagaimana kondisi fitrinya
yang telah terendam lingkungan sosio-kultural yang tidak Islami. Hal ini
berarti merupakan peristiwa “menjadi” muslim dalam sejarah sebagai perwujudan
“muslim” dalam dunia fitri. Semuanya menunjukkan bahwa tanpa hijrah secara
komprehensif maka kegiatan dakwah kehilangan akar alamiahnya: kembali ke fitri.
3. Tahap Pelepasan dan
Kemandirian.
Pada tahap ini ummat
dakwah (masyarakat binaan Nabi Saw) telah siap menjadi masyarakat yang mandiri
dan, karena itu, merupakan tahap pelepasan dan perpisahan secara manajerial.
Apa yang dilakukan Rasulullah Saw ketika haji wada’ dapat mencerminkan tahap
ini dengan kondisi masyarakat yang telah siap meneruskan Risalahnya.
4. Teori Analisa Sistem
Dakwah.
Penulis secara khusus
meneliti dakwah islam dengan pendekatan teori sistem umum (The general system
theory) yang hasilnya antara lain menyatakan:
1.Dakwah Islam adalah
suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem yang saling
berhubungan,bergantung dan berinteraksi dalam mencapai tujuan dakwah.
2.Dakwah Nabi Muhammad
SAW berjalan menurut alur sistem dakwah yang doarahkan Allah SWT yang menjadi
sunnah Allah yang berlaku dalam dakwah islam yang bersifat tetap,obyetktif dan
universal.
3. Dakwah islam sebagai suatu sistem memiliki masukan utama(raw input) berupa
materi pokok dakwah dari wahyu allah(al qur’an) dan assunnah ketika
dikonversikan menjadi keluaran baik dalam dataran
pribadi,keluarga,kelompok,masyarakat dan negara telah menimbulkan kemelut dan
goncangan sosial yang besar ditengah tata sosial,budaya dan peradapan yang
telah mapan di tengah masyarakat.
4. Keberhasilan dakwah
yang mendatangkan perubahan masyarakat yang signifikan adalah dakwah yang
dijalankan dalam sebuah sistem yang subsistem konversinya berfungsi secara
maksimal dalam mentransformasikan masukan menjadi keluaran,yang ditopang oleh
kepemimpinan yang kuat yang visioner berorentasi pada tujuan dan perubahan
lingkungan masyarakat
5. Sistem dakwah islam
berjalan tepat guna ketika masukan sarana berupa metode,peta,dana dan fasilitas
dakwah tersedia secara memadai.pemilihan dan penerapan metode yang tidak tepat
dalam melakukan proses transformasi islam akan melahirkan tatanan masyarakat
berpandangan ganda disatu pihak menyatakan beriman kepada Allah tetapi menolak
menerapkan Syari’ah dalam kehidupan bermayarakat dan bernegara .
6. Momentum berkembangnya
dakwah islam adalah karena adanya keluaran berupa negara yang menjadikan
syari’ah sebagai otoritas tertinggi dalam menilai dan mengatur kehidupan
masyarakat dan negara.
7. Balikan dari tanggapan
lingkungan masyarakat(mad’u) terhadap harakah dakwah islam sebagai suatu sistem
melahirkan 4 pola dasar : Pertama informasi mengenai medan dakwah,Kedua
dukungan masyarakat yang menerima dakwah islam(umat ijabah)maka akan menjadi
faktor yang dominan dalam penguatan sistem utamanya dalam masyarakat Ketiga
hambatan masyarakat yang menolak dakwah islam akan menjadi faktir penghambat
dan proses konversi sistem dakwah islam sebagai bentuk balikan negatif yang
memerlukan penyelesaian secara tuntas.Keempat kelompok masyarakat yang bersifat
netral terhadap dakwah islam tidak menerima dan tidak menolak dakwah islam
secara tegas serta tidak memberikan hambatan dakwah islam.
4.Identitas
Problematika Dakwah Islam dan Solusi
Problematika berasal dari kata problem yang artinya
soal, masalah, perkara sulit, persoalan. Problematika sendiri secara leksikal
mempunyai arti: berbagai problem.
Sedangkan dakwah secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu bentuk
masdar dari da’a yad’u yang berarti menyeru
atau mengajak. Sedangkan secara terminologi, da’i didefinisikan para ahli
sebagai berikut:
a.Aly Mahfudz mengartikan bahwa
dakwah adalah memotivasi manusia untuk berbuat kebaikan dan petunjuk, menyuruh
pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang munkar untuk memperoleh kebahagiaan
dunia akhirat.
b.Menurut Aly Shalih Al-Mursyid, dakwah merupakan
suatu cara untuk menegakkan kebenaran yang hakiki, kebaikan dan hidayah serta
melenyapkan kebathilan dengan berbagai pendekatan, metode, dan media.
Sedangkan pengertian
problematika dakwah menurut istilah adalah permasalahan yang muncul dalam
menyeru, memanggil, mengajak dan menjamu, dengan proses yang ditangani oleh
para pengembang dakwah Hal ini dikarenakan Islam adalah dakwah, artinya agama yang selalu
mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah dan
mengentaskan segala permasalahan yang timbul di masyarakat indonesia.
Berdasarkan uraian di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa problematika dakwah adalah permasalahan
yang muncul dalam proses dakwah yakni ketika da’i menyeru, memanggil, mengajak
dan menjamu para mad’u.
Pengertian Masyarakat Modern
Secara etimologi,
Istilah “masyarakat” merupakan terjemahan dari kata society (Inggris).
Sedangkan istilah society berasal dan societas (Latin) yang berarti “kawan”.
Sedangkan secara
terminologi, banyak para ahli yang mendefinisikan masyarakat, antara lain.
a.
Menurut An-Nabhani bahwa
masyarakat adalah sekelompok individu seperti manusia yang memiliki pemikiran
perasaan, serta sistem/aturan yang sama, dan terjadi interaksi antara sesama
karena kesamaan tersebut untuk kebaikan masyarakat itu sendiri dan warga
masyarakat.
b.
Selo Soemardjan memberikan pengertian masyarakat sebagai orang-orang
yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
c.
Menurut Max Weber
masyarakat adalah sebagai suatu struktur atau aksi yang pada pokoknya
ditentukan oleh harapan dan nilai-nilai yang dominan pada warganya.
d.
Menurut Bapak Komunis, Karl Marx,
memberikan definisi masyarakat
sebagai suatu struktur yang menderita ketegangan organisasi ataupun
perkembangan karena adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang
terpecah-pecah secara ekonomis.
e.
Menurut Ahli Sosiologi dan bapak
sosiologi modern, Emile Durkheim, mengatakan bahwa masyarakat
adalah suatu kenyataan objektif individu-individu yang merupakan
anggota-anggotanya.
f.
Menurut Max Weber
masyarakat adalah sebagai suatu struktur atau aksi yang pada pokoknya
ditentukan oleh harapan dan nilai-nilai yang dominan pada warganya.
Sedangkan kata modern
mempunyai arti terbaru, mutakhir, atau sikap dan cara berfikir serta bertindak
sesuai dengan tuntutan zaman.
Jadi, dapat disimpulkan
bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya
mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa
kini. Pada umumnya masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan, sehingga
disebut masyarakat kota. Namun tidak semua masyarakat kota tidak dapat disebut
masyarakat modern,sebab orang kota tidak memiliki orientasi ke masa kini,
misalnya gelandangan.
Berdasarkan beberapa
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa problematika dakwah dalam masyarakat
modern adalah permasalahan yang muncul dalam menyeru, memanggil, mengajak dan
menjamu, dengan proses yang ditangani oleh para pengembang dakwah terhadap masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai
budaya yang terarah ke kehidupan dalam perkembangan zaman masa kini.
a. Bentuk-Bentuk Problematika Dakwah
dalam Masyarakat Modern
Dahwah
pada era kontemporer ini dihadapkan pada berbagai problematika yang kompleks.
Hal ini tidak terlepas dari adanya perkembangan masyarakat yang semakin maju.
Pada masyarakat agraris kehidupan manusia penuh dengan kesahajaan tentunya
memiliki problematika hidup yang berbeda dengan masyarakat modern
yang cenderung matrealistik dan indifidualistik. Begitu juga tantangan
problematika dakwah akan dihadapkan pada berbagai persoalan yang sesuai dengan
tuntutan pada era sekarang.
Ada
tiga problematika besar yang dihadapi dakwah dalam masyarakat modern di era kontemporer ini, antara lain:
1. Pemahaman masyarakat pada
umumnya terhadap dakwah lebih diartikan sebagai aktifitas yang bersifat oral
communication (tablig) sehingga aktifitas dakwah lebih beriontasi pada
kegiatan-kegiatan caramah.
2. Problematika
yang bersifat epistemologis. Dakwah pada era sekarang bukan hanya bersifat
rutinitas, temporal dan instan, melainkan dakwah membutuhkan paradigma
keilmuan. Dengan adanya keilmuan dakwah tentunya hal-hal yang terkait dengan
langkah srategis dan teknis dapat dicari rujukannya melalui teori-teori dakwah.
3. Problem
yang menyangkut sumber daya manusia.
Selain tiga di atas
juga ada problematika dakwah dalam masyarakat modern dilihat dari :
1. Permasalahan Petugas dakwah (Da’i dan Lembaga Dakwah)
Permasalahan diseputar petugas dakwah ini sangat
banyak antara lain adalah : Pertama, terjadinya penyempitan arti dan
fungsi dakwah menjadi hanya sekedar menyampaikan dan menyerukan dari atas
mimbar, padahal dakwah sangat luas cakupannya yaitu mengajak manusia
kepada kebajikan dan petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka
dari kemungkaran, agar mereka memperoleh kesejahteraan / kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat. Kedua, umumnya para da’i tidak profesional, bahkan
banyak di antara mereka yang menjadikan dakwah sebagai kerja sampingan setelah
gagal meraih yang diinginkan, akibatnya dakwah hanya dilakukan sekedar
berpidato semata. Padahal Pendakwah adalah pemimpin masyarakat yang dapat
memperbaiki kehidupan yang rusak. Ketiga, banyak di antara da’i yang
tidak dapat memahami dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi,
padahal Iptek adalah sesuatu yang bersifat netral yang dapat dipergunakan untuk
kebaikan dan kejahatan. Keempat, longgarnya ikatan bathin antara si da’i
dengan masyarakat, hubungan itu hanya sebatas ceramah, selesai ceramah dibayar
dan habis perkara. Kelima, kegiatan lebih banyak bersifat dakwah bil lisan,
sedangkan dakwah bil hal jarang dilakukan.
2. Permasalahan Materi Dakwah
Materi dakwah yang disampaikan pada umumnya adalah
bersifat pengulangan atau klise sehingga menimbulkan kejenuhan bagi masyarakat.
Dan jarang sekali menyinggung kemajuan Iptek dalam rangka menunjang peningkatan
Imtaq.
3. Permasalahan pendekatan
dan metode dakwah
Dalam melakukan pendekatan dan metode dakwah banyak
di antaranya yang kurang/tidak tepat sasaran sesuai dengan situasi dan
kondisinya. Padahal Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar berbicara (memberikan
dakwah) kepada manusia sesuai dengan tingkah laku atau pola pikirannya
masing-masing.
4. Permasalahan Media, Sarana dan Dana Dakwah
Jarang sekali di antara da’i dan Lembaga Dakwah
yang memanfaatkan media canggih sebagai sarana untuk berdakwah seperti OHP, TV,
VCD, Film, Internet dan lain sebagainya, padahal sarana ini sangat ampuh dalam
memberikan informasi kepada masyarakat. Selain
itu lembaga dakwah dan bahkan da’i sangat minim / kurang dalam hal pendanaan.
5. Permasalahan Manajemen
dan Sistem Dakwah
Kelemahan utama dalam bidang manajemen adalah
kurang mampunya pengelola lembaga dakwah dalam menerapkan manajemen
modern dalam pengelolaan lembaga dakwah. Pada umumnya mereka menerapkan
manajemen tradisional dalam pengelolaan lembaga dakwah. Selain itu manajemen
lembaga dakwah banyak yang bersifat tertutup, tidak melaksanakan open manajemen
sehingga program-programnya tidak diketahui oleh masyarakat.
C.
Solusi Problematika dakwah
dalam
Masyarakat Modern
Dakwah merupakan suatu masalah yang kongkrit, yang
rill, tidak hanya sebagai perintah Tuhan saja. Sampai sekarang para ahli dakwah
kita pada umumnya menitikberatkan perhatian terhadap dakwah sebagai perintah
Allah, tapi kurang melihatnya sebagai masalah yang konkrit dan rill. Yang
meminta pemecahan operasinal lebih lanjut.
Dakwah artinya seruan, ajakan, panggilan, atau
mendakwah berarti usaha meyeru, menyampaikan/Dakwah Islamiah, maksudnya usaha
menyampaikan prinsip-prinsip ajaran Islam, pembinaan dan pengembangannya
ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu dakwah akan mempunyai suatu tugas
pembentukan individu, pembinaan umat, pembangunan masyarakat dan
mencerdaskannya. Dakwah mengandung lingkup yang sangat luas ruang lingkupnya
seluas kehidupan manusia itu sendiri. Dakwah tidak terbatas kepada tabligh tapi
dapat pula berbentuk tindakan dan perbuatan nyata. Dakwah dimanivestasikan
dalam kehidupan sehari-hari seperti dikantor, bergaul dengan tetangga, di
pasar, bergaul dengan sesama. Dengan demikian opini publik tentang Islam
menjadi baik, timbul rasa senang dan simpati yang pada akhirnya ingin
mengelompokkan diri ke dalam kelompok muslim yang taat.
Agar dakwah dalam konteks kekinian dan kedisinian
kita dapat berdaya guna dan berhasil guna maka diperlukan para juru dakwah yang
professional dengan kemampuan ilmiah, wawasan luas yang bersifat generalis,
memiliki kemampuan penguasaan, kecakapan, kekhususan yang tinggi. Orang yang
seperti ini adalah orang yang percaya diri, berdisiplin tinggi, tegar dalam
berpendirian dan memilik integritas moral keprofesionalan yang tinggi. Mampu
bekerja secara perorangan dan secara tim dengan sikap solidaritas atas komitmen
dan konsisten yang teruji kokoh. Untuk menjadi tenaga dakwah yang professional,
menurut Prof. Dr. H. Djudju Sudjana (1999), seorang da’i harus memiliki tiga
kompetensi, yaitu kompetensi akademik, kompetensi pribadi, dan kompetensi
sosial.
Mendakwahkan Islam berarti memberikan jawaban Islam
terhadap berbagai permasalahan umat. Karenanya dakwah Islam selalu terpanggil
untuk menyelasaikan berbagai permasalahan yang sedang dan akan dihadapi oleh
umat manusia. Meskipun misi dakwah dari dulu sampai sekarang tetap sama yaitu
mengajak umat manusia kedalam sistem Islam, namun tantangan dakwah berupa
problematika umat senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Untuk mengatasi
berbagai persoalan diatas, tidak cukup hanya dengan melakukan program dakwah
yang konvensional, sporadis, proaktif, dan reaktif, tetapi harus bersifat
profesional, strategis, dan pro-aktif.
Menghadapi mad’u (sasaran dakwah) yang semakin
kritis dan tantangan dunia global yang semakin kompleks dewasa ini, maka
diperlukan dapat bersaing di bursa informasi yang semakin kompetitif. Ada
beberapa rancangan kerja dakwah yang dapat dilakukan untuk menjawab
problematika umat dewasa ini:
1.
Memfokuskan aktivitas dakwah untuk mengentaskan
kemiskinan umat.
2.
Menyiapkan profil strategis muslim untuk disuplai
ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan bidang keahliannya
masing-masing.
3.
Membuat peta sosial umat sebagai sosial umat
sebagai informasi awal bagi pengembangan dakwah.
4.
Mengintegrasikan wawasan etika, estetika, logika,
dan budaya dalam berbabagi perencanaan dakwah baik secara internal umat maupun
secara eksternal.
5.
Mendirikan pusat-pusat studi dan informasi umat
secara lebih profesional dan berorientasi pada kemajuan iptek.
6.
Menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan ekonomi,
kesehatan, dan kebudayaan umat Islam.
Sukses tidaknya suatu kegiatan dakwah bukanlah
diukur melalui gelak tawa atau tepuk riuh pendengarnya, bukan pula dengan ratap tangis mereka. Kesuksesan
dakwah dapat dilihat pada bekas yang ditinggalkan dalam benak pendengarnya
ataupun tercermin dalam tingkah laku mereka. Untuk mencapai hasil yang
maksimal, tidak dapat lain dakwah Islam harus dilaksanakan secara efektif.
Efektifitas dapat diartikan sampai dimana suatu organisasi dapat mencapai
tujuan-tujuan utama yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan proses
dakwah, maka efektifitas dakwah dapat diukur melalui tingkat keberhasilan
dakwah dalam mencapai tingkta out put sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan, yaitu terbentuknya kondisi yang Islami.
No comments:
Post a Comment