Pandangan tentang gerakan 212 - SANTRI ENDONESA

Tiada Kata Terlambat Untuk Belajar

Breaking

Home Top Ad

W E L C O M E

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, August 22, 2018

Pandangan tentang gerakan 212


Soal :
1.      Bagaimana pandangan anda tentang gerakan bela al-qur’an 212 dalam persepektik dakwah al-qur’an?
2.      Berilah penjelasan mengenai teks hadis, mengenai wacana NKRI?
3.      Jelaskan langkah-langkah pengembangan teori dakwah?
4.      Identitas problematika dakwah islam, dan berilah tawaran solulinya?
Jawaban :
1.     Pandangan tentang gerakan 212
Demonstrasi ataupun unjuk rasa merupakan salah satu cara untuk menampakkan aspirasi ataupun pendapat masyarakat (ta‘bîr ar-ra’yi) secara berkelompok. Secara umum, aktivitas menampakkan aspirasi atau pendapat (ta‘bîr ar-ra’yi) di dalam Islam adalah perkara yang dibolehkan (mubah). Hukumnya sama seperti kita mengungkapkan pandangan atau pendapat tentang suatu perkara. Hanya saja, hal ini dilakukan oleh sekelompok orang.
Di dalam terminologi bahasa Arab, demonstrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Muzhâharah (demonstrasi), yaitu aksi sekelompok masyarakat di tempat-tempat umum untuk menuntut perkara-perkara tertentu yang sudah menjadi tugas negara atau para penanggung jawabnya. Para demonstran dalam aksinya tersebut biasanya melakukan pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran barang-barang milik negara ataupun barang-barang milik individu.
2. Masîrah (unjuk rasa), hampir sama dengan demonstrasi, yaitu aksi sekelompok masyarakat untuk mendukung atau menuntut sesuatu. Akan tetapi, tidak disertai pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran atas barang-barang milik umum maupun khusus (milik individu).
Masîrah (unjuk rasa) merupakan salah satu cara (uslûb) di antara berbagai cara pengungkapan aspirasi atau pendapat (ta‘bîr ar-ra’yi). Oleh karena itu, aktivitas masîrah (unjuk rasa) bukanlah metode (tharîqah) menurut Islam dalam melakukan proses perubahan di masyarakat. Apabila kondisinya memungkinkan, masîrah (unjuk rasa) dapat dilakukan. Sebaliknya, apabila kondisinya tidak memungkinkan,masîrah (unjuk rasa) tidak perlu dilakukan. Hal ini sesuai dengan hukum kebolehannya.
Rasulullah saw tidak pernah menjadikan dan menggunakan unjuk rasa sebagai metode untuk mengubah masyarakat jahiliah di kota Makkah menjadi masyarakat Islam. Memang, beliau pernah melakukan aktivitasmasîrah satu kali di kota Makkah. Beliau memerintahkan kaum Muslim keluar dan berjalan membentuk dua shaf barisan. Satu dipimpin oleh ‘Umar ibn al-Khaththab dan lainnya dipimpin oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib r.a. Dengan diiringi suara takbir, kaum Muslim berjalan mengelilingi Ka’bah. Yang dilakukan Rasulullah saw adalah mengambil salah satu cara (uslûb) yang tidak pernah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain sebelumnya, yang ditujukan dalam rangka mengekspose dakwah Islam.
Pandangan Islam yang menjadikan masîrah (unjuk rasa) sebagai uslûb mengungkapkan aspirasi atau pendapat, yang bisa dilakukan bisa juga tidak, sangat berbeda dengan pandangan masyarakat Sosialis dan Komunis. Mereka menganggap muzhâharah (demonstrasi) sebagai salah satu metode baku (tharîqah) dalam melakukan perubahan masyarakat. Bagi mereka, demonstrasi adalah semacam antitesa untuk menggerakkan proses perubahan masyarakat ke arah yang mereka inginkan. Oleh karena itu, apa pun akan mereka lakukan; termasuk dengan jalan merusak, menghancurkan, dan membakar fasilitas-fasilitas umum, negara, maupun barang-barang milik individu.
Berdasarkan hal ini, masyarakat Sosialis atau Komunis telah menjadikan muzhâharah (demonstrasi) sebagai metode baku dan ciri khas masyarakat mereka dalam melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat. Keberadaan demonstrasi adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar proses perubahan dapat bergulir. Dalam skala yang lebih luas lagi, mereka menyebutnya dengan revolusi rakyat. Dengan mengatasnamakan rakyat, mereka berhak menghancurkan, merusak, dan membakar fasilitas dan milik umum maupun milik individu. Tujuannya adalah untuk menghasilkan sebuah sintesa, yaitu sebuah masyarakat Sosialis atau Komunis yang mereka angan-angankan.
Bagi kaum Muslim, haram hukumnya melakukan demonstrasi (muzhâharah) seperti yang dilakukan oleh kaum Sosialis maupun Komunis; yakni dengan cara merusak, menghancurkan, dan membakar barang-barang milik masyarakat, negara, maupun milik individu. Bagi kita, kaum Muslim, darah seorang Muslim, harta kekayaan yang dimilikinya, dan kehormatannya haram ditumpahkan, dirampas, dan dilanggar oleh Muslim lainnya. Syariat Islam bahkan menjaga tiga perkara tersebut dalam pagar yang sangat rapat.
Pelanggaran terhadap tiga perkara itu digolongkan ke dalam hukum-hukum hudûd, yaitu hukum yang bentuk pelanggaran dan sanksinya hanya ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di samping itu, kita, kaum Muslim, tidak mengenal prinsip dan kaidah ‘menghalalkan segala cara’ (al-ghâyah lâ tubarriru al-washîlah), sebagaimana yang dianut oleh masyarakat Sosialis, Komunis, dan Kapitalis. Tindak-tanduk seorang Muslim, masyarakat Muslim, dan penguasa Muslim wajib terikat dengan syariat Islam; termasuk dalam mengungkapkan aspirasi atau pendapat dengan berunjuk rasa maupun dalam melakukan proses perubahan di tengah-tengah masyarakat. Tidak pantas seorang Muslim mengaku beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, sementara dalam mengungkapkan aspirasi/pendapat dan melakukan proses perubahan masyarakat agar menjadi masyarakat Islam, mereka lakukan dengan menghalalkan segala cara, mencampakkan tolok ukur halal-haram, dan membuang tuntunan syariat Islam. Allah Swt berfirman:
]وَمَا كَانَ لِمُـؤْمِنٍ وَلاَ مُـؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
"Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada pilihan (selain hukum Islam) tentang urusan mereka". (QS al-Ahzab [33]: 36)
BERIKUT DALIL DALAM Al-Qur’an, As-Sunnah, Siroh Rasul saw. dan Kaidah Fiqhiyah tentang masyirah.
1. Al Qur’an
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)( QS Al-Anfaal 60).
2. Hadits Rasul saw
Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang haq/benar terhadap penguasa yang zhalim (HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani, Al-Baihaqi, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi)
Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu, dengan hatitnya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman (HR Muslim).
3. Sirah Rasul saw (Sirah juga sunnah)
Nabi saw. dengan para sahabatnya melakukan unjuk rasa atau demonstrasi meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw. di jalan-jalan sambil menelusuri jalan Mekkah dengan tetap melakukan tabligh dakwah.
Rasulullan saw. dan para sahabatnya sambil melakukan Thawaf Qudum setelah peristiwa Hudaibiyah melakukan demo memperlihatkan kebenaran Islam dan kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan unjuk kekuatan) dengan memperlihatkan pundak kanan ( idhthiba’) sambil berlari-lari kecil. Bahkan beliau secara tegas mengatakaan saat itu:” Kita tunjukkan kepada mereka (orang-orang zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran) adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan dimain-mainkan)”.
4. Kaidah Fiqhiyah
Sesuatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kewajiban kecuali dengannya, maka hal tersebut menjadi wajib.
Sehingga dalam hal ini suatu tujuan yang akan ditempuh dengan mengharuskan menggunakan sarana, maka pemakaian sarana tersebut menjadi wajib. Dan demonstrasi adalah sarana yang sangat efektif dalam melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, dakwah dan jihad.
Di bawah ini adalah alasan-alasan yang menjadikan demonstrasi haram :
1. Jika tujuan demonstrasi untuk mengokohkan atau membela kezholiman seseorang, dan membelanya agar tidak diturunkan dari jabatannya.
2.Jika hanya membela kepentingan suatu golongan tertentu saja dengan menjatuhkan golongan yang lain.
3.Jika tidak ada sebab yang mendesak atau tanpa alasan yang dibenarkan.
4.Jika demo dimaksudkan untuk menyerang penguasa hingga menyebabkan kacaunya stabilitas ekonomi bahkan tertumpahnya darah dari para demonstran.
Alasan tentang syarat dibolehkannya melakukan demonstrasi atau unjuk rasa bisa menjadi suatu hal yang wajib dilakukan, diantaranya :
1.Apabila orang-orang kafir memerangi atau menggugat syariat Allah, maka hukumnya menjadi wajib.
2.Jika pemerintah sudah meremehkan, mengekang, serta merampas hak-hak rakyat terutama yang menyangkut dhoruriyatu al-khomsah.
3.Apabila seorang hakim lebih mengutamakan dan lebih mementingkan kaumnya, madzhabnya, atau bahkan partainya dalam perkara hak dan kewajiban.
4.Apabila pemerintah lemah dalam kepemimpinannya, terkhusus dalam urusan darah (jiwa) seseorang.
5.Menelurkan kebijakan guna melanggengkan kursi kekuasaannya.
6.Memimpin untuk mengenyangkan perut semata.
7.Penguasa membiarkan, bahkan menyuruh perangkat pemerintahan untuk mengaganggu atau meneror rakyat.
8.Menghendaki negara lain (Negara Islam) agar tunduk pada hegemoni penjajah atau barat.

2. Wacana NKRI

Sudah sama-sama diketahui bahwa Negara ini dibentuk menjadi sebuah bangsa berawal dari senasib sepenanggungan sebagai negri jajahan Hindia Belanda dari Sabang sampai Meroke. Perjuangan mengusir penjajah dilakukan oleh seluruh bangsa yang berawal dari bersifat kedaerahan masing-masing hingga menjadi perjuangan kebangsaan yang bersifat nasional. Dari berdirinya Budi Utomo, Syarikat Islam, Muhamadiyah, Nahdlotul Ulama hingga pernyataan Sumpah Pemuda dari semua unsur Kedaerahan yang menyatakan satu kesatuan Bertanah Air, Berbangsa dan Berbahasa Satu yaitu INDONESIA.
Kemudian proses berdirinya negara dimulai dari dibentuknya suatu badan yaitu BPUPKI kemudian membentuk kepanitiaan PPKI yang merumuskan bentuk negara dan dasar negara yang dilakukan oleh tim sembilan terdiri dari satu unsur kristen, empat Islam santri dan empat dari unsur Islam Nasionalis, merekalah para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertanyaannya Mengapa mereka yang mayoritas beragama Islam tidak mendirikan Negara Islam saja..? Pastinya mereka mencari rujukan, dalil-dalil dan dasar agama atau contoh-contoh negara-negara yang sudah ada saat itu. Perlu diingat, sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia itu sudah ada kesultanan, kerajaan-kerajaan yang bersifat kedaerahan dan mereka para kesultanan meleburkan diri kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasar ke-bineka tunggal ika-an lah bangsa ini terbentuk, bukan dari satu suku saja, bukan dari satu agama saja, bukan dari satu bahasa saja, semua dengan ikhlas beleburkan diri menjadi satu tanpa ada paksaan diantara anak bangsa tersebut.
Sebagai  contoh kerajaan Siak Sri Indrapura di Daerah Riau, Kesultanan Siak, Sultan Syarif Qasim II dengan ikhlas menyerahkan mahkota kerajaanya kepada presiden Indonesia Ir. Sukarno di jakarta termasuk Istananya. Dan Sultan melepas semua atribut kesultanan beliau, beliau sendiri menetap di Jakarta sebelum akhirnya kembali ke kota Pekanbaru, Riau. Begitupun kerajaan-kerajaan lain menyatakan diri menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia walau sebelumnya kerajaan-kerajaan tersebut adalah negara-negara merdeka yang berdaulat dan diakui oleh dunia internasional.Semua itu karena ke-BINEKA TUNGGAL IKA-an dan negara berdasarkan PANCASILA dan UUD 1945. Sejarah membuktikan bahwa tidak ada satu kerajaan di bumi nusantara ini yang bergabung atas dasar pemaksaan.
Sejarah membuktikan bahwa NKRI didirikan berdasarkan hasil musyawarah diantara para pejuang kemerdekaan dengan BPUPKI kemudian menjadi PPKI dan membentuk panitia sembilan yang bertugas merumuskan bentuk negara sebelum akhirnya memproklamirkan berdirinya sebuah negara merdeka oleh Ir. Sukarno dan Dr. Moh. Hatta, atas nama bangsa Indonesia.
Musyawarah, sebagai perintah agama terdapat dalam Al Qur'an Surat Ali 'Imron ayat 159 : "Wasyawirhum fil amri", bermusyawarahlah kalian dalam urusan kalian. kemudian surat Asy-Syuro ayat 38 : "Walladzinas tajabu lirobbihim wa aqomushsholata wa amruhum syuro bainahum wamimmaa rodzaqnahum yunfiquun", Dan bagi orang-orang yang menerima ( mentaati ) seruan Tuhannya dan melaksanakan sholat sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawaroh antara mereka dan mereka menginfaqkan sebagian dari rizqi yang kami berikan kepada mereka.
Itulah dua ayat yang memerintahkan musyawaroh dan batasannya jelas, yaitu melaksanakan sholat dan menginfaqkan rizki atau berzakat.
Kemudian sampai kapan hasil musyawaroh itu disepakati, Al Qur'an surat Al Isro' ayat 34 : "Wa awfu bil'ahdi, innal 'ahda kaana mas'ulaa", dan penuhilah janji (kesepakatan), karena janji itu pasti dimintai pertanggung jawabannya.
Jelaslah bahwa mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonsia itu adalah suatu kewajiban yang diperintahkan Al Qur'an dimana kesepakatan hasil musyawaroh itu wajib dipenuhi. Dan Negara Wajib menumpas setiap perbuatan atau gerakan yang menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Mempertentangkan Pancasila dan Islam memang terasa lebih mudah daripada memahami keduanya secara proporsional. Namun demikian, NU telah menegaskan pandangannya yang jelas dan jernih, yang tercantum dalam Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam, sebagai berikut:
1.                 Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia adalah prinsip fundamental namun bukan agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2.                 Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3.                 Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4.                 Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan kewajiban agamanya.
5.                 Sebagai konsekuensi dari sikap tersebut di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Merujuk pernyataan KH. Achmad Siddiq, Peletak Dasar  Khitthah NU: “Nahdlatul Ulama menerima Pancasila menurut bunyi dan makna yang terkandung dalam Undang-Undang 1945 (bil lafdhi wal ma’nal murad), dengan rasa tanggung jawab dan tawakkal kepada Allah.”

NKRI dalam Perspektif NU
Demokrasi di era reformasi telah membuka seluas-luasnya pintu kebebasan. Bahkan kebebesan yang menjurus pada tindakan makar terhadap negara pun leluasa bergerak. Semisal eksistensi Hizbut Tahrir yang jelas-jelas mengagendakan penggulingan negara (tasallum zimam al-hukm).
Namun bagi NU, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan upaya final dari perjuangan seluruh penduduk Indonesia–termasuk umat Islam di dalamnya– dalam mendirikan negara. NKRI adalah negara yang sah menurut hukum Islam, yang menjadi wadah berkiprah melaksanakan dakwah yang akomodatif dan selektif, serta bertaqwa sesempurna mungkin, tidak usah mencari atau membuat negara yang baru.
Bahkan merujuk Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, mempertahankan dan menegakkan NKRI menurut hukum Agama Islam adalah wajib, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap muslim, dan jihad fi sabilillah.Karena itu, NU mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, baik dahulu, sekarang, maupun masa mendatang.
3.Pengembangan Teori Dakwah
Dakwah merupakan tugas bagi setiap umat Islam yang dalam menjalaninya tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Di lapangan begitu banyak persoalan dan tantangan. Mulai dari masalah ketidaktahuan umat terhadap syari’at hingga perselisihan antar umat Islam dan antar umat beragama. Disamping itu, saat ini zaman telah berkembang sedemikian rupa. Perkembangan budaya, ekonomi, pemerintahan, dan teknologi yang tumbuh begitu pesat. Bila dakwah Islam tak mampu mengikuti perkembangan zaman, tak menutup kemungkinan ia hanya akan terdampar di musieum peradaban. Dakwah hanya akan menjadi wacana dan kenangan semata, tanpa memperlihatkan pengaruhnya bagi umat dan dunia.
Dakwah artinya menyeru, mengajak, atau mendorong. Secara etimologi perkataan dakwah berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata da’a, yad’u, da’watan yang berarti, seruan-ajakan-panggilan. Menurut istilah dakwah adalah suatu proses upaya mengubah sesuatu situasi kepada situasi yang lain yang lebih baik sesuai ajaran Islam, atau proses mengajak manusia ke jalan Allah yaitu Al-Islam. Menurut Hasjmy, dakwah adalah mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan aqidah dan syari’ah Islam yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalakan oleh pendakwah sendiri. Tujannya adalah untuk membentangkan jalan Allah di atas muka bumi agar dilalui umat manusia. Sedang menurut H. Endang S. dakwah adalah penjabaran, penterjemahan dan pelaksanaan Islam dalam perikehidupan dan penghidupan manusia (termasuk di dalamnya politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan kesenian dan sebagainya. Menurut Asmuni Syukir strategi dakwah artinya sebagai metode, siasat, taktik atua meniuvers yang dipergunakan dalam aktivitas (kegiatan) dakwah.
Dalam mengembangkan dakwah sebagai ilmu terasa sangat tidak mungkin tanpa dibarengi dengan adanya penemuan dan pengembangan kerangka teori dakwah. Tanpa teori dakwah maka apa yang disebut dengan ilmu dakwah tidak lebih dari sekadar kumpulan pernyataan normatif tanpa memiliki kadar analisa atas fakta dakwah atau sebaliknya, ilmu dakwah hanya merupakan kumpulan pengetahuan atas fakta dakwah  yang tidak akan bisa dijelaskan hubungan kausalitasnya antar fakta sehingga mandul untuk memandu pelaksanaan dakwah dalam menghadapi masalah yang kompleks.
Secara akademik, dengan adanya teori dakwah maka dapat dilakukan generalisasi atas fakta-fakta dakwah, memandu analisa dan klasifikasi fakta dakwah, memahami hubungan antarvariabel dakwah, menaksir kondisi dan masalah dakwah baru seiring dengan perubahan sosial di masa depan serta menghubungkan pengetahuan dakwah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Strategi dakwah yang dipergunakan di dalam usaha dakwah harus memperhatikan beberapa asas dakwah, agar proses dakwah dapat mngena sasaran dan mudah diterima oleh masyarakat objek dakwah. Beberapa asas dakwah yang harus diperhatikan di antaranya sebagai berikut :
1. Asas filosofis. Asas ini terutama membicarakan masalah yang erat hubungannya dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam proses atau dalam aktivitas dakwah;
2. Asas kemampuan dan keahlian da’i;
3. Asas sosiologi. Asas ini membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi dan kondisi sasaran dakwah. Misalnya, politik, pemerintah setempat, mayoritas agama di daerah setempat, filosofis sasaran dakwah. Sosio-kultural sasaran dakwah dan sebagainya;
4. Asas psikologis. Asas ini membahas masalah yang erat hubungannya dengan kejiwaan manusia. Seorang da’i adalah menusia, begitupun saran dakwahnya yang memiliki karakter (kejiwaan) yang unik yakni berbeda satu sama lainnya. Apalagi masalah agama, yang merupakan masalah ideologi atau kepercayaan (rakhaniah) tak luput dari masalah-masalah psikologis sebagai asas (dasar) dakwahnya; dan
5. Asas efektifitas dan efisiensi. Asas ini maksudnya adalah di dalam aktivitas dakwah harus berusaha menyeimbangakan antara biaya, waktu maupun tenaga yang dikeluarkannya dengan pencapaiaan hasilnya, bahkan kalau bisa waktu, biaya dan tenaga sedikit dapat memperoleh hasil yang semaksimal mungkin. Dengan kata lain ekonomis biaya, tenaga dan waktu, tapi dapat mencapai hasil yang semaksimal mungkin atau setidak-tidaknya seimbang antara keduanya.
Dengan mempertimbangkan asas-asas sebagaimana tersebut diatas, seorang da’i tinggal memformulasikan dan menerapkan strategi dakwah yang sesuai dengan kondisi mad’u sebagai objek dakwah.
Ada beberapa tahapan dakwah Rasulullah dan para sahabatnya yang dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, tahap pembentukan (takwin). Kedua, tahap penataan (tandhim). Ketiga, tahap perpisahan dan pendelegasian amanah dakwah kepada kepada generasi penerus. Pada setiap tahapan memiliki kegiatan dengan tantangan khusus dengan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini dapat dinyatakan ada beberapa model dakwah sebagai proses perwujudan realitas ummatan khairan.
1.     Model Dakwah dalam Tahap Pembentukan (Takwin)
Pada tahapan ini kegiatan utamanya adalah dakwah bil lisan (tabligh) sebagai ihtiar sosialisasi ajaran tauhid kepada masyarakat Makkah. Interaksi Rasulullah Saw dengan mad’u mengalami ekstensi secara bertahap: keluarga terdekat, ittishal fardhi (QS. 26: 214-215) dan kemudian kepada kaum musyrikin, ittishal jama’i (QS. 15: 94). Sasarannya bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam kepribadian mad’u, kemudian apa yang sudah diterima dan dicerna dapat diekspresikan dalam ghirah dan sikap membela keimanan (akidah) dari tekanan kaum Quraisy. Hasilnya sangat signifikan, para elite dan awam masyarakat menerima dakwah Islam.
2.     Tahap Penataan Dakwah (Tandzim)
Tahap tanzhim merupakan hasil internalisasi dan eksternalisasi Islam dalam bentuk institusionalisasi Islam secara komprehensip dalam realitas sosial. Tahap ini diawali dengan hijrah Nabi Saw ke Madinah (sebelumnya Yastrib). Hijrah dilaksanakan setelah Nabi memahami karakteristik sosial Madinah baik melalui informasi yang diterima dari Mua’ab Ibn Umair maupun interaksi Nabi dengan jama’ah haji peserta Bai’atul Aqabah. Dari strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural, struktural, dan militer sudah sedemikian mencekam, sehingga jika tidak dilaksanakan hijrah, dakwah dapat mengalami involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.
            Hijrah dalam proses dakwah Islam menjadi sunnatullah. Mad’u (masyarakat) diajak memutus hubungan dari lingkungan dan tata nilai yang dhalim sebagai upaya pembebasan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagaimana kondisi fitrinya yang telah terendam lingkungan sosio-kultural yang tidak Islami. Hal ini berarti merupakan peristiwa “menjadi” muslim dalam sejarah sebagai perwujudan “muslim” dalam dunia fitri. Semuanya menunjukkan bahwa tanpa hijrah secara komprehensif maka kegiatan dakwah kehilangan akar alamiahnya: kembali ke fitri.
3.     Tahap Pelepasan dan Kemandirian.
Pada tahap ini ummat dakwah (masyarakat binaan Nabi Saw) telah siap menjadi masyarakat yang mandiri dan, karena itu, merupakan tahap pelepasan dan perpisahan secara manajerial. Apa yang dilakukan Rasulullah Saw ketika haji wada’ dapat mencerminkan tahap ini dengan kondisi masyarakat yang telah siap meneruskan Risalahnya.
4.     Teori Analisa Sistem Dakwah.
Penulis secara khusus meneliti dakwah islam dengan pendekatan teori sistem umum (The general system theory) yang hasilnya antara lain menyatakan:
1.Dakwah Islam adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem yang saling berhubungan,bergantung dan berinteraksi dalam mencapai tujuan dakwah.
2.Dakwah Nabi Muhammad SAW berjalan menurut alur sistem dakwah yang doarahkan Allah SWT yang menjadi sunnah Allah yang berlaku dalam dakwah islam yang bersifat tetap,obyetktif dan universal.
3. Dakwah islam sebagai suatu sistem memiliki masukan utama(raw input) berupa materi pokok dakwah dari wahyu allah(al qur’an) dan assunnah ketika dikonversikan menjadi keluaran baik dalam dataran pribadi,keluarga,kelompok,masyarakat dan negara telah menimbulkan kemelut dan goncangan sosial yang besar ditengah tata sosial,budaya dan peradapan yang telah mapan di tengah masyarakat.
4. Keberhasilan dakwah yang mendatangkan perubahan masyarakat yang signifikan adalah dakwah yang dijalankan dalam sebuah sistem yang subsistem konversinya berfungsi secara maksimal dalam mentransformasikan masukan menjadi keluaran,yang ditopang oleh kepemimpinan yang kuat yang visioner berorentasi pada tujuan dan perubahan lingkungan masyarakat
5. Sistem dakwah islam berjalan tepat guna ketika masukan sarana berupa metode,peta,dana dan fasilitas dakwah tersedia secara memadai.pemilihan dan penerapan metode yang tidak tepat dalam melakukan proses transformasi islam akan melahirkan tatanan masyarakat berpandangan ganda disatu pihak menyatakan beriman kepada Allah tetapi menolak menerapkan Syari’ah dalam kehidupan bermayarakat dan bernegara .
6. Momentum berkembangnya dakwah islam adalah karena adanya keluaran berupa negara yang menjadikan syari’ah sebagai otoritas tertinggi dalam menilai dan mengatur kehidupan masyarakat dan negara.
7. Balikan dari tanggapan lingkungan masyarakat(mad’u) terhadap harakah dakwah islam sebagai suatu sistem melahirkan 4 pola dasar : Pertama informasi mengenai medan dakwah,Kedua dukungan masyarakat yang menerima dakwah islam(umat ijabah)maka akan menjadi faktor yang dominan dalam penguatan sistem utamanya dalam masyarakat Ketiga hambatan masyarakat yang menolak dakwah islam akan menjadi faktir penghambat dan proses konversi sistem dakwah islam sebagai bentuk balikan negatif yang memerlukan penyelesaian secara tuntas.Keempat kelompok masyarakat yang bersifat netral terhadap dakwah islam tidak menerima dan tidak menolak dakwah islam secara tegas serta tidak memberikan hambatan dakwah islam.

4.Identitas Problematika Dakwah Islam dan Solusi       

Problematika berasal dari kata problem yang artinya soal, masalah, perkara sulit, persoalan. Problematika sendiri secara leksikal mempunyai arti: berbagai problem.
Sedangkan dakwah secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu bentuk masdar dari da’a yad’u  yang berarti menyeru atau mengajak. Sedangkan secara terminologi, da’i didefinisikan para ahli sebagai berikut:
a.Aly Mahfudz mengartikan bahwa dakwah adalah memotivasi manusia untuk berbuat kebaikan dan petunjuk, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang munkar untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat.
b.Menurut Aly Shalih Al-Mursyid, dakwah merupakan suatu cara untuk menegakkan kebenaran yang hakiki, kebaikan dan hidayah serta melenyapkan kebathilan dengan berbagai pendekatan, metode, dan media.
Sedangkan pengertian problematika dakwah menurut istilah adalah permasalahan yang muncul dalam menyeru, memanggil, mengajak dan menjamu, dengan proses yang ditangani oleh para pengembang dakwah Hal ini dikarenakan Islam adalah dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah dan mengentaskan segala permasalahan yang timbul di masyarakat indonesia.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa problematika dakwah adalah permasalahan yang muncul dalam proses dakwah yakni ketika da’i menyeru, memanggil, mengajak dan menjamu para mad’u.
Pengertian Masyarakat Modern
Secara etimologi, Istilah “masyarakat” merupakan terjemahan dari kata society (Inggris). Sedangkan istilah society berasal dan societas (Latin) yang berarti “kawan”.
Sedangkan secara terminologi, banyak para ahli yang mendefinisikan masyarakat, antara lain.
a.       Menurut An-Nabhani bahwa masyarakat adalah sekelompok individu seperti manusia yang memiliki pemikiran perasaan, serta sistem/aturan yang sama, dan terjadi interaksi antara sesama karena kesamaan tersebut untuk kebaikan masyarakat itu sendiri dan warga masyarakat.
b.      Selo Soemardjan memberikan pengertian masyarakat sebagai orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
c.       Menurut Max Weber masyarakat adalah sebagai suatu struktur atau aksi yang pada pokoknya ditentukan oleh harapan dan nilai-nilai yang dominan pada warganya.
d.      Menurut Bapak Komunis, Karl Marx, memberikan definisi masyarakat sebagai suatu struktur yang menderita ketegangan organisasi ataupun perkembangan karena adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terpecah-pecah secara ekonomis.
e.       Menurut Ahli Sosiologi dan bapak sosiologi modern, Emile Durkheim, mengatakan bahwa masyarakat adalah suatu kenyataan objektif individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya.
f.       Menurut Max Weber masyarakat adalah sebagai suatu struktur atau aksi yang pada pokoknya ditentukan oleh harapan dan nilai-nilai yang dominan pada warganya.
Sedangkan kata modern mempunyai arti terbaru, mutakhir, atau sikap dan cara berfikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Namun tidak semua masyarakat kota tidak dapat disebut masyarakat modern,sebab orang kota tidak memiliki orientasi ke masa kini, misalnya gelandangan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa problematika dakwah dalam masyarakat modern adalah permasalahan yang muncul dalam menyeru, memanggil, mengajak dan menjamu, dengan proses yang ditangani oleh para pengembang dakwah terhadap masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam perkembangan zaman masa kini.
a.      Bentuk-Bentuk Problematika Dakwah dalam Masyarakat Modern
Dahwah pada era kontemporer ini dihadapkan pada berbagai problematika yang kompleks. Hal ini tidak terlepas dari adanya perkembangan masyarakat yang semakin maju. Pada masyarakat agraris kehidupan manusia penuh dengan kesahajaan tentunya memiliki problematika hidup yang berbeda dengan masyarakat modern yang cenderung matrealistik dan indifidualistik. Begitu juga tantangan problematika dakwah akan dihadapkan pada berbagai persoalan yang sesuai dengan tuntutan pada era sekarang.
Ada tiga problematika besar yang dihadapi dakwah dalam masyarakat modern di era kontemporer ini, antara lain:
1.      Pemahaman masyarakat pada umumnya terhadap dakwah lebih diartikan sebagai aktifitas yang bersifat oral communication (tablig) sehingga aktifitas dakwah lebih beriontasi pada kegiatan-kegiatan caramah.
2.      Problematika yang bersifat epistemologis. Dakwah pada era sekarang bukan hanya bersifat rutinitas, temporal dan instan, melainkan dakwah membutuhkan paradigma keilmuan. Dengan adanya keilmuan dakwah tentunya hal-hal yang terkait dengan langkah srategis dan teknis dapat dicari rujukannya melalui teori-teori dakwah.
3.      Problem yang menyangkut sumber daya manusia.
Selain tiga di atas juga ada problematika dakwah dalam masyarakat modern dilihat dari :
1.    Permasalahan Petugas dakwah (Da’i dan Lembaga Dakwah)
Permasalahan diseputar petugas dakwah ini sangat banyak antara lain adalah : Pertama, terjadinya penyempitan arti dan fungsi dakwah menjadi hanya sekedar menyampaikan dan menyerukan dari atas mimbar, padahal dakwah sangat luas cakupannya  yaitu mengajak manusia kepada kebajikan dan petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari kemungkaran, agar mereka memperoleh kesejahteraan / kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kedua, umumnya para da’i tidak profesional, bahkan banyak di antara mereka yang menjadikan dakwah sebagai kerja sampingan setelah gagal meraih yang diinginkan, akibatnya dakwah hanya dilakukan sekedar berpidato semata. Padahal Pendakwah adalah pemimpin masyarakat yang dapat memperbaiki kehidupan yang rusak. Ketiga, banyak di antara da’i yang tidak dapat memahami dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, padahal Iptek adalah sesuatu yang bersifat netral yang dapat dipergunakan untuk kebaikan dan kejahatan. Keempat, longgarnya ikatan bathin antara si da’i dengan masyarakat, hubungan itu hanya sebatas ceramah, selesai ceramah dibayar dan habis perkara. Kelima, kegiatan lebih banyak bersifat dakwah bil lisan, sedangkan dakwah bil hal jarang dilakukan.
2.    Permasalahan Materi Dakwah
Materi dakwah yang disampaikan pada umumnya adalah bersifat pengulangan atau klise sehingga menimbulkan kejenuhan bagi masyarakat. Dan jarang sekali menyinggung kemajuan Iptek dalam rangka menunjang peningkatan Imtaq.
3.    Permasalahan pendekatan dan metode dakwah
Dalam melakukan pendekatan dan metode dakwah banyak di antaranya yang kurang/tidak tepat sasaran sesuai dengan situasi dan kondisinya. Padahal Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar berbicara (memberikan dakwah) kepada manusia sesuai dengan tingkah laku atau pola pikirannya masing-masing.
4.    Permasalahan Media, Sarana dan Dana Dakwah
Jarang sekali di antara da’i dan Lembaga Dakwah yang memanfaatkan media canggih sebagai sarana untuk berdakwah seperti OHP, TV, VCD, Film, Internet dan lain sebagainya, padahal sarana ini sangat ampuh dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Selain itu lembaga dakwah dan bahkan da’i sangat minim / kurang dalam hal pendanaan.
5.    Permasalahan Manajemen dan Sistem Dakwah
Kelemahan utama dalam bidang manajemen adalah kurang mampunya pengelola lembaga dakwah dalam menerapkan manajemen modern  dalam pengelolaan lembaga dakwah. Pada umumnya mereka menerapkan manajemen tradisional dalam pengelolaan lembaga dakwah. Selain itu manajemen lembaga dakwah banyak yang bersifat tertutup, tidak melaksanakan open manajemen sehingga program-programnya tidak diketahui oleh masyarakat.



    C.    Solusi Problematika dakwah dalam Masyarakat Modern
Dakwah merupakan suatu masalah yang kongkrit, yang rill, tidak hanya sebagai perintah Tuhan saja. Sampai sekarang para ahli dakwah kita pada umumnya menitikberatkan perhatian terhadap dakwah sebagai perintah Allah, tapi kurang melihatnya sebagai masalah yang konkrit dan rill. Yang meminta pemecahan operasinal lebih lanjut.
Dakwah artinya seruan, ajakan, panggilan, atau mendakwah berarti usaha meyeru, menyampaikan/Dakwah Islamiah, maksudnya usaha menyampaikan prinsip-prinsip ajaran Islam, pembinaan dan pengembangannya ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu dakwah akan mempunyai suatu tugas pembentukan individu, pembinaan umat, pembangunan masyarakat dan mencerdaskannya. Dakwah mengandung lingkup yang sangat luas ruang lingkupnya seluas kehidupan manusia itu sendiri. Dakwah tidak terbatas kepada tabligh tapi dapat pula berbentuk tindakan dan perbuatan nyata. Dakwah dimanivestasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti dikantor, bergaul dengan tetangga, di pasar, bergaul dengan sesama. Dengan demikian opini publik tentang Islam menjadi baik, timbul rasa senang dan simpati yang pada akhirnya ingin mengelompokkan diri ke dalam kelompok muslim yang taat.
Agar dakwah dalam konteks kekinian dan kedisinian kita dapat berdaya guna dan berhasil guna maka diperlukan para juru dakwah yang professional dengan kemampuan ilmiah, wawasan luas yang bersifat generalis, memiliki kemampuan penguasaan, kecakapan, kekhususan yang tinggi. Orang yang seperti ini adalah orang yang percaya diri, berdisiplin tinggi, tegar dalam berpendirian dan memilik integritas moral keprofesionalan yang tinggi. Mampu bekerja secara perorangan dan secara tim dengan sikap solidaritas atas komitmen dan konsisten yang teruji kokoh. Untuk menjadi tenaga dakwah yang professional, menurut Prof. Dr. H. Djudju Sudjana (1999), seorang da’i harus memiliki tiga kompetensi, yaitu kompetensi akademik, kompetensi pribadi, dan kompetensi sosial.
Mendakwahkan Islam berarti memberikan jawaban Islam terhadap berbagai permasalahan umat. Karenanya dakwah Islam selalu terpanggil untuk menyelasaikan berbagai permasalahan yang sedang dan akan dihadapi oleh umat manusia. Meskipun misi dakwah dari dulu sampai sekarang tetap sama yaitu mengajak umat manusia kedalam sistem Islam, namun tantangan dakwah berupa problematika umat senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Untuk mengatasi berbagai persoalan diatas, tidak cukup hanya dengan melakukan program dakwah yang konvensional, sporadis, proaktif, dan reaktif, tetapi harus bersifat profesional, strategis, dan pro-aktif. 
Menghadapi mad’u (sasaran dakwah) yang semakin kritis dan tantangan dunia global yang semakin kompleks dewasa ini, maka diperlukan dapat bersaing di bursa informasi yang semakin kompetitif. Ada beberapa rancangan kerja dakwah yang dapat dilakukan untuk menjawab problematika umat dewasa ini:
1.      Memfokuskan aktivitas dakwah untuk mengentaskan kemiskinan umat.
2.      Menyiapkan profil strategis muslim untuk disuplai ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing.
3.      Membuat peta sosial umat sebagai sosial umat sebagai informasi awal bagi pengembangan dakwah.
4.      Mengintegrasikan wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbabagi perencanaan dakwah baik secara internal umat maupun secara eksternal.
5.      Mendirikan pusat-pusat studi dan informasi umat secara lebih profesional dan berorientasi pada kemajuan iptek.
6.      Menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan ekonomi, kesehatan, dan kebudayaan umat Islam.
Sukses tidaknya suatu kegiatan dakwah bukanlah diukur melalui gelak tawa atau tepuk riuh pendengarnya, bukan pula dengan ratap tangis mereka. Kesuksesan dakwah dapat dilihat pada bekas yang ditinggalkan dalam benak pendengarnya ataupun tercermin dalam tingkah laku mereka. Untuk mencapai hasil yang maksimal, tidak dapat lain dakwah Islam harus dilaksanakan secara efektif. Efektifitas dapat diartikan sampai dimana suatu organisasi dapat mencapai tujuan-tujuan utama yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan proses dakwah, maka efektifitas dakwah dapat diukur melalui tingkat keberhasilan dakwah dalam mencapai tingkta out put  sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, yaitu terbentuknya kondisi yang Islami.

















No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages