HADITS DIRAYAH - SANTRI ENDONESA

Tiada Kata Terlambat Untuk Belajar

Breaking

Home Top Ad

W E L C O M E

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, August 22, 2018

HADITS DIRAYAH


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latarbelakang
Hadits itu terdiri dari yang diterima yakni yang shahih dan yang ditolak yakni yang dha’if. Itulah pembagian secara garis besar. Tetapi para ahli hadits membagi hadits dalam tiga bagian: hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Setiap hadits tidak bisa dikeluarkan dari salah satu pengelompokan pokok tersebut.
Dari tiga bagian ini, hadits yang dapat dijadikan hujjah atau pegangan adalah hadits shahih dan hadits hasan. Sedangkan hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujjah kecuali masalah fadhailul a’mal. Dan salah satu cara untuk mengetahui hadits itu shahih, hasan atau dha’if adalah dengan cara meneliti secara mendalam hadits itu, baik matan maupun sanadnya. Salah satu ilmu yang dapat digunakan dalam meneliti sebuah hadits adalah ilmu hadits dirayah. Pada kesempatan ini, kami akan menjelaskan mengenai peran ilmu hadits dirayah dalam menentukan ke-shahih-an hadits beserta contohnya yang kami kutip dari beberapa buku refrensi.
2.      Rumusan Masalah
1.        Bagaimana pengertian ilmu hadits dirayah?
2.        Bagaimana sejarah ilmu hadits dirayah?
3.        Bagaimana objek kajian ilmu hadits dirayah?
4.        Bagaimana thabaqah para rawi?
5.        Bagaimana tingkatan lafadz-lafadz al-jarh wa ta’dil?
6.        Bagaimana peran ilmu hadits dirayah dalam memverifikasi keshahihan hadits?


BAB II
PEMBAHASAN
1.      PENGERTIAN HADITS DIRAYAH
Dirayah secara etimologi bermakna ilmu atau ma’rifah yang diperoleh dari usaha manusia. Dalam kitab Faidhu al-Qadir disebut ada lima belas kosa kata yang dianggap sinonim atau paling tidak memiliki unsur kesamaan dengan ilmu, dan yang kesembilan diantaranya adalah ad-Dirayah dengan ma’rifah yang diperoleh melalui analisis terhadap riwayat dengan menggunakan premis-premis yang jelas. Sementara itu, Fathu al-Bari menyipati ad-dirayah ini dengan iktisab, atau upaya manusia mengetahui sesuatu dengan nalarnya sendiri.[1]
Ilmu hadits dirayah biasa juga disebut ilmu mustalah hadits, ilmu ushul al-hadits, ulum al-hadits, dan qawa’id at-tahdis. At-Turmudzi mendefinisikan ilmu ini dengan “Kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain.”
Ibnu al-Afkafi mendefinisikan ilmu ini sebagai berikut: “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan , syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukum hadits serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.” Dari definisi Ibnu al-Afkafi tersebut dapat dipahami beberapa hal berikut:
a.         Hakikat riwayat, yaitu kegiatan periwayatan hadits dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang rawi, “haddatsana fulan” (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau ikhbar, seperti perkataan, “akhbarana fulan” (telah mengabarkan kepada kami si Fulan)
b.        Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap segala yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-hadits), seperti sama’  (perawi mendengar langsung bacaan hadits dari seorang guru), qira’ah (murid membecakan catatan hadits dari gurunya dihadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin kepadan seseorang untuk meriwayatkan hadits dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), munawalah (menyerahkan hadits yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan hadits untuk seseorang), i’lam (memberi tahu seseorang bahwa hadits tertentu adalah koleksinya), washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadits yang dimilikinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang hadits dari seorang guru).
c.         Macam-macam riwayat, yaitu seperti periwayatan muttashil, periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama hingga perawi terakhir, atau munqathi’ (periwayatan yang terputus, baik diawal, ditengah, atau diakhir dan lainnya)
d.        Hukum riwayat, yakni al-qabul (diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu) dan ar-radd(ditolak karena ada persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi).
e.         Keadaan para perawi, maksudnya adalah keadaan mereka dari segi keadilan (al-‘adalah) dan ketidakadilannya (al-jarh).
f.         Syarat-syarat perawi, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (ayarat pada al-add’).
g.        Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), yaitu penulisan hadits didalam kitab al-musnad. Al-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis kitab yang menghimpun hadits-hadits Nabi SAW.
Selain itu, M. ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan ilmu hadits dirayah sebagai berikut: “Ilmu hadits dirayah adalah kumpulan kaidah dan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi diterima atau ditolaknya.”
Definisi tersebut menjelaskan bahwa terdapat beberapa unsur penting dalam ilmu hadits dirayah, yaitu:
a.         Ar-rawi atau perawi, adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan hadits dari satu orang ke orang yang lain.
b.        Al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya, seperti sahabat atau tabi’in.
c.         Keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya, yaitu mengetahui keadaan perawi dari segi jarh dan ta’dil ketika tahammul dan adda’ al-hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan hadits.
d.        Keadaan marwi, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal as-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits.
Ada pula ulama yang mendefinisikan ilmu hadits dirayah ialah: “Ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan hadits yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dan hadits yang diragukan penyampaiannya kepada beliau.”
2.      SEJARAH HADITS DIRAYAH
Ilmu ini telah tumbuh sejak zaman Rasulullah SAW dan semakin terasa diperlukan setelah Rasulullah SAW wafat, terutama ketika umat islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan dari suatu daerah kedaerah lainnya. Upaya dan perlawatan yang mereka lakukan secara langsung atau tidak, memerlukan kaidah-kaidah untuk menyeleksi periwayatan hadits. Disinilah ilmu hadits dirayah mulai terwujud dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana.
Pada perkembangan berikutnya, kaidah-kaidah ini semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Dalam sejarah perkembangan hadits, tercatat bahwa ulama yang pertama kali berhasil meyusun ilmu ini dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap adalah al-Qadi Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (wafat 360 H) dengan kitabnya al-Muhaddis al-Fasil Baina ar-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian muncul al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi (321-404 H) dengan kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits, Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Asfahani (339-430 H) dengan kitabnya
3.      OBJEK KAJIAN ILMU DIRAYAH
Objek kajian ilmu hadits dirayah, yaitu :
a.         Segi persambungan sanad (ittishal as-sanad), yaitu bahwa rangkaian sanad hadits harus bersambung sejak sahabat hingga kepada periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan hadits tersebut. Oleh karena itu, tidak dibenarkan rangkaian sanad tersebut terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar.
b.        Segi keterpercayaan sanad (siqat as-sanad), bahwa setiap perawi yang terdapat pada sanad hadits harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi haditsnya)
c.         Segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz).
d.        Segi keselamatannya dari cacat (‘illat).
e.         Tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Adapun pembahasan mengenai matan meliputi segi ke-shahih­-an atau ke-dha’if-annya. Hal tersebut terlihat melalui kesesuaian dengan makna dan tujuan yang terkandungdi dalam al-Qur’an, atau harus selamat dari beberapa hal berikut:
a.         Selamat dari kejanggalan redaksi (rakakat al-fazh)
b.        Selamat dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (fasad al-ma’na) karena bertentangan dengan akal dan pancaindra, atau dengan kandungan dan makna al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah.
c.         Selamat dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak dapat dipahami berdasarkan maknanya yang umum.
4.      THABAQAT PARA RAWI
Thabaqat Para Rawi dan Pembagiannya Menurut Istilah
Hampir semua ahli hadits sepakat bahwa thabaqat ialah sekumpulan orang yang sebaya dalam usia dan dalam menemukan guru. Para rawi dibagi dalam beberapa thabaqat, yang murni sebagai istilah. Diantara para ahli yang ada yang memasukkan seluruh sahabat kedalam sati kelompok thabaqat, lalu tabi’in pada thabaqat kedua, kemudian orang-orang sesudah mereka pada thabaqat ketiga. Pembagian ini berpegang pada sabda Nabi SAW: “Kurun yang paling baik adalah kurunku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka”. Rasulullah SAW menyebutkan dua atau tiga kurun lagi sesudah kurun beliau.[2]
Adapula ulama’ yang membagi para sahabat dalam beberapa thabaqat, lalu pengelompokan diteruskan kepada para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Masing-masing kelompok dibagi dalam beberapa thabaqat.
Pembagian cermat terhadap satu kelompok itu, membuat terhimpunnya individu-individu kelompok tersebut menurut sifatnya masing-masing. Dalam thabaqat sahabat misalnya, berbagai kelompok bertemu dalam sifat tertentu: ada pemeluk islam yang lebih awal, ada yang tergolong muhajirin, dan ada yang pelaku peperangan. Abu Bakar, umpamanya, termasuk dalam empat thabaqat sekaligus: sahabat nabi, termasuk pemeluk pertama agama Islam, yang mendapat kabar gembira bakal masuk surga, dan muhajirin. Setiap orang yang memiliki kesamaan dengan salah satu sifat ini, ia berada dalam satu thabaqat dengan Abu Bakar.
Dari sinilah mula lahirnya thabaqat sahabat dan thabaqat tabi’in, berdasarkan beragam pertimbangan dan perbedaan sudut pandangan yang menjadi pertimbangan untuk klasifikasinya.[3]
Thabaqat Para Rawi Menurut Pembagian Ibn Hajar
Ibn Hajar al-Asqalani telah berusaha meringkas thabaqat para rawi sejak masa sahabat hingga akhir masa periwayatan. Pembagiannya terdiri dari 12 thabaqat, yang hanya terdiri dari kelompok orang yang mempunyai riwayat dalam al-kutub as-sittah.
Pertama:          Sahabat dengan berbagai tingkatannya.
Kedua:                        Thabaqat tabi’in pertama, seperti sa’id bin Musayyab.
Ketiga:                        Thabaqat tabi’in pertengahan, seperti Al-Hasaan dan Ibnu Sirin.
Keempat:        Thabaqat urutan berikutnya. Periwayatan mereka umumnya bersumber dari tabi’in, seperti az-Zuhri dan Qatadah.

Kelima:           Thabaqat tabi’in akhir yang tidak dapat dipastikan bahwa mereka mendengar penuturan hadits secara langsung dari sahabat. Termasuk dalam thabaqat ini adalah al-A’masi.
Keenam:          Orang-orang yang tampil bersama thabaqat kelima, tetapi dapat dipastikan bahwa mereka tidak pernah bertemu dengan salah seorang Sahabat Rasulullah. Diantara mereka termasuk Ibn Juraij.
Ketujuh:          Thabaqat atba’ut tabi’in (sesudah tabi’in) yang pertama, seperti Malik bin Anas dan Sufyan.
Kedelapan:      Thabaqat atba’ut tabi’in pertengahan sepertiIbnu Uyaimah dan Ibnu Ulayyah.
Kesembilan:    Thabaqat atba’ut tabi’in akhir. Dalam kelompok ini Abu Dawud, Ath-Thayalisi dan Asy-Syafi’i.
Kesepuluh:      Orang-orang pertama yang mengutip dari atba’ut tabi’in, yang tidak pernah bertemu dengan para tabi’in, seperti Ahmad bin Hanbal.
Kesebelas:       Thabaqat pertengahan dari orang-orang yang mengutip atba’ut tabi’in, seperti Adz-Dzuhli dan Al-Bukhari.
Keduabelas:    Orang-orang terakhir yang mengutip dari atba’ut tabi’in, seperti At-Tirmidzi.
Mengetahui thabaqat para rawi dapat meniadakan banyak kerancuan, mencegah bercampur aduknya nama-nama dan gelar-gelar yang serupa. Bagi peneliti, pengetahuan tentang thabaqat akan memberi mereka pemahaman akan bentuk-bentuk tadliz, inqita’, dan irsal.[4]
5.      TINGKATAN LAFADZ-LAFADZ AL-JARH WA AL-TA’DIL
Para ulama hadistelah menentukan istilah-istilah yang mereka pergunakan untuk mensifati karateristik para rawi, dari diterima atau tidaknya riwayat hadisnya. Dengannya mereka ingin menujukan klasifikasi al-Jarh wa ai-tadil tidak lah diragukan bahwa mengethui istilah –istilah tersebut sangat penting bagi pencari dan peneliti hadis, mengingat ia merupkan kunci ungkapan yang akan meninggalkan kita pada kondisi rawi.[5]
Para ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rowi ini. Mereka berupaya keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya. Tulisan yang pertama kali sampai kepada kita dalah karya tokohkritikus al- imam bil al-imam abdurrahman bin abi Hatim al-rozi (wafat 327 H), dalam kitabnya ia telah menyusun martabat al- Jarh wa al-ta’dil masing-masing terdiri atas empat martabat.
Martabat-martabat Ta’dil menurut Al-Razi
Ibn abi hakim berkata “ saya temukan istilah- istilah dalam al-jarh wa ta’dil terdiri atas berapa tingkatan “
a.         Apa bila dikatakan bagi seseorang bahwa ia shiqoh, mutqin atau staptun, maka ia adalah orang yang hadisnya dapat dipakai hujjah.
b.        Apa bila dikatakan baginya shaduq, mahalluhu ash-shidqu, atau ‘laa ba’sa bih, maka ia adalah orang yang hadisnya dapat di tulis dan diperhatikan. Ia menepati tingkatan kedua.
c.         Apabila dikatakan baginya syaikh, maka menepati tingkatak ketiga , hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan tetapi dibawah tingkatan kedua.
d.        Apabila para ulama mengatakan shalih al-Hadis, makahadisnya dapat ditulis untuk i’tibar.
Martabat-martabat jarh menurut al-Razi
a.         Apabila para ulama mengatakan tentang seorang rawi bahwa ia Layyin al-Hadis, maka ia adalah orang ysang hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan untuk i’tibar
b.        Apabila mereka  menyatakan Laisa Bi Qawiyyin, maka yang bersangkutan sama dengan tingkatan yang pertama dalam hal dapat ditulis hadisnya tetapi berada di bawahnya.
c.         Apabila mereka mengatakan dho’if al- Hadis, maka yang bersangkutan berada dibawah tingkatan kedua,tetapi hadisnya tidak boleh ditolak, melainkan untuk di i’tibar.
d.        Apabila mereka menyatakan mantruk al-hadits, atau dzahib al- hadits atau kadzdzaab, maka yang bersangkutan hadisnya gugur dan tidak boleh ditulis, ia menepati ungkapan keempat.
Banyak ulama hadis yang mengikuti jejak al-Razi dalam mengklasifikasi al- Jarh wa al-ta’dil ini. Diantaranya adalah ibnu ash-Shalah dan al- Nawawi. Mereka mengikutinya tanpa menyalahinya sedikit pun. Kemudian datang ulama lain dan berpendapat sama dengan klasifikasi dan hukum-hukumnya secara global. Namun,  mereka menambahkan beberapa rincian. Diantara ulama terakhir ini yang paling masyhur  adalah al- Dzahabi, al- ‘Iraqi, Ibnu Hajar, dan al- Sakhawi.[6]
Al- Dzahabi menjelaskan dalam pendahuluan  kitab mizan al-I’tidaal-nya:
a.         Tingkatan rawi yang diterima hadisnya yang paling tinggi adalah mereka yang mendapat julukan Tsabtun Hujjatun, Tsabtun Hafizhun, Tsiqatun Mutqinun, atau  Tsaqatun tsiqat’
b.        Kemudian yang diberi julukan Tsiqatun;
c.         Kemudian yang diberikan julukan Shaduq, la ba’sa bih, danlaisa hihi Bastan;
d.        Kemudian yang diberikan julukan Mahalluhu ash-Shidq, Jayyid al- Hadits, Shalih al-Hadits, Syaikh Wasath, Syaikah Hasan al- Hadits, Shaduq Insya Allah, dan Shuwailih.
e.         Kemudan julukan Yadh’afu,Fihi Dhu’fun, Qad Dha’ufa, Laisabi al- Qawiyy, Sayyi al-Hifzhi, dan sebagainya.
Kemudian datanglah al-Iraqi yang mengikuti al-Dzahabi dalam pembagian al-Jarh wa al- ta’dil. Beliau lebih merinci dan menjelaskan, dengan mencantumkan kata-kata martabat pertama, martabat kedua, dan seterusnya sebagai kata ganti kemudian (tsamma). Disamping itu beliau juga menyebutkan lebih banyak lafaz-lafaz julukan  pada setiap martabat serta menjelaskan hukum masing-masing martabat.[7]
Martabat pertama dan kedua dari ta’dil , apabila salah satu dari lafaz-lafaznya disebutkan bagi seseorang, maka ia adalah orang yang hadisnya dapat dipakai hujjah. Martabat ketiga hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan. Martabat keempat hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan tetapi tingkatannya dibawah tingkatan ketiga. Kemudian datanglah al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dalam kitabnya al-Nukhbah, ia menambahkan dalam ta’dil satu martabat lagi yang lebih tinggi dari pada martabah sebelumnya, yaitu tingkatan yang dijuluki dengar bentuk kata af ‘al al-tafdhil, seperi autsaq an-nas, ini merupakan martabat ta’dil yang kelima.
Adapun martabat jarh, al-Hafizh menambahkan satu martabat yang melebih-lebihkan jarh, seperti julukan Akdzab an-Nas, penambahan ini diikuti oleh al-Sakhawi. Dengan demikian martabah jarh menjadi enam.
6.      PERAN ILMU DIRAYAH DALAM MEMVERIFIKASI HADITS
Dengan mempelajari ilmu hadits dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh, antara lain mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa, yaitu sejak masa Rasulullah SAW sampai dengan masa sekarang, mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits, mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasi hadits lebih lanjut, dan dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria hadits sebagai pedoman dalam masyarakat.
Dari semua faedah diatas, apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari ilmu hadits dirayah ialah untuk mengetahui maqbul (diterima) dan mardud-nya (ditolaknya) suatu hadits, baik dilihat dari sudut sanad maupun dari sudut matannya.[8]
Contoh Peran Ilmu Dirayah Dalam Memverifikasi Hadits
20_حدثنا محمد بن سعيد, حدثنا يحي بن أبي بكير العبدي, عن إبراهيم بن طهمان, عن سماك, عن جابر بن سمراة, قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إني لأعرف حجرا بمكة كان يسلم عليَّ قبل أن أُبعث, إني لأعرفه الآن.[9]
Muhamad bin Sa’id :  majhul (tidak ditemukan dalam buku para perawi hadits/tidak diketahui tentangnya)
Yahya bin Abi Bukair : nama aslinya ialah nasr, orangnya tsiqoh dan golongan kesembilan yaitu thobaqot tabiut tabiin akhir[10]
Ibrahim bin tuhman Al-khurasani : bertempat di naisaburi kemudian ke mekkah, orangnya tsiqoh dan termasuk golongan ketujuh yaitu thobaqot tabiut tabiin yang pertama seperti malik bin anas da sufyan [11]
Simak bin harb bin aus bin kholid Adz-dzuhli : orangnya sangat jujur, khusus riwayat yang melalui jalur ikrimah maka haditsnya dihukumi mudthorib termasuk golongan keempat yaitu thobaqot yang mana periwayatan mereka pada umumnya bersumber dari tabi’in seperti Az-Zuhri dan Qotadah[12]
Jabir bin Sumroh bin junadah: merupakan shahabat yang ayahnya juga seorang sahabat (shahabat kecil)[13]
2277_حدثنا أبو بكر بن أبي ِشيبة, حدثنا يحي بن أبي بكير العبدي, عن إبراهيم بن طهمان, عن سماك بن حرب, عن جابر بن سمراة, قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إني لأعرف حجرا بمكة كان يسلم عليَّ قبل أن أُبعث, إني لأعرفه الآن.[14]
Abu bakar bin abi syaibah : nama aslinya Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim, orangnya tsiqoh dan termasuk golongan ketujuh yaitu thobaqot tabiut tabiin yang pertama seperti malik bin anas da sufyan [15]
Yahya bin Abi Bukair : nama aslinya ialah nasr, orangnya tsiqoh dan golongan kesembilan yaitu thobaqot tabiut tabiin akhir[16]
Ibrahim bin tuhman Al-khurasani : bertempat di naisaburi kemudian ke mekkah, orangnya tsiqoh dan termasuk golongan ketujuh yaitu thobaqot tabiut tabiin yang pertama seperti malik bin anas da sufyan [17]
Simak bin harb bin aus bin kholid Adz-dzuhli : orangnya sangat jujur, khusus riwayat yang melalui jalur ikrimah maka haditsnya dihukumi mudthorib termasuk golongan keempat yaitu thobaqot yang mana periwayatan mereka pada umumnya bersumber dari tabi’in seperti Az-Zuhri dan Qotadah[18]
Jabir bin Sumroh bin junadah: merupakan shahabat yang ayahnya juga seorang sahabat (shahabat kecil)[19]
3624_حدثنا محمد بن بَشَّار و محمود بن غيلان قالا: أنبأنا أبو داود الطَّيَالِسيُّ, أحبرنا سليمان بن معاذ الضَبِّيّ, عن سِماك بن حرب, عن جابر بن سمراة, قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إني بمكة حجرا كان يسلم عليَّ ليالي بُعث إني لأعرفه الآن. قال هاذا حديث حسن غريب[20]
Muhammad bin basyar bin utsman Al-Abdi : abu bakar memandangnya orang yang tsiqoh dan termasuk golongan kesepuluh yaitu orang-orang pertama yang mengutip dari tabi’ut tabi’in yang tidak pernah bertemu dengan para tabiin seperti Ahmad bin hanbal[21]
Abu dawud Ath-Thoyalisi: nama aslinya silaiman bin dawud bin jarud Ath-Thoyalusi termasuk orang yang tsiqoh dan termasuk golongan kesembilan yaitu thobaqot tabiut tabiin[22]
Sulaiman bin Muadz Adl-Dlabbi : namanya adalah sulaiman bin Qorm  termasuk orang yang hafalannya buruk dan termasuk golongan ketujuh yaitu thobaqot tabiut tabiin yang pertama seperti malik bin anas da sufyan [23] (ke-7)
Simak bin harb bin aus bin kholid Adz-dzuhli : orangnya sangat jujur, khusus riwayat yang melalui jalur ikrimah maka haditsnya dihukumi mudthorib termasuk golongan keempat yaitu thobaqot yang mana periwayatan mereka pada umumnya bersumber dari tabi’in seperti Az-Zuhri dan Qotadah[24]
Jabir bin Sumroh bin junadah: merupakan shahabat yang ayahnya juga seorang sahabat (shahabat kecil)[25]
Takhrij Hadits/Verifikasi Keshahihan Hadits
Hadits tersebut diatas merupakan hadits yang telah kami takhrij perawinya dan komentar-komentar mengenai setiap perawi tersebut berdasarkan komentar  dari imam hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani  dan berikut mengenai pendapat kami mengenai kualitas hadits tersebut ditinjau dari segi sanad dan matan :
Didalam hadits pertama keseluruhan perawinya dikomentari baik oleh Imam Ibnu Hajar selain dari perawi yang bernama Muhammad bin Sa’id karena perawi tersebut tidak ditemukan didalam kitab karya Imam Ibnu Hajar tersebut maka hukumnya majhul.
Didalam hadits yang kedua seluruh perawinya tsiqoh dan juga sangat jujur kecuali sahabat kecil yang bernama Jabir bin Samroh maka keadaan rawinya tidak perlu dipertanyakan karena para ulama’ sepakat bahwasanya ke-absahan rawi sahabat tidak usah dipertanyakan ketsiqohan dan kedhabitannya
Didalam hadits ketiga Sulaiman bin Muadz ad-Dhabbi adalah perawi yang tidak terpercaya maka haditsnya dinilai dha’if atau lemah dan benar saja hadits tersebut didalam pelafdzannya tidak sama dengan hadits yang lain sebelumnya
Adapun kesimpulan mengenai beberapa hal tersebut maka kami menilainya hadits shohih, karena selain perawinya yang keseluruhannya tsiqoh dalam hadits kedua dia juga memiliki penguat dari hadits yang lain maka hukumnya shohih dari kualitasnya dan kami menilai hadits tersebut hadits ahad yang matshur karena memiliki jalur periwayatan sebanyak tiga.


BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
Ilmu hadits dirayah ialah Ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan hadits yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dan hadits yang diragukan penyampaiannya kepada beliau.
Ilmu ini telah tumbuh sejak zaman Rasulullah SAW dan semakin terasa diperlukan setelah Rasulullah SAW wafat, terutama ketika umat islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan dari suatu daerah kedaerah lainnya. Upaya dan perlawatan yang mereka lakukan secara langsung atau tidak, memerlukan kaidah-kaidah untuk menyeleksi periwayatan hadits. Disinilah ilmu hadits dirayah mulai terwujud dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana. Pada perkembangan berikutnya, kaidah-kaidah ini semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Objek kajian ilmu hadits dirayah, yaitu Segi persambungan sanad (ittishal as-sanad), Segi keterpercayaan sanad (siqat as-sanad), Segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz), Segi keselamatannya dari cacat (‘illat), Tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad. Adapun pembahasan mengenai matan meliputi segi ke-shahih­-an atau ke-dha’if-annya harus selamat dari beberapa hal yaitu selamat dari kejanggalan redaksi (rakakat al-fazh), selamat dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (fasad al-ma’na), selamat dari kata-kata asing (gharib).
Thabaqat ialah sekumpulan orang yang sebaya dalam usia dan dalam menemukan guru. Ibn Hajar al-Asqalani telah berusaha meringkas thabaqat para rawi sejak masa sahabat hingga akhir masa periwayatan. Pembagiannya terdiri dari 12 thabaqat, yang hanya terdiri dari kelompok orang yang mempunyai riwayat dalam al-kutub as-sittah.
Para ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rowi ini. Mereka berupaya keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya. Tulisan yang pertama kali sampai kepada kita dalah karya tokoh kritikus al- imam bil al-imam abdurrahman bin abi Hatim al-rozi (wafat 327 H), dalam kitabnya ia telah menyusun martabat al- Jarh wa al-ta’dil masing-masing terdiri atas empat martabat.
Faedah mempelajari ilmu hadits dirayah ialah untuk mengetahui maqbul (diterima) dan mardud-nya (ditolaknya) suatu hadits, baik dilihat dari sudut sanad maupun dari sudut matannya.



Daftar Pustaka
Djuned, Daniel.2010.Ilmu Hadis.Erlangga.
Nuruddin.2012.Manhaj an-Naqd fi ‘Uluuum al-Hadits.Bandung:Rosdakarya.
Mudasir.1999.Ilmu Hadis.Bandung:CV Pustaka Setia.
Ad-Darimi,al-Imam ‘Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ay-Tamimi.2012.Sunan ad-Darimi.Beirut:Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Al-Asqolani, Ibnu Hajar.2010.Tarib at-Tahdib fi Rijal al-Kutub as-Sittah. Beirut:Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
An-Nawawi,Yahya bin Syariaf.2015.Shohih Muslim bi Syarhi an-Nawawi. Beirut:Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Al-Mubarakfouri,Muhammad Abdur Rahman.2014.Tahfatul Ahwadi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi. Beirut:Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
ash-Shalih,Subhi.2013.Membahas Ilmu-Ilmu Hadis.Jakarta:PT. Pustaka Firdaus.


[1] Prof. Dr. H. Daniel Djuned, MA, Ilmu Hadis, (Erlangga, 2010), hlm. 90.
[2] DR. Subhi ash-Shalih,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,(Jakarta:PT. Pustaka Firdaus,2013), hlm. 323.
[3] Ibid, hlm. 324.
[4] DR. Subhi ash-Shalih,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,(Jakarta:PT. Pustaka Firdaus,2013), hlm. 325.
[5] Nurudin,Manhaj An-Naqd fi ‘Uluuum Al- Hadis,bandung:Rosdakarya,2012.Hal 98
[6] Nurudin,Manhaj An-Naqd fi ‘Uluuum Al- Hadis, bandung:Rosdakarya,2012.Hal 100
[7] Ibid
[8] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm.46.
[9] Al-Imam Abu Muhammad  Abdullah bin Abdur rahman At-tamimi Ad-Darimi.2012 .Sunan Ad-Darimi, (Beirut:Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) juz.1 hal.15
Ibnu Hajar Al-Asqolani. 2010. Taqrib At-Tahdib fi Rijal Al-Kutub As-Sittah, (Beirut:Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) juz.2 hal.584
[11] Ibid juz.1 hal.59
[12] Ibid juz.1 hal.471
[13] Ibid juz.1 hal168
[14] Yahya bin Syariaf An-Nawawi. 2015. Shohih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, (Beirut:Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) juz.15 hal.29
[15] Ibnu Hajar Al-Asqolani. 2010. Taqrib At-Tahdib fi Rijal Al-Kutub As-Sittah, (Beirut:Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) juz.2 hal.647
[16] Ibid juz.2  hal.584
[17] Ibid juz.1 hal.59
[18] Ibid juz.1 hal.471
[19] Ibid juz.1 hal168
[20]Muhammad Abdur Rahman Al-Mubarakfouri.2014. Tuhfatul Ahwadi bi Syarhi Jami’ Al-Tirmidzi, (Beirut:Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah)juz.10 hal.63
[21] Ibnu Hajar Al-Asqolani. 2010. Taqrib At-Tahdib fi Rijal Al-Kutub As-Sittah, (Beirut:Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) juz.2 hal.333
[22] Ibid juz.1 hal.459
[23] Ibnu Hajar Al-Asqolani. 2010. Taqrib At-Tahdib fi Rijal Al-Kutub As-Sittah, (Beirut:Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah), juz.1 hal.366-367
[24] Ibid juz.1 hal.471
[25] Ibid juz.1 hal. 168

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages