Para
ulama hadistelah menentukan istilah-istilah yang mereka pergunakan untuk
mensifati karateristik para rawi, dari diterima atau tidaknya riwayat hadisnya.
Dengannya mereka ingin menujukan klasifikasi al-Jarh wa ai-ta’dil
tidak lah diragukan bahwa mengethui istilah –istilah tersebut sangat penting
bagi pencari dan peneliti hadis, mengingat ia merupkan kunci ungkapan yang akan
meninggalkan kita pada kondisi rawi.[1]
Para
ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rowi ini. Mereka berupaya
keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya. Tulisan yang pertama
kali sampai kepada kita dalah karya tokohkritikus al- imam bil al-imam
abdurrahman bin abi Hatim al-rozi (wafat 327 H), dalam kitabnya ia telah
menyusun martabat al- Jarh wa al-ta’dil masing-masing terdiri atas empat
martabat.
1.
Martabat-martabat
Ta’dil menurut Al-Razi
Ibn abi hakim berkata “ saya
temukan istilah- istilah dalam al-jarh wa ta’dil terdiri atas berapa
tingkatan “
a.
Apa bila dikatakan
bagi seseorang bahwa ia shiqoh, mutqin atau staptun, maka ia
adalah orang yang hadisnya dapat dipakai hujjah.
b.
Apa bila
dikatakan baginya shaduq, mahalluhu ash-shidqu, atau ‘laa ba’sa bih,
maka ia adalah orang yang hadisnya dapat di tulis dan diperhatikan. Ia menepati
tingkatan kedua.
c.
Apabila
dikatakan baginya syaikh, maka menepati tingkatak ketiga , hadisnya
dapat ditulis dan diperhatikan tetapi dibawah tingkatan kedua.
d.
Apabila
para ulama mengatakan shalih al-Hadis, makahadisnya dapat ditulis untuk i’tibar.
2.
Martabat-martabat
jarh menurut al-Razi
a.
Apabila para
ulama mengatakan tentang seorang rawi bahwa ia Layyin al-Hadis, maka ia
adalah orang ysang hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan untuk i’tibar
b.
Apabila
mereka menyatakan Laisa Bi Qawiyyin,
maka yang bersangkutan sama dengan tingkatan yang pertama dalam hal dapat
ditulis hadisnya tetapi berada di bawahnya.
c.
Apabila
mereka mengatakan dho’if al- Hadis, maka yang bersangkutan berada
dibawah tingkatan kedua,tetapi hadisnya tidak boleh ditolak, melainkan untuk di
i’tibar.
d.
Apabila
mereka menyatakan mantruk al-hadits, atau dzahib al- hadits atau kadzdzaab,
maka yang bersangkutan hadisnya gugur dan tidak boleh ditulis, ia menepati
ungkapan keempat.
Banyak ulama hadis
yang mengikiti jijak al-Razi dalam mengklasifikasi al- Jarh wa
al-ta’dil ini. Diantaranya adalah ibnu ash-Shalah dan al- Nawawi.
Mereka mengikutinya tanpa menyalahinya sedikit pun. Kemudian datang ulama lain
dan berpendapat sama dengan klasifikasi da hukum-hukumnya secara global. Namun, mereka menambahkan beberapa rincian. Diantara
ulama terakhir ini yang paling masyhur
adalah al- Dzahabi, al- ‘Iraqi, Ibnu Hajar, dan al- Sakhawi.[2]
Al- Dzahabi
menjelaskan dalam pendahuluan kitab mizan
al-I’tidaal-nya:
1)
Tingkatan
rawi yang diterima hadisnya yang paling tinggi adalah mereka yang mendapat
julukan Tsabtun Hujjatun, Tsabtun Hafizhun, Tsiqatun Mutqinun, atau Tsaqatun tsiqat’
2)
Kemudian
yang diberi julukan Tsiqatun;
3)
Kemudian
yang diberikan julukan Shaduq, la ba’sa bih, danlaisa hihi Bastan;
4)
Kemudian
yang diberikan julukan Mahalluhu ash-Shidq, Jayyid al- Hadits, Shalih
al-Hadits, Syaikh Wasath, Syaikah Hasan al- Hadits, Shaduq Insya Allah, dan
Shuwailih.
5)
Kemudan
julukan Yadh’afu,Fihi Dhu’fun, Qad Dha’ufa, Laisabi al- Qawiyy, Sayyi
al-Hifzhi, dan sebagainya.
Kemudian datanglah
al-Iraqi yang mengikuti al-Dzahabi dalam pembagian al-Jarh wa al- ta’dil.
Beliau lebih merinci dan menjelaskan, dengan mencantumkan kata-kata martabat
pertama, martabat kedua, dan seterusnya sebagai kata ganti kemudian (tsamma).
Disampig itu beliau juga menyebutkan lebih banyak lafaz-lafaz julukan pada setiap martabat serta menjelaskan hukum
masing-masing martabat.[3]
Martabat pertama
dan kedua dari ta’dil , apabila salah satu dari lafaz-lafaznya disebutkan bagi
seseorang, maka ia adalah orang yang hadisnya dapat dipakai hujjah. Martabat
ketiga hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan. Martabat keempat hadisnya dapat
ditulis dan diperhatikan tetapi tingkatannya dibawah tingkatan ketiga. Kemudian
datanglah al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dalam kitabnya al-Nukhbah, ia
menambahkan dalam ta’dil satu martabat lagi yang lebih tinggi dari pada
martabah sebelumnya, yaitu tingkatan yang dijuluki dengar bentuk kata af ‘al
al-tafdhil, seperi autsaq an-nas, ini merupakan martabat ta’dil yang kelima.
Adapun martabat jarh, al-Hafizh menambahkan
satu martabat yang melebih-lebihkan jarh, seperti julukan Akdzab an-Nas,
penambahan ini diikuti oleh al-Sakhawi. Dengan demikian martabah jarh menjadi
enam.
MENANGGUNG HADIS DAN BENTUK-BENTUK HADIS
a.Mendengar
Dari berdialog dan mendengar langsung, metode
awal para perawi , para pencari ilmu beralih kepada pengambilan hadis dengan
cara membaca, atau ijajah, atau saling memberi dan menerima, atau saling
menlis, atau cara memberi tau, atau wasiat, atau melalui cara penemuan. Ketujuh
bentuk tersebut diikuti satu bentuk lagi, yang merupakakan bentuk kedelapan,
yakni dengan cara mendengar. Metode terakhir inilah yang membatasi berbagai
metode pengajaran kaum.[4]
Selagi lagi saya
tegaskan bahwa mendengar sesungguhnya bentuk yang paling tinggi dan paling
kuat. Hanya saja kita harus melihat secara khusus, dari sudutpandang para ahli
hadis berikut pengertian dan istilah-istilah yang mereka pakai. Pada saat itulh
akakn terlihat jelas oleh kita bahwasanya orang yang menaggung hadis haruslah
mendengar ucapan dari gurunya, baik yang dikutib dari kitab yang mereka baca
atau dari hapalan-hapalannya sendiri yang didektekan atau pun yang tidak.[5]
Kebanyakan ulama
lebih mendahulukan lafaz sami’tu dari pada lafaz-lafaz yang lain. Soalnya,
hampir tidak ada seorang pun menggunakan lafaz tersebut dalam hadis yang
didapat lewat ijazah atau tulisan. Oleh sebab itu lebih tinggi dari pada yang
lain.[6]
Kemudian , biasanya para ulama mengikuti ungkapan haddatsana atau akhbarana jika
mewakili orang banyak, dan haddasana atau akhbarana jika mewakili hanya satu
orang (mufrad).[7]
Dalam hal ini,
abdullah bin Wahab kawan imam malik mengatakan: “ sesungguhnya terdapat empat
hal: kalau aku katakan haddasana, itu berarti aku sendiri ketika mendengar
hadis dari orang alim. Kalau aku katakan haddasana, itu berarti aku bersama
orang banyak (jama’ah) sewaktu mendengarnya. Kalau aku katakan akhbarani, itu
berarti aku sendiri ketika menerima kabar.[8]
Dan kalau aku katakan akhbarana, itu berarti aku bersama jama’ah saat menerima
khabar. Untuk lebih menguatkan, sekali lagi kami ulang bahwa menurut ulama
bahasa semua lafaz tersebut adalah ungkapan penyampaian hadis, dan istilah
asalnya adalah sami’tu fulan qala: sami’tu fulan. Adapun perbedaan dalam pemakaian
dikalangan para kritikus hadis itu soal kebiasaan dan adat.[9]
b. Membaca
Kita
perlu membuat definisi tentang qira’ah atau membaca. Yang dimaksudkan disini
ialah kegiatan seorang murid di depan gurunya, baik secara hafalan maupun
dengan melihat sebuah kitab.[10]
Apabila bacaannya bukan hapalan atau tidak pula membaca dari kitab melainkan
dengan mendengar orang lain membaca di depan gurunya, maka untuk orang tersebut
diisyaratkan harus hapal bacaannya.[11]
Atau dia mampu membandingkannya secara benar, jika hal itu memang suatu
keharusan terhadap para murid yang terpercaya dan cermat, atau salah seorang di
antaranya.[12] Membaca
kitab jelas lebih baik dan lebih aman dari pada menghafal. Oleh karna itulah,
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan” seharusnya upaya yang berpedoman pada sebuah
bentuk itu lebih diutamakan dari pada melalui hafalan, karna sesungguhnya
hafalan itu mengkhianati.
Pendapat
yang banyak diterima mengatakan bahwa membaca tanpa mendengar lebih dahulu
menepati derajat kedua.[13]
Akan tetapi ada sementara ulama berpendapat bahwa cara mana pun sama derajatnya
dengan mendengar. Mereka tidak mempermasalahkan murid yang mengungkapkan apa
yang pernah dibacakannya pada gurunya ketika dia menyampaikan riwayat yang
didapat dari gurunya tersebut. Misalnya, dia bilang sami’tu (“aku mendengar”),
tanpa menyebut dia pernah membacakannya di depan gurunya. [14]Ada
juga sejumlah ahli hadis yang sangat mementingkan membaca dari para pendengar.
C. Ijazah
Dalam
pembicaraan mengenai As-Sima,kami terangkan bahwa sesungguhnya bahwa orang
yang menanggung hadis itu mendengar dari ucapan gurunya. Dan dalam tentang
pembicaraan tentang Al- Qira’atjuga dijelaskan bahwa si murid
menyodorkan bacaan Hadisnya didepan gurunya. Keduanya memuat riwayat dengan
isnad yang muttasil (sambung), baik dari ucapan dan dialog maupun dari
kutipan yang benar. Sedangkan ijazah sama sekali tidak memuatnya karna hal itu
merupakan izin seorang guru terhadap muridnya untukmeriwayatkan hal-hal yang
didengar dan ditulisnya, sekalipun si murid tidak pernah mendengar dan membacanya. Oleh karna itu Imam
Ibnu Hazm menentang ijazah, karna menganggapnya suatu bid’ah yang terlarang.
Sejumlah ulama lain juga mengingkari ijazah,
berpendapat lebih keras: “ barang siapa yang berkata pada orang lain , saya
ijazahkan (perkenankan) kepadamu untuk meriwayatkan dariku apa yang tidak kamu dengar, maka sama
halnya dia mengatakan ‘ aku ijaahkan kepadamu untuk mendustakan aku’. Soalnya,
agama melarang meriwayatkan yang tidak pernah di dengar. Hal itu jeklas suatu pelanggaran . karna sda
beberapa bentuk ijazah yang kadang- kadang melampaui batas kebenaran disebabkan
lemahnya riwayat. Di antara beberapa
bentuk ijazah yang bisa diterima oleh banyak ulama ialah ijazah sebuah kitab
atau beberapa kitab tertentu yang di berikan kepada seseorang tertentu atau
beberapa orang tertentu.
D.
Memberi
Yang
dimaksud oleh kaum ulama dengan memberi disini ialah tindakan memberi sebuah
kitab atau sebuah hadis tertulis oleh seseorang supaya disampaikan dan
diriwayatkan. Terdiri dari beberapa bentuk yang tidak sama tingkat lemah dan
kuatnya bentuk yang paling tinggi dan paling kuat ialah pemberian kitab atau sebuah hadis
tertulis dari seorang guru seraya berkata: “ aku berikan ini kepadamu dan aku
ijazahkan kamu untuk meriwayatkannya ; ambillah dan riwayatkanlah ia berasal
dariku.[15]”
Bentuk ini dinamakan munawalah ma’a al-ijazah( pemberian sekaligus
perkenan). Sejumlah ulama bahkan ada yang mengagap nya bentuk yang istimewa,
sehingga mereka menempatkannya lebih tinggi dari bentuk mendengar. Soalnya , kepercayaan
kepada kitab guru yang sudah direstuinya jelas melebihi bentuk mendengar, karna
yang terakhir ini berpeluang besar disusupi unsur kekeliruan dari si
pendengarkan.
e.Menulis
misalnya
seorang guru menuliskannya sendiri atau menyuruh orang lain menuliskannya
beberapa hadis kepada orang yang ada di hadapannya untuk menimba ilmu darinya.
Atau seseorang lain yang berkirim surat kepadanya.[16]
Sejumlah ulama ada yang bersikap keras. Mereka mensyaratkan bahwa percatatan
dan penulisan harus di sertai ijazah. Tetapi ini tidak beralasan sama sekali.
Soalnya, para perawi besar juga melakukan penulisan tanpa suatu persyaratan
Imam al-Bukhori, misalnya, dalam kitab Al-Imam Wa al-Nudzur menceritakan bahwa ia pernah berkirim surat
kepada Muhammad bin Basysyar dan meriwayatkan hadisnya.
Imam Muslim dalam Shahih-nyamengatakan:
“aku mengirim surat kepada jabir bin Samrah lewat pembantuku bernama nafi’,
dalam surat itu aku memintanya mengkhabarkan kepadaku sesuatu tentang ucapan
Rasulullah SAW. Surat itu terbalas :” aku mendengar dari Rasulullah SAW bahwa
pada hari jum’at sore si Aslami dihukum rajam. Yang jelas penulisan dengn
ijazah lebih kuat. Bahkan beberapa ulama berpendapat bahwa menulis dengan
ijazah lebih tinggi bahkan dari mendengar sendiri secara langsung sekalipun.
f.Memberitahukan
yang
dinamakan dengan memberitahukan ialah tindakan seseorang yang mengkhabari muridnya bahwa kitab atau hadis ini termasuk
riwayat darinya atau dari yang didengarnya dari si pulan, tanpa memberi ijazah
untuk menyampaikannya. Mayoritas ulama memperbolehkan bentuk ini dijadikan
salah satu bentuk menanggung hadis, sepanjang kredibilitas gurunya bisa
dipercaya. Karna hal inilah yang melahirkan keyakinan bahwa apa yang dia “
berithukan” kepada muridnya memang benar dari riwayat miliknya. Dengan hanya
menyampaikan sesuatu yang sungguh-sungguh pernah didengar dari gurunya, sudah
dapat jadi isyarat bahwa sang guru merestui muridnya untuk menyampaikannya.
Ijazah dengan meriwa yatkan dijamin dapat dipahami, meskipun sang guru tidak
menyebutnya dengan tegas. Oleh sebab itulah kebanyakan ulama
hadis melarang riwayat secara memberitahukan, apabila guru tegas
melarang si murid meriwayatkan darinya dengan mengatakan : “ ini sesungguhnya
yang aku dengar, atau ini memang riwayat-riwayatku.
g. Wasiat
Bentuk
wasiat jarang terjadi. Wasiat ialah penegasan seorang guru sewaktu hendak
berpergian atau menghadapi saat-saat kematiannya; yaitu berwasiat pada
seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sebagian ulama salaf
(kuno) memperbolehkan orang yang mendapat wasiat untuk meriwayatkan kitab dari
orang yang mewasiatkanya. Menurut mereka, wasiat itu sama dengan cara
pemberitahuan dan termasuk jenis
pemberian. Dengan wasiat, sang guru seolah-olah telah memberikan sesuatu kepada
muridnya, dan memberitahukan bahwa itu termasuk riwayat-riwayatnya, Cuma
lafaz-lafaznya yang tidak jelas.
h. Penemuan
Bentuk
ini adalah sumber hadis yang tidak pernah dikethui oleh orang arab pada
umumnya. Para ulama alhi hadis menjadikannya suatu metode pengambilan ilmu dari
shahifa bukan dengan cara mendengar, ijazah maupun munawalah
(memberikan). Misalnya, seseorang menemukan sebuah hadis tertulis dari seorang
guru yang pernah ia jumpai, yang lalu ia tulis ulang dan kemudian ia sampaikan.
Atau , dia memang tidak pernah menjumpai guru tersebut, akan tetapi dia yakin
tulisan itu benar miliknya. Begitu pula halnya bila dia menemukan beberapa
hadis dalam kitab-kitab terkenal, dan juga ditulis oleh para penulis terkenal.
Ketika
menyampaikan hadis, seorang perawi tidak boleh mengatakan: “ dari pulan, atau
pulan memberitahu hadis atau khabar, atau aku mendengar darinya, atau aku
menemukan tulisan si pulan,” sedangkan ia meragukannya. Tentu saja hal itu
tidak terpuji. Jadi seharusnya ia berkata: “ pulan berkata, atau aku mendengar
bahwa si pulan berkata, atau guru menulis , atau guru menyuruh orang menulis
hadis.” Dari sini kita dapat mengetahui kesalahan yang banyak dilakukan oleh
para penulis dan sejarawan modern, karna dalam buku-bukunya mereka menulis “
aku diberi hadis oleh Ath- Thabari, atau oleh ibnu hajar, atau oleh Ai-Hafizh
al-Iraki, umpamanya.
[1] Nurudin,Manhaj An-Naqd fi ‘Uluuum Al- Hadis,bandung:Rosdakarya,2012.Hal
98
[2] Nurudin,Manhaj An-Naqd fi ‘Uluuum Al- Hadis, bandung:Rosdakarya,2012.Hal
100
[3] Ibid
[4] Al-Tadrib, 129
[5]Bandingan dengan “Ta’rif-Sima’i” dalam Al-Tadrib 129
No comments:
Post a Comment