Tingkatan Lafaz –Lafaz al-Jarh wa al-Ta’dil - SANTRI ENDONESA

Tiada Kata Terlambat Untuk Belajar

Breaking

Home Top Ad

W E L C O M E

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, August 22, 2018

Tingkatan Lafaz –Lafaz al-Jarh wa al-Ta’dil


d. Tingkatan Lafaz –Lafaz al-Jarh wa al-Ta’dil
                Para ulama hadistelah menentukan istilah-istilah yang mereka pergunakan untuk mensifati karateristik para rawi, dari diterima atau tidaknya riwayat hadisnya. Dengannya mereka ingin menujukan klasifikasi al-Jarh wa ai-tadil tidak lah diragukan bahwa mengethui istilah –istilah tersebut sangat penting bagi pencari dan peneliti hadis, mengingat ia merupkan kunci ungkapan yang akan meninggalkan kita pada kondisi rawi.[1]
                Para ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rowi ini. Mereka berupaya keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya. Tulisan yang pertama kali sampai kepada kita dalah karya tokohkritikus al- imam bil al-imam abdurrahman bin abi Hatim al-rozi (wafat 327 H), dalam kitabnya ia telah menyusun martabat al- Jarh wa al-ta’dil masing-masing terdiri atas empat martabat.
1.       Martabat-martabat Ta’dil menurut Al-Razi
Ibn abi hakim berkata “ saya temukan istilah- istilah dalam al-jarh wa ta’dil terdiri atas berapa tingkatan “
a.       Apa bila dikatakan bagi seseorang bahwa ia shiqoh, mutqin atau staptun, maka ia adalah orang yang hadisnya dapat dipakai hujjah.
b.      Apa bila dikatakan baginya shaduq, mahalluhu ash-shidqu, atau ‘laa ba’sa bih, maka ia adalah orang yang hadisnya dapat di tulis dan diperhatikan. Ia menepati tingkatan kedua.
c.       Apabila dikatakan baginya syaikh, maka menepati tingkatak ketiga , hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan tetapi dibawah tingkatan kedua.
d.      Apabila para ulama mengatakan shalih al-Hadis, makahadisnya dapat ditulis untuk i’tibar.
2.       Martabat-martabat jarh menurut al-Razi
a.       Apabila para ulama mengatakan tentang seorang rawi bahwa ia Layyin al-Hadis, maka ia adalah orang ysang hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan untuk i’tibar
b.      Apabila mereka  menyatakan Laisa Bi Qawiyyin, maka yang bersangkutan sama dengan tingkatan yang pertama dalam hal dapat ditulis hadisnya tetapi berada di bawahnya.
c.       Apabila mereka mengatakan dho’if al- Hadis, maka yang bersangkutan berada dibawah tingkatan kedua,tetapi hadisnya tidak boleh ditolak, melainkan untuk di i’tibar.
d.      Apabila mereka menyatakan mantruk al-hadits, atau dzahib al- hadits atau kadzdzaab, maka yang bersangkutan hadisnya gugur dan tidak boleh ditulis, ia menepati ungkapan keempat.
Banyak ulama hadis yang mengikiti jijak al-Razi dalam mengklasifikasi al- Jarh wa al-ta’dil ini. Diantaranya adalah ibnu ash-Shalah dan al- Nawawi. Mereka mengikutinya tanpa menyalahinya sedikit pun. Kemudian datang ulama lain dan berpendapat sama dengan klasifikasi da hukum-hukumnya secara global. Namun,  mereka menambahkan beberapa rincian. Diantara ulama terakhir ini yang paling masyhur  adalah al- Dzahabi, al- ‘Iraqi, Ibnu Hajar, dan al- Sakhawi.[2]
Al- Dzahabi menjelaskan dalam pendahuluan  kitab mizan al-I’tidaal-nya:
1)      Tingkatan rawi yang diterima hadisnya yang paling tinggi adalah mereka yang mendapat julukan Tsabtun Hujjatun, Tsabtun Hafizhun, Tsiqatun Mutqinun, atau  Tsaqatun tsiqat’
2)      Kemudian yang diberi julukan Tsiqatun;
3)      Kemudian yang diberikan julukan Shaduq, la ba’sa bih, danlaisa hihi Bastan;
4)      Kemudian yang diberikan julukan Mahalluhu ash-Shidq, Jayyid al- Hadits, Shalih al-Hadits, Syaikh Wasath, Syaikah Hasan al- Hadits, Shaduq Insya Allah, dan Shuwailih.
5)      Kemudan julukan Yadh’afu,Fihi Dhu’fun, Qad Dha’ufa, Laisabi al- Qawiyy, Sayyi al-Hifzhi, dan sebagainya.
Kemudian datanglah al-Iraqi yang mengikuti al-Dzahabi dalam pembagian al-Jarh wa al- ta’dil. Beliau lebih merinci dan menjelaskan, dengan mencantumkan kata-kata martabat pertama, martabat kedua, dan seterusnya sebagai kata ganti kemudian (tsamma). Disampig itu beliau juga menyebutkan lebih banyak lafaz-lafaz julukan  pada setiap martabat serta menjelaskan hukum masing-masing martabat.[3]
Martabat pertama dan kedua dari ta’dil , apabila salah satu dari lafaz-lafaznya disebutkan bagi seseorang, maka ia adalah orang yang hadisnya dapat dipakai hujjah. Martabat ketiga hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan. Martabat keempat hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan tetapi tingkatannya dibawah tingkatan ketiga. Kemudian datanglah al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dalam kitabnya al-Nukhbah, ia menambahkan dalam ta’dil satu martabat lagi yang lebih tinggi dari pada martabah sebelumnya, yaitu tingkatan yang dijuluki dengar bentuk kata af ‘al al-tafdhil, seperi autsaq an-nas, ini merupakan martabat ta’dil yang kelima.
 Adapun martabat jarh, al-Hafizh menambahkan satu martabat yang melebih-lebihkan jarh, seperti julukan Akdzab an-Nas, penambahan ini diikuti oleh al-Sakhawi. Dengan demikian martabah jarh menjadi enam.
MENANGGUNG HADIS DAN BENTUK-BENTUK HADIS
a.Mendengar
 Dari berdialog dan mendengar langsung, metode awal para perawi , para pencari ilmu beralih kepada pengambilan hadis dengan cara membaca, atau ijajah, atau saling memberi dan menerima, atau saling menlis, atau cara memberi tau, atau wasiat, atau melalui cara penemuan. Ketujuh bentuk tersebut diikuti satu bentuk lagi, yang merupakakan bentuk kedelapan, yakni dengan cara mendengar. Metode terakhir inilah yang membatasi berbagai metode pengajaran kaum.[4]
Selagi lagi saya tegaskan bahwa mendengar sesungguhnya bentuk yang paling tinggi dan paling kuat. Hanya saja kita harus melihat secara khusus, dari sudutpandang para ahli hadis berikut pengertian dan istilah-istilah yang mereka pakai. Pada saat itulh akakn terlihat jelas oleh kita bahwasanya orang yang menaggung hadis haruslah mendengar ucapan dari gurunya, baik yang dikutib dari kitab yang mereka baca atau dari hapalan-hapalannya sendiri yang didektekan  atau pun yang tidak.[5]
Kebanyakan ulama lebih mendahulukan lafaz sami’tu dari pada lafaz-lafaz yang lain. Soalnya, hampir tidak ada seorang pun menggunakan lafaz tersebut dalam hadis yang didapat lewat ijazah atau tulisan. Oleh sebab itu lebih tinggi dari pada yang lain.[6] Kemudian , biasanya para ulama mengikuti ungkapan haddatsana atau akhbarana jika mewakili orang banyak, dan haddasana atau akhbarana jika mewakili hanya satu orang (mufrad).[7]
Dalam hal ini, abdullah bin Wahab kawan imam malik mengatakan: “ sesungguhnya terdapat empat hal: kalau aku katakan haddasana, itu berarti aku sendiri ketika mendengar hadis dari orang alim. Kalau aku katakan haddasana, itu berarti aku bersama orang banyak (jama’ah) sewaktu mendengarnya. Kalau aku katakan akhbarani, itu berarti aku sendiri ketika menerima kabar.[8] Dan kalau aku katakan akhbarana, itu berarti aku bersama jama’ah saat menerima khabar. Untuk lebih menguatkan, sekali lagi kami ulang bahwa menurut ulama bahasa semua lafaz tersebut adalah ungkapan penyampaian hadis, dan istilah asalnya adalah sami’tu fulan qala: sami’tu fulan. Adapun perbedaan dalam pemakaian dikalangan para kritikus hadis itu soal kebiasaan dan adat.[9]
b. Membaca
                Kita perlu membuat definisi tentang qira’ah atau membaca. Yang dimaksudkan disini ialah kegiatan seorang murid di depan gurunya, baik secara hafalan maupun dengan melihat sebuah kitab.[10] Apabila bacaannya bukan hapalan atau tidak pula membaca dari kitab melainkan dengan mendengar orang lain membaca di depan gurunya, maka untuk orang tersebut diisyaratkan harus hapal bacaannya.[11] Atau dia mampu membandingkannya secara benar, jika hal itu memang suatu keharusan terhadap para murid yang terpercaya dan cermat, atau salah seorang di antaranya.[12] Membaca kitab jelas lebih baik dan lebih aman dari pada menghafal. Oleh karna itulah, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan” seharusnya upaya yang berpedoman pada sebuah bentuk itu lebih diutamakan dari pada melalui hafalan, karna sesungguhnya hafalan itu mengkhianati.
                Pendapat yang banyak diterima mengatakan bahwa membaca tanpa mendengar lebih dahulu menepati derajat kedua.[13] Akan tetapi ada sementara ulama berpendapat bahwa cara mana pun sama derajatnya dengan mendengar. Mereka tidak mempermasalahkan murid yang mengungkapkan apa yang pernah dibacakannya pada gurunya ketika dia menyampaikan riwayat yang didapat dari gurunya tersebut. Misalnya, dia bilang sami’tu (“aku mendengar”), tanpa menyebut dia pernah membacakannya di depan gurunya. [14]Ada juga sejumlah ahli hadis yang sangat mementingkan membaca dari para pendengar.
C. Ijazah
                Dalam pembicaraan mengenai As-Sima,kami terangkan bahwa sesungguhnya bahwa orang yang menanggung hadis itu mendengar dari ucapan gurunya. Dan dalam tentang pembicaraan tentang Al- Qira’atjuga dijelaskan bahwa si murid menyodorkan bacaan Hadisnya didepan gurunya. Keduanya memuat riwayat dengan isnad yang muttasil (sambung), baik dari ucapan dan dialog maupun dari kutipan yang benar. Sedangkan ijazah sama sekali tidak memuatnya karna hal itu merupakan izin seorang guru terhadap muridnya untukmeriwayatkan hal-hal yang didengar dan ditulisnya, sekalipun si murid tidak pernah  mendengar dan membacanya. Oleh karna itu Imam Ibnu Hazm menentang ijazah, karna menganggapnya suatu bid’ah yang terlarang.
 Sejumlah ulama lain juga mengingkari ijazah, berpendapat lebih keras: “ barang siapa yang berkata pada orang lain , saya ijazahkan (perkenankan) kepadamu untuk meriwayatkan  dariku apa yang tidak kamu dengar, maka sama halnya dia mengatakan ‘ aku ijaahkan kepadamu untuk mendustakan aku’. Soalnya, agama melarang meriwayatkan yang tidak pernah di dengar.   Hal itu jeklas suatu pelanggaran . karna sda beberapa bentuk ijazah yang kadang- kadang melampaui batas kebenaran disebabkan lemahnya riwayat.  Di antara beberapa bentuk ijazah yang bisa diterima oleh banyak ulama ialah ijazah sebuah kitab atau beberapa kitab tertentu yang di berikan kepada seseorang tertentu atau beberapa orang tertentu.
D.  Memberi
                Yang dimaksud oleh kaum ulama dengan memberi disini ialah tindakan memberi sebuah kitab atau sebuah hadis tertulis oleh seseorang supaya disampaikan dan diriwayatkan. Terdiri dari beberapa bentuk yang tidak sama tingkat lemah dan kuatnya bentuk yang paling tinggi dan paling kuat  ialah pemberian kitab atau sebuah hadis tertulis dari seorang guru seraya berkata: “ aku berikan ini kepadamu dan aku ijazahkan kamu untuk meriwayatkannya ; ambillah dan riwayatkanlah ia berasal dariku.[15]” Bentuk ini dinamakan munawalah ma’a al-ijazah( pemberian sekaligus perkenan). Sejumlah ulama bahkan ada yang mengagap nya bentuk yang istimewa, sehingga mereka menempatkannya lebih tinggi dari bentuk mendengar. Soalnya , kepercayaan kepada kitab guru yang sudah direstuinya jelas melebihi bentuk mendengar, karna yang terakhir ini berpeluang besar disusupi unsur kekeliruan dari si pendengarkan.
e.Menulis
                misalnya seorang guru menuliskannya sendiri atau menyuruh orang lain menuliskannya beberapa hadis kepada orang yang ada di hadapannya untuk menimba ilmu darinya. Atau seseorang lain yang berkirim surat kepadanya.[16] Sejumlah ulama ada yang bersikap keras. Mereka mensyaratkan bahwa percatatan dan penulisan harus di sertai ijazah. Tetapi ini tidak beralasan sama sekali. Soalnya, para perawi besar juga melakukan penulisan tanpa suatu persyaratan Imam al-Bukhori, misalnya, dalam kitab Al-Imam Wa al-Nudzur  menceritakan bahwa ia pernah berkirim surat kepada Muhammad bin Basysyar dan meriwayatkan hadisnya.
 Imam Muslim dalam Shahih-nyamengatakan: “aku mengirim surat kepada jabir bin Samrah lewat pembantuku bernama nafi’, dalam surat itu aku memintanya mengkhabarkan kepadaku sesuatu tentang ucapan Rasulullah SAW. Surat itu terbalas :” aku mendengar dari Rasulullah SAW bahwa pada hari jum’at sore si Aslami dihukum rajam. Yang jelas penulisan dengn ijazah lebih kuat. Bahkan beberapa ulama berpendapat bahwa menulis dengan ijazah lebih tinggi bahkan dari mendengar sendiri secara langsung sekalipun.
f.Memberitahukan
                yang dinamakan dengan memberitahukan ialah tindakan seseorang yang mengkhabari  muridnya bahwa kitab atau hadis ini termasuk riwayat darinya atau dari yang didengarnya dari si pulan, tanpa memberi ijazah untuk menyampaikannya. Mayoritas ulama memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu bentuk menanggung hadis, sepanjang kredibilitas gurunya bisa dipercaya. Karna hal inilah yang melahirkan keyakinan bahwa apa yang dia “ berithukan” kepada muridnya memang benar dari riwayat miliknya. Dengan hanya menyampaikan sesuatu yang sungguh-sungguh pernah didengar dari gurunya, sudah dapat jadi isyarat bahwa sang guru merestui muridnya untuk menyampaikannya. Ijazah dengan meriwa yatkan dijamin dapat dipahami, meskipun sang guru tidak menyebutnya dengan tegas. Oleh sebab itulah kebanyakan  ulama  hadis melarang riwayat secara memberitahukan, apabila guru tegas melarang si murid meriwayatkan darinya dengan mengatakan : “ ini sesungguhnya yang aku dengar, atau ini memang riwayat-riwayatku.
g. Wasiat
                Bentuk wasiat jarang terjadi. Wasiat ialah penegasan seorang guru sewaktu hendak berpergian atau menghadapi saat-saat kematiannya; yaitu berwasiat pada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sebagian ulama salaf (kuno) memperbolehkan orang yang mendapat wasiat untuk meriwayatkan kitab dari orang yang mewasiatkanya. Menurut mereka, wasiat itu sama dengan cara pemberitahuan dan termasuk  jenis pemberian. Dengan wasiat, sang guru seolah-olah telah memberikan sesuatu kepada muridnya, dan memberitahukan bahwa itu termasuk riwayat-riwayatnya, Cuma lafaz-lafaznya yang tidak jelas.
h. Penemuan
                Bentuk ini adalah sumber hadis yang tidak pernah dikethui oleh orang arab pada umumnya. Para ulama alhi hadis menjadikannya suatu metode pengambilan ilmu dari shahifa bukan dengan cara mendengar, ijazah maupun munawalah (memberikan). Misalnya, seseorang menemukan sebuah hadis tertulis dari seorang guru yang pernah ia jumpai, yang lalu ia tulis ulang dan kemudian ia sampaikan. Atau , dia memang tidak pernah menjumpai guru tersebut, akan tetapi dia yakin tulisan itu benar miliknya. Begitu pula halnya bila dia menemukan beberapa hadis dalam kitab-kitab terkenal, dan juga ditulis oleh para penulis terkenal.
                Ketika menyampaikan hadis, seorang perawi tidak boleh mengatakan: “ dari pulan, atau pulan memberitahu hadis atau khabar, atau aku mendengar darinya, atau aku menemukan tulisan si pulan,” sedangkan ia meragukannya. Tentu saja hal itu tidak terpuji. Jadi seharusnya ia berkata: “ pulan berkata, atau aku mendengar bahwa si pulan berkata, atau guru menulis , atau guru menyuruh orang menulis hadis.” Dari sini kita dapat mengetahui kesalahan yang banyak dilakukan oleh para penulis dan sejarawan modern, karna dalam buku-bukunya mereka menulis “ aku diberi hadis oleh Ath- Thabari, atau oleh ibnu hajar, atau oleh Ai-Hafizh al-Iraki, umpamanya.






[1] Nurudin,Manhaj An-Naqd fi ‘Uluuum Al- Hadis,bandung:Rosdakarya,2012.Hal 98
[2] Nurudin,Manhaj An-Naqd fi ‘Uluuum Al- Hadis, bandung:Rosdakarya,2012.Hal 100
[3] Ibid
[4] Al-Tadrib, 129
[5]Bandingan dengan “Ta’rif-Sima’i” dalam Al-Tadrib 129
[6]Al-Kifayat 284
[7]Al-Tadrib 130
[8]Al-Kifalah 294
[9]Al-kifalah 288
[10]Al-Tadrib 131
[11]Al-Tadrib 130
[12]Al-Ba’its al-Hatsist 123
[13]Al-Tadrib 132
[14]Ikhtishar al-Ulum al-Hadits 124

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages