BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latarbelakang
Hadits
itu terdiri dari yang diterima yakni yang shahih
dan yang ditolak yakni yang dha’if. Itulah
pembagian secara garis besar. Tetapi para ahli hadits membagi hadits dalam tiga
bagian: hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Setiap hadits tidak bisa dikeluarkan dari salah satu
pengelompokan pokok tersebut.
Dari
tiga bagian ini, hadits yang dapat dijadikan hujjah atau pegangan adalah hadits
shahih dan hadits hasan. Sedangkan hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujjah
kecuali masalah fadhailul a’mal. Dan
salah satu cara untuk mengetahui hadits itu shahih,
hasan atau dha’if adalah dengan cara meneliti secara mendalam hadits itu, baik
matan maupun sanadnya. Salah satu ilmu yang dapat digunakan dalam meneliti
sebuah hadits adalah ilmu hadits dirayah.
Pada kesempatan ini, kami akan menjelaskan mengenai peran ilmu hadits dirayah
dalam menentukan ke-shahih-an hadits
beserta contohnya yang kami kutip dari beberapa buku refrensi.
2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian ilmu hadits dirayah?
2.
Bagaimana
sejarah ilmu hadits dirayah?
3.
Bagaimana
objek kajian ilmu hadits dirayah?
4.
Bagaimana
thabaqah para rawi?
5.
Bagaimana
tingkatan lafadz-lafadz al-jarh wa ta’dil?
6.
Bagaimana
peran ilmu hadits dirayah dalam memverifikasi keshahihan hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN HADITS DIRAYAH
Dirayah secara
etimologi bermakna ilmu atau ma’rifah yang
diperoleh dari usaha manusia. Dalam kitab Faidhu
al-Qadir disebut ada lima belas kosa kata yang dianggap sinonim atau paling
tidak memiliki unsur kesamaan dengan ilmu, dan yang kesembilan diantaranya
adalah ad-Dirayah dengan ma’rifah yang diperoleh melalui analisis
terhadap riwayat dengan menggunakan premis-premis yang jelas. Sementara itu, Fathu al-Bari menyipati ad-dirayah ini dengan iktisab, atau upaya manusia mengetahui
sesuatu dengan nalarnya sendiri.[1]
Ilmu hadits dirayah biasa
juga disebut ilmu mustalah hadits, ilmu
ushul al-hadits, ulum al-hadits, dan qawa’id
at-tahdis. At-Turmudzi mendefinisikan ilmu ini dengan “Kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima
dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain.”
Ibnu
al-Afkafi mendefinisikan ilmu ini sebagai berikut: “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan , syarat-syarat,
macam-macam, dan hukum-hukum hadits serta untuk mengetahui keadaan para perawi,
baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala sesuatu
yang berkaitan dengannya.” Dari definisi Ibnu al-Afkafi tersebut dapat
dipahami beberapa hal berikut:
a.
Hakikat riwayat, yaitu
kegiatan periwayatan hadits dan penyandarannya kepada orang yang
meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu
perkataan seorang rawi, “haddatsana
fulan” (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau ikhbar, seperti perkataan, “akhbarana
fulan” (telah mengabarkan kepada kami si Fulan)
b.
Syarat-syarat riwayat, yaitu
penerimaan para perawi terhadap segala yang diriwayatkannya dengan menggunakan
cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-hadits), seperti sama’
(perawi mendengar langsung bacaan
hadits dari seorang guru), qira’ah (murid
membecakan catatan hadits dari gurunya dihadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin kepadan seseorang
untuk meriwayatkan hadits dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), munawalah (menyerahkan hadits yang
tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan hadits untuk seseorang), i’lam (memberi tahu seseorang bahwa hadits tertentu adalah
koleksinya), washiyyat (mewasiatkan
kepada seseorang koleksi hadits yang dimilikinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang hadits dari seorang
guru).
c.
Macam-macam riwayat, yaitu
seperti periwayatan muttashil,
periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama hingga perawi terakhir,
atau munqathi’ (periwayatan yang
terputus, baik diawal, ditengah, atau diakhir dan lainnya)
d.
Hukum riwayat, yakni
al-qabul (diterimanya suatu riwayat
karena telah memenuhi persyaratan tertentu) dan ar-radd(ditolak karena ada persyaratan tertentu yang tidak
terpenuhi).
e.
Keadaan para perawi, maksudnya
adalah keadaan mereka dari segi keadilan (al-‘adalah)
dan ketidakadilannya (al-jarh).
f.
Syarat-syarat perawi, yaitu
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika menerima riwayat
(syarat-syarat pada tahammul) dan
syarat ketika menyampaikan riwayat (ayarat pada al-add’).
g.
Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), yaitu
penulisan hadits didalam kitab al-musnad.
Al-mu’jam, atau al-ajza’ dan
lainnya dari jenis kitab yang menghimpun hadits-hadits Nabi SAW.
Selain
itu, M. ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan ilmu hadits dirayah sebagai berikut: “Ilmu hadits dirayah adalah kumpulan kaidah
dan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi diterima atau
ditolaknya.”
Definisi
tersebut menjelaskan bahwa terdapat beberapa unsur penting dalam ilmu hadits
dirayah, yaitu:
a.
Ar-rawi atau perawi, adalah orang yang meriwayatkan
atau menyampaikan hadits dari satu orang ke orang yang lain.
b.
Al-marwi adalah segala sesuatu
yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada
yang lainnya, seperti sahabat atau tabi’in.
c.
Keadaan perawi dari
segi diterima atau ditolaknya, yaitu mengetahui keadaan perawi dari segi jarh dan ta’dil ketika tahammul dan
adda’ al-hadits, dan segala sesuatu
yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan hadits.
d.
Keadaan marwi, adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal
as-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu
hadits.
Ada
pula ulama yang mendefinisikan ilmu hadits dirayah ialah: “Ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar,
peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan hadits yang shahih yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW dan hadits yang diragukan penyampaiannya
kepada beliau.”
2.
SEJARAH HADITS DIRAYAH
Ilmu
ini telah tumbuh sejak zaman Rasulullah SAW dan semakin terasa diperlukan
setelah Rasulullah SAW wafat, terutama ketika umat islam memulai upaya
mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan dari suatu daerah kedaerah
lainnya. Upaya dan perlawatan yang mereka lakukan secara langsung atau tidak,
memerlukan kaidah-kaidah untuk menyeleksi periwayatan hadits. Disinilah ilmu
hadits dirayah mulai terwujud dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana.
Pada
perkembangan berikutnya, kaidah-kaidah ini semakin disempurnakan oleh para
ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga hijriyah, baik mereka yang
mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang
lainnya, sehingga menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Dalam
sejarah perkembangan hadits, tercatat bahwa ulama yang pertama kali berhasil
meyusun ilmu ini dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap adalah al-Qadi Abu
Muhammad ar-Ramahurmuzi (wafat 360 H) dengan kitabnya al-Muhaddis al-Fasil Baina ar-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian muncul
al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi (321-404 H) dengan kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits, Nu’aim Ahmad
bin Abdillah al-Asfahani (339-430 H) dengan kitabnya
3.
OBJEK KAJIAN ILMU DIRAYAH
Objek
kajian ilmu hadits dirayah, yaitu :
a.
Segi
persambungan sanad (ittishal as-sanad),
yaitu bahwa rangkaian sanad hadits harus bersambung sejak sahabat hingga kepada
periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan hadits tersebut. Oleh karena
itu, tidak dibenarkan rangkaian sanad tersebut terputus, tersembunyi, tidak
diketahui identitasnya atau tersamar.
b.
Segi
keterpercayaan sanad (siqat as-sanad),
bahwa setiap perawi yang terdapat pada sanad hadits harus memiliki sifat adil
dan dhabith (kuat dan cermat hafalan
atau dokumentasi haditsnya)
c.
Segi
keselamatannya dari kejanggalan (syadz).
d.
Segi
keselamatannya dari cacat (‘illat).
e.
Tinggi
dan rendahnya martabat suatu sanad.
Adapun
pembahasan mengenai matan meliputi
segi ke-shahih-an atau ke-dha’if-annya. Hal tersebut terlihat
melalui kesesuaian dengan makna dan tujuan yang terkandungdi dalam al-Qur’an,
atau harus selamat dari beberapa hal berikut:
a.
Selamat
dari kejanggalan redaksi (rakakat al-fazh)
b.
Selamat
dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (fasad
al-ma’na) karena bertentangan dengan akal dan pancaindra, atau dengan
kandungan dan makna al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah.
c.
Selamat
dari kata-kata asing (gharib), yaitu
kata-kata yang tidak dapat dipahami berdasarkan maknanya yang umum.
4.
THABAQAT PARA RAWI
Thabaqat Para Rawi dan Pembagiannya Menurut Istilah
Hampir
semua ahli hadits sepakat bahwa thabaqat ialah sekumpulan orang yang sebaya
dalam usia dan dalam menemukan guru. Para rawi dibagi dalam beberapa thabaqat,
yang murni sebagai istilah. Diantara para ahli yang ada yang memasukkan seluruh
sahabat kedalam sati kelompok thabaqat, lalu tabi’in pada thabaqat kedua,
kemudian orang-orang sesudah mereka pada thabaqat ketiga. Pembagian ini
berpegang pada sabda Nabi SAW: “Kurun yang paling baik adalah kurunku, kemudian
orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka”. Rasulullah
SAW menyebutkan dua atau tiga kurun lagi sesudah kurun beliau.[2]
Adapula
ulama’ yang membagi para sahabat dalam beberapa thabaqat, lalu pengelompokan
diteruskan kepada para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Masing-masing
kelompok dibagi dalam beberapa thabaqat.
Pembagian
cermat terhadap satu kelompok itu, membuat terhimpunnya individu-individu
kelompok tersebut menurut sifatnya masing-masing. Dalam thabaqat sahabat
misalnya, berbagai kelompok bertemu dalam sifat tertentu: ada pemeluk islam
yang lebih awal, ada yang tergolong muhajirin, dan ada yang pelaku peperangan.
Abu Bakar, umpamanya, termasuk dalam empat thabaqat sekaligus: sahabat nabi, termasuk
pemeluk pertama agama Islam, yang mendapat kabar gembira bakal masuk surga, dan
muhajirin. Setiap orang yang memiliki kesamaan dengan salah satu sifat ini, ia
berada dalam satu thabaqat dengan Abu Bakar.
Dari
sinilah mula lahirnya thabaqat sahabat dan thabaqat tabi’in, berdasarkan
beragam pertimbangan dan perbedaan sudut pandangan yang menjadi pertimbangan
untuk klasifikasinya.[3]
Thabaqat Para Rawi Menurut Pembagian Ibn Hajar
Ibn
Hajar al-Asqalani telah berusaha meringkas thabaqat para rawi sejak masa
sahabat hingga akhir masa periwayatan. Pembagiannya terdiri dari 12 thabaqat,
yang hanya terdiri dari kelompok orang yang mempunyai riwayat dalam al-kutub
as-sittah.
Pertama: Sahabat dengan berbagai tingkatannya.
Kedua: Thabaqat tabi’in
pertama, seperti sa’id bin Musayyab.
Ketiga: Thabaqat tabi’in
pertengahan, seperti Al-Hasaan dan Ibnu Sirin.
Keempat: Thabaqat
urutan berikutnya. Periwayatan mereka umumnya bersumber dari tabi’in, seperti
az-Zuhri dan Qatadah.
Kelima: Thabaqat
tabi’in akhir yang tidak dapat dipastikan bahwa mereka mendengar penuturan
hadits secara langsung dari sahabat. Termasuk dalam thabaqat ini adalah al-A’masi.
Keenam: Orang-orang
yang tampil bersama thabaqat kelima, tetapi dapat dipastikan bahwa mereka tidak
pernah bertemu dengan salah seorang Sahabat Rasulullah. Diantara mereka
termasuk Ibn Juraij.
Ketujuh: Thabaqat
atba’ut tabi’in (sesudah tabi’in) yang pertama, seperti Malik bin Anas dan
Sufyan.
Kedelapan: Thabaqat atba’ut tabi’in pertengahan
sepertiIbnu Uyaimah dan Ibnu Ulayyah.
Kesembilan: Thabaqat
atba’ut tabi’in akhir. Dalam kelompok ini Abu Dawud, Ath-Thayalisi dan
Asy-Syafi’i.
Kesepuluh: Orang-orang
pertama yang mengutip dari atba’ut tabi’in, yang tidak pernah bertemu dengan para
tabi’in, seperti Ahmad bin Hanbal.
Kesebelas: Thabaqat
pertengahan dari orang-orang yang mengutip atba’ut tabi’in, seperti Adz-Dzuhli
dan Al-Bukhari.
Keduabelas: Orang-orang terakhir yang mengutip dari
atba’ut tabi’in, seperti At-Tirmidzi.
Mengetahui
thabaqat para rawi dapat meniadakan
banyak kerancuan, mencegah bercampur aduknya nama-nama dan gelar-gelar yang
serupa. Bagi peneliti, pengetahuan tentang thabaqat
akan memberi mereka pemahaman akan bentuk-bentuk tadliz, inqita’, dan irsal.[4]
5.
TINGKATAN LAFADZ-LAFADZ AL-JARH WA AL-TA’DIL
Para
ulama hadistelah menentukan istilah-istilah yang mereka pergunakan untuk
mensifati karateristik para rawi, dari diterima atau tidaknya riwayat hadisnya.
Dengannya mereka ingin menujukan klasifikasi al-Jarh wa ai-ta’dil
tidak lah diragukan bahwa mengethui istilah –istilah tersebut sangat penting
bagi pencari dan peneliti hadis, mengingat ia merupkan kunci ungkapan yang akan
meninggalkan kita pada kondisi rawi.[5]
Para
ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rowi ini. Mereka berupaya
keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya. Tulisan yang pertama
kali sampai kepada kita dalah karya tokohkritikus al- imam bil al-imam
abdurrahman bin abi Hatim al-rozi (wafat 327 H), dalam kitabnya ia telah
menyusun martabat al- Jarh wa al-ta’dil masing-masing terdiri atas empat
martabat.
Martabat-martabat Ta’dil menurut Al-Razi
Ibn
abi hakim berkata “ saya temukan istilah- istilah dalam al-jarh wa ta’dil
terdiri atas berapa tingkatan “
a.
Apa
bila dikatakan bagi seseorang bahwa ia shiqoh, mutqin atau staptun,
maka ia adalah orang yang hadisnya dapat dipakai hujjah.
b.
Apa
bila dikatakan baginya shaduq, mahalluhu ash-shidqu, atau ‘laa ba’sa
bih, maka ia adalah orang yang hadisnya dapat di tulis dan diperhatikan. Ia
menepati tingkatan kedua.
c.
Apabila
dikatakan baginya syaikh, maka menepati tingkatak ketiga , hadisnya
dapat ditulis dan diperhatikan tetapi dibawah tingkatan kedua.
d.
Apabila
para ulama mengatakan shalih al-Hadis, makahadisnya dapat ditulis untuk i’tibar.
Martabat-martabat
jarh menurut al-Razi
a.
Apabila
para ulama mengatakan tentang seorang rawi bahwa ia Layyin al-Hadis,
maka ia adalah orang ysang hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan untuk i’tibar
b.
Apabila
mereka menyatakan Laisa Bi Qawiyyin,
maka yang bersangkutan sama dengan tingkatan yang pertama dalam hal dapat
ditulis hadisnya tetapi berada di bawahnya.
c.
Apabila
mereka mengatakan dho’if al- Hadis, maka yang bersangkutan berada
dibawah tingkatan kedua,tetapi hadisnya tidak boleh ditolak, melainkan untuk di
i’tibar.
d.
Apabila
mereka menyatakan mantruk al-hadits, atau dzahib al- hadits atau kadzdzaab,
maka yang bersangkutan hadisnya gugur dan tidak boleh ditulis, ia menepati
ungkapan keempat.
Banyak
ulama hadis yang mengikuti jejak al-Razi dalam mengklasifikasi al-
Jarh wa al-ta’dil ini. Diantaranya adalah ibnu ash-Shalah dan al-
Nawawi. Mereka mengikutinya tanpa menyalahinya sedikit pun. Kemudian datang
ulama lain dan berpendapat sama dengan klasifikasi dan hukum-hukumnya secara
global. Namun, mereka menambahkan
beberapa rincian. Diantara ulama terakhir ini yang paling masyhur adalah al- Dzahabi, al- ‘Iraqi, Ibnu Hajar,
dan al- Sakhawi.[6]
Al-
Dzahabi menjelaskan dalam pendahuluan
kitab mizan al-I’tidaal-nya:
a.
Tingkatan
rawi yang diterima hadisnya yang paling tinggi adalah mereka yang mendapat
julukan Tsabtun Hujjatun, Tsabtun Hafizhun, Tsiqatun Mutqinun, atau Tsaqatun tsiqat’
b.
Kemudian
yang diberi julukan Tsiqatun;
c.
Kemudian
yang diberikan julukan Shaduq, la ba’sa bih, danlaisa hihi Bastan;
d.
Kemudian
yang diberikan julukan Mahalluhu ash-Shidq, Jayyid al- Hadits, Shalih
al-Hadits, Syaikh Wasath, Syaikah Hasan al- Hadits, Shaduq Insya Allah, dan
Shuwailih.
e.
Kemudan
julukan Yadh’afu,Fihi Dhu’fun, Qad Dha’ufa, Laisabi al- Qawiyy, Sayyi
al-Hifzhi, dan sebagainya.
Kemudian
datanglah al-Iraqi yang mengikuti al-Dzahabi dalam pembagian al-Jarh wa al-
ta’dil. Beliau lebih merinci dan menjelaskan, dengan mencantumkan kata-kata
martabat pertama, martabat kedua, dan seterusnya sebagai kata ganti kemudian
(tsamma). Disamping itu beliau juga menyebutkan lebih banyak lafaz-lafaz
julukan pada setiap martabat serta
menjelaskan hukum masing-masing martabat.[7]
Martabat
pertama dan kedua dari ta’dil , apabila salah satu dari lafaz-lafaznya
disebutkan bagi seseorang, maka ia adalah orang yang hadisnya dapat dipakai
hujjah. Martabat ketiga hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan. Martabat
keempat hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan tetapi tingkatannya dibawah
tingkatan ketiga. Kemudian datanglah al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dalam
kitabnya al-Nukhbah, ia menambahkan dalam ta’dil satu martabat lagi yang lebih
tinggi dari pada martabah sebelumnya, yaitu tingkatan yang dijuluki dengar
bentuk kata af ‘al al-tafdhil, seperi autsaq an-nas, ini merupakan martabat
ta’dil yang kelima.
Adapun
martabat jarh, al-Hafizh menambahkan satu martabat yang melebih-lebihkan jarh,
seperti julukan Akdzab an-Nas, penambahan ini diikuti oleh al-Sakhawi. Dengan
demikian martabah jarh menjadi enam.
6.
PERAN ILMU DIRAYAH DALAM MEMVERIFIKASI HADITS
Dengan
mempelajari ilmu hadits dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh,
antara lain mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari
masa ke masa, yaitu sejak masa Rasulullah SAW sampai dengan masa sekarang,
mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam
mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits, mengetahui kaidah-kaidah
yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasi hadits lebih lanjut,
dan dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria hadits sebagai
pedoman dalam masyarakat.
Dari
semua faedah diatas, apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari ilmu
hadits dirayah ialah untuk mengetahui maqbul
(diterima) dan mardud-nya
(ditolaknya) suatu hadits, baik dilihat dari sudut sanad maupun dari sudut
matannya.[8]
Contoh Peran Ilmu Dirayah Dalam Memverifikasi Hadits
20_حدثنا محمد بن سعيد, حدثنا يحي بن أبي بكير العبدي, عن إبراهيم
بن طهمان, عن سماك, عن جابر بن سمراة, قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
إني لأعرف حجرا بمكة كان يسلم عليَّ قبل أن أُبعث, إني لأعرفه الآن.[9]
Muhamad
bin Sa’id : majhul (tidak ditemukan dalam buku para perawi
hadits/tidak diketahui tentangnya)
Yahya
bin Abi Bukair : nama aslinya ialah
nasr, orangnya tsiqoh dan golongan kesembilan yaitu thobaqot tabiut tabiin
akhir[10]
Ibrahim
bin tuhman Al-khurasani : bertempat di naisaburi
kemudian ke mekkah, orangnya tsiqoh dan termasuk golongan ketujuh yaitu
thobaqot tabiut tabiin yang pertama seperti malik bin anas da sufyan [11]
Simak
bin harb bin aus bin kholid Adz-dzuhli : orangnya
sangat jujur, khusus riwayat yang melalui jalur ikrimah maka haditsnya dihukumi
mudthorib termasuk golongan keempat yaitu thobaqot yang mana periwayatan mereka
pada umumnya bersumber dari tabi’in seperti Az-Zuhri dan Qotadah[12]
Jabir
bin Sumroh bin junadah: merupakan shahabat
yang ayahnya juga seorang sahabat (shahabat kecil)[13]
2277_حدثنا
أبو بكر بن أبي ِشيبة, حدثنا يحي بن أبي بكير العبدي, عن إبراهيم بن طهمان, عن
سماك بن حرب, عن جابر بن سمراة, قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إني
لأعرف حجرا بمكة كان يسلم عليَّ قبل أن أُبعث, إني لأعرفه الآن.[14]
Abu
bakar bin abi syaibah : nama aslinya
Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim, orangnya tsiqoh dan termasuk golongan
ketujuh yaitu thobaqot tabiut tabiin yang pertama seperti malik bin anas da
sufyan [15]
Yahya
bin Abi Bukair : nama aslinya ialah
nasr, orangnya tsiqoh dan golongan kesembilan yaitu thobaqot tabiut tabiin
akhir[16]
Ibrahim
bin tuhman Al-khurasani : bertempat di naisaburi
kemudian ke mekkah, orangnya tsiqoh dan termasuk golongan ketujuh yaitu
thobaqot tabiut tabiin yang pertama seperti malik bin anas da sufyan [17]
Simak
bin harb bin aus bin kholid Adz-dzuhli : orangnya
sangat jujur, khusus riwayat yang melalui jalur ikrimah maka haditsnya dihukumi
mudthorib termasuk golongan keempat yaitu thobaqot yang mana periwayatan mereka
pada umumnya bersumber dari tabi’in seperti Az-Zuhri dan Qotadah[18]
Jabir
bin Sumroh bin junadah: merupakan shahabat
yang ayahnya juga seorang sahabat (shahabat kecil)[19]
3624_حدثنا
محمد بن بَشَّار و محمود بن غيلان قالا: أنبأنا أبو داود الطَّيَالِسيُّ, أحبرنا
سليمان بن معاذ الضَبِّيّ, عن سِماك بن حرب, عن جابر بن سمراة, قال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : إني بمكة حجرا كان يسلم عليَّ ليالي بُعث إني لأعرفه الآن.
قال هاذا حديث حسن غريب[20]
Muhammad
bin basyar bin utsman Al-Abdi : abu bakar
memandangnya orang yang tsiqoh dan termasuk golongan kesepuluh yaitu
orang-orang pertama yang mengutip dari tabi’ut tabi’in yang tidak pernah
bertemu dengan para tabiin seperti Ahmad bin hanbal[21]
Abu
dawud Ath-Thoyalisi: nama aslinya silaiman
bin dawud bin jarud Ath-Thoyalusi termasuk orang yang tsiqoh dan termasuk
golongan kesembilan yaitu thobaqot tabiut tabiin[22]
Sulaiman
bin Muadz Adl-Dlabbi : namanya adalah
sulaiman bin Qorm termasuk orang yang
hafalannya buruk dan termasuk golongan ketujuh yaitu thobaqot tabiut tabiin
yang pertama seperti malik bin anas da sufyan [23]
(ke-7)
Simak
bin harb bin aus bin kholid Adz-dzuhli : orangnya
sangat jujur, khusus riwayat yang melalui jalur ikrimah maka haditsnya dihukumi
mudthorib termasuk golongan keempat yaitu thobaqot yang mana periwayatan mereka
pada umumnya bersumber dari tabi’in seperti Az-Zuhri dan Qotadah[24]
Jabir
bin Sumroh bin junadah: merupakan shahabat
yang ayahnya juga seorang sahabat (shahabat kecil)[25]
Takhrij Hadits/Verifikasi Keshahihan Hadits
Hadits
tersebut diatas merupakan hadits yang telah kami takhrij perawinya dan
komentar-komentar mengenai setiap perawi tersebut berdasarkan komentar dari imam hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani dan berikut mengenai pendapat kami mengenai
kualitas hadits tersebut ditinjau dari segi sanad dan matan :
Didalam
hadits pertama keseluruhan perawinya dikomentari baik oleh Imam Ibnu Hajar selain
dari perawi yang bernama Muhammad bin Sa’id karena perawi tersebut tidak
ditemukan didalam kitab karya Imam Ibnu Hajar tersebut maka hukumnya majhul.
Didalam
hadits yang kedua seluruh perawinya tsiqoh dan juga sangat jujur kecuali
sahabat kecil yang bernama Jabir bin Samroh maka keadaan rawinya tidak perlu
dipertanyakan karena para ulama’ sepakat bahwasanya ke-absahan rawi sahabat
tidak usah dipertanyakan ketsiqohan dan kedhabitannya
Didalam
hadits ketiga Sulaiman bin Muadz ad-Dhabbi adalah perawi yang tidak terpercaya maka
haditsnya dinilai dha’if atau lemah dan benar saja hadits tersebut didalam
pelafdzannya tidak sama dengan hadits yang lain sebelumnya
Adapun
kesimpulan mengenai beberapa hal tersebut maka kami menilainya hadits shohih,
karena selain perawinya yang keseluruhannya tsiqoh dalam hadits kedua dia juga
memiliki penguat dari hadits yang lain maka hukumnya shohih dari kualitasnya
dan kami menilai hadits tersebut hadits ahad yang matshur karena memiliki jalur
periwayatan sebanyak tiga.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Ilmu
hadits dirayah ialah Ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah,
dasar-dasar, peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan hadits yang
shahih yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dan hadits yang diragukan
penyampaiannya kepada beliau.
Ilmu
ini telah tumbuh sejak zaman Rasulullah SAW dan semakin terasa diperlukan
setelah Rasulullah SAW wafat, terutama ketika umat islam memulai upaya
mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan dari suatu daerah kedaerah
lainnya. Upaya dan perlawatan yang mereka lakukan secara langsung atau tidak,
memerlukan kaidah-kaidah untuk menyeleksi periwayatan hadits. Disinilah ilmu
hadits dirayah mulai terwujud dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana. Pada
perkembangan berikutnya, kaidah-kaidah ini semakin disempurnakan oleh para
ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga hijriyah, baik mereka yang
mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang
lainnya, sehingga menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Objek
kajian ilmu hadits dirayah, yaitu Segi persambungan sanad (ittishal as-sanad), Segi
keterpercayaan sanad (siqat as-sanad), Segi keselamatannya dari kejanggalan
(syadz), Segi keselamatannya dari cacat (‘illat), Tinggi dan rendahnya martabat
suatu sanad. Adapun pembahasan mengenai matan meliputi segi ke-shahih-an atau
ke-dha’if-annya harus selamat dari beberapa hal yaitu selamat dari kejanggalan
redaksi (rakakat al-fazh), selamat dari cacat atau kejanggalan pada maknanya
(fasad al-ma’na), selamat dari kata-kata asing (gharib).
Thabaqat
ialah sekumpulan orang yang sebaya dalam usia dan dalam menemukan guru. Ibn
Hajar al-Asqalani telah berusaha meringkas thabaqat para rawi sejak masa
sahabat hingga akhir masa periwayatan. Pembagiannya terdiri dari 12 thabaqat,
yang hanya terdiri dari kelompok orang yang mempunyai riwayat dalam al-kutub
as-sittah.
Para
ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rowi ini. Mereka berupaya
keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya. Tulisan yang pertama
kali sampai kepada kita dalah karya tokoh kritikus al- imam bil al-imam
abdurrahman bin abi Hatim al-rozi (wafat 327 H), dalam kitabnya ia telah
menyusun martabat al- Jarh wa
al-ta’dil masing-masing terdiri atas empat martabat.
Faedah
mempelajari ilmu hadits dirayah ialah untuk mengetahui maqbul (diterima) dan
mardud-nya (ditolaknya) suatu hadits, baik dilihat dari sudut sanad maupun dari
sudut matannya.
Daftar Pustaka
Djuned,
Daniel.2010.Ilmu Hadis.Erlangga.
Nuruddin.2012.Manhaj an-Naqd fi ‘Uluuum al-Hadits.Bandung:Rosdakarya.
Mudasir.1999.Ilmu Hadis.Bandung:CV Pustaka Setia.
Ad-Darimi,al-Imam
‘Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ay-Tamimi.2012.Sunan ad-Darimi.Beirut:Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Al-Asqolani,
Ibnu Hajar.2010.Tarib at-Tahdib fi Rijal
al-Kutub as-Sittah. Beirut:Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
An-Nawawi,Yahya
bin Syariaf.2015.Shohih Muslim bi Syarhi
an-Nawawi. Beirut:Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Al-Mubarakfouri,Muhammad
Abdur Rahman.2014.Tahfatul Ahwadi bi
Syarhi Jami’ at-Tirmidzi. Beirut:Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
ash-Shalih,Subhi.2013.Membahas Ilmu-Ilmu Hadis.Jakarta:PT.
Pustaka Firdaus.
[1] Prof. Dr. H. Daniel Djuned, MA, Ilmu
Hadis, (Erlangga, 2010), hlm. 90.
[2] DR. Subhi ash-Shalih,Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis,(Jakarta:PT. Pustaka Firdaus,2013), hlm. 323.
[3] Ibid, hlm. 324.
[4] DR. Subhi ash-Shalih,Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis,(Jakarta:PT. Pustaka Firdaus,2013), hlm. 325.
[5] Nurudin,Manhaj An-Naqd fi ‘Uluuum Al- Hadis,bandung:Rosdakarya,2012.Hal
98
[6] Nurudin,Manhaj An-Naqd fi ‘Uluuum Al- Hadis, bandung:Rosdakarya,2012.Hal
100
[7] Ibid
[8] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 1999), hlm.46.
[9] Al-Imam
Abu Muhammad Abdullah bin Abdur rahman
At-tamimi Ad-Darimi.2012 .Sunan Ad-Darimi, (Beirut:Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah) juz.1 hal.15
[11] Ibid juz.1 hal.59
[12] Ibid juz.1 hal.471
[13] Ibid juz.1 hal168
[14] Yahya
bin Syariaf An-Nawawi. 2015. Shohih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, (Beirut:Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah) juz.15 hal.29
[15] Ibnu Hajar
Al-Asqolani. 2010. Taqrib At-Tahdib fi Rijal Al-Kutub As-Sittah, (Beirut:Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah) juz.2 hal.647
[16] Ibid juz.2 hal.584
[17] Ibid juz.1 hal.59
[18] Ibid juz.1 hal.471
[19] Ibid juz.1 hal168
[20]Muhammad
Abdur Rahman Al-Mubarakfouri.2014. Tuhfatul Ahwadi bi Syarhi Jami’ Al-Tirmidzi,
(Beirut:Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah)juz.10 hal.63
[21] Ibnu Hajar
Al-Asqolani. 2010. Taqrib At-Tahdib fi Rijal Al-Kutub As-Sittah, (Beirut:Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah)
juz.2 hal.333
[22] Ibid juz.1 hal.459
[23] Ibnu Hajar
Al-Asqolani. 2010. Taqrib At-Tahdib fi Rijal Al-Kutub As-Sittah, (Beirut:Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah),
juz.1 hal.366-367
[25] Ibid juz.1 hal. 168
No comments:
Post a Comment