HADITS HASAN - SANTRI ENDONESA

Tiada Kata Terlambat Untuk Belajar

Breaking

Home Top Ad

W E L C O M E

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, August 22, 2018

HADITS HASAN


a.       Sejarah munculnya hadits hasan, dan peranan al-Tirmidzi dalam mempopulerkan istilah hadits hasan.
Hasan menurut bahasa berarti “sesuatu yang disenangi dan digandrungi nafsu”. Adapun definisi hasan menurut istilah para ulama’ berbeda pendapat. Menurut sejarah, ulama’ yang mula-mula memunculkan istilah hasan menjadi hadits yang berdiri sendiri adalah Tirmidzi.[1]
Ketika berbicara mengenai sejarah pengklasifikasian kualitas hadis,  para kalangan ulama mutaqoddimin (terdahulu) istilah hadis hasan tidaklah terkenal. Dikalangan mereka, hadis hanya terbagi menjadi dua, yaitu hadis shahih dan hadis dhaif. Namun belakangan ini ulama ahli hadist mulai menyendirikan hadis hasan dan membedakannya dari hadist shahih. Akan tetapi mereka kemudian berbeda pendapat dalam memberikan batasan dan definisinya. Adanya banyak pendapat dalam defisinya adalah hal yang wajar, mengingat hadis hasan ini berada diantara shahih dan dhaif, dan istilah hasan ini belum dikenal dikalangan ulama mutaqooddimin.
At-Tirmidzi mendefiniskan hadits hasan sebagai berikut:
كل حد يث يروي لايكون فى اسناده من يتهم با لكذب ولا يكوب الحد يث شاذا ويروى من غير وجه نحوذلك
Artinya
“Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matannya tidak terdapat kejanggalan, dan hadits itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya.”[2]
Definisi hadits hasan  menurut At-Tirmidzi masih belum jelas karena mungkin hadits yang perawinya tidak tertuduh dusta dan matannya tidak terdapat kejanggalan disebut hadits sahih. Demikian pula, hadits gharib, sekalipun pada dasarny berstatus hasan, tidak dapat dimasukka dalam definisi ini sebab dalam definisi tersebut disyaratkan tidak hanya melalui satu jalan periwayatan (mempunyai banyak jalan). Akan tetapi, at-Tirmidzi tidak bermaksud menyamakan hadits hasan dengan hadits sahih karena At-Tirmidzi yang mula-mula memunculkan hadits hasan.[3]
Kitab sunnan al-tirmidzi merupakan kitab sumber untuk mengetahui hadits hasan.ia adalah yang pertama kali mepopulerkan istilah hadits hasan. Banyak istilah teknis yang digunakan oleh At-Timidzi dalam menjelaskan bahwa sebuah Hadits itu hasan. salah satu yang paling populer adalah ungkapan hasan sahih ( hadits hasan dan sahih).[4]
            Ath-Thibi mendefinisakan hadits hasan sebagai berikut:
“hadits musnat (muttsail dan marfu’) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqoh atau hadits mursal yang sanad-sanadnya tsiqah, tetapi pada keduanya ada perawi lain, dan hadits itu trhindar dari syatdz (kejanggalan) dan ilat (kecacatan).
            Baik imam At-Tirmidzi maupun imam Ath-Thibi, keduanya menyebutkan adanya sanad lain yang meriwayatlkan hadits yang sama. Jadi hadits itu pada mulanya dha’if dari segi sanadnya lalu menjadi kuat setelah ada sanad lain yang menguatkanny. Definisi ini sesuai dengan definisi hadits hasan li ghairih.[5]
b.      Perdebatan para ulama tentang definisi hadist hasan
Definisi lain menyebutkan bahwa hadist hasan sebagai hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yamg adil namun tidak terlalu kuat ingatan atau hafalannya meski tetap terhindar dari keganjilan dan penyakit.
Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebuah hadits dikatakan sebagai hadits hasan apabila sanadnya bersambung, para perawinya bersifat adil (tidak tertuduh dusta), diantara perawi terdapat rawi yang kurang dhabit serta sanad dan matannya terhindat dari keganjalan dan illat.[6]
Adapun penjelasan dari beberapa ulama:
a.       Ibnu Al-shalah
“rawi hadits hasan adalah orang yang dikenal jujur dan dapat dipercaya, tetapi tidak mencapai tingkatan para rawi hadits shahih, karena tingkat daya hafalannya dan akurasinya masih dibawah mereka”.
b.      At-turmudzi
“setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta. Hadits tersebut tidak shad ( janggal atau bertentangan dengan periwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur.[7]
c.       Al-khaththaby
“setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya masyhur perawinya kebanyakan hadits berkisar padanya, diterima oleh mayoritas ulama, dan digunkan umumnya fuqoha”

C. Definisi hadits yang disepakati oleh ahli hadits Mutaakhirin
            Uraian At Turmudzi ada tiga poin kriteria hadits hasan:
            Pertama, pada sanadnya tidak terdapat rawi yang di curigai berdusta. Kriteria ini mengecualikan hadits seorang rawi yang di tuduh berdusta, dan mencakup hadits yang sebagian rawinya memiliki daya hafal rendah, tidak dijelaska jarh maupun takdil nya, atau di perselisihkan jarh dan ta’dil nya tetapi tidak dapat di tentukan atau rawi mudallis yang meriwayatkan hadits dengan an’anah ( periwayatan dengan menggunakan banyak lafal ‘an ) karena sifat-sifat rawi yang demikian itu tidak bisa membuat-nya di tuduh dusta.
            Kedua, hadits tersebut tidak janggal. Orang yang peka dan waspada akan memgetahui bahwa yang dimaksud denga syadz( janggal) menurut at turmudzi adalah bahwa hadits tersebut berbeda dengan riwayat para rawi yang tsiqat. Jadi syaratnya hadits hasan harus selamat dari pertentangan, karna apabila dia bertentangan dengan riwayat para rawi yang tsiqat, maka ia ditolak.
            Ketiga, hadits tersebut diriwayatkan pula melalui jalan lain yang sederajat. Yakni bahwa hadits hasan itu harus diriwayatkan pula melalui sanad lain, satu atau lebih, dengan catatan sederajat dengannya atau lebih kuat, bukan berada dibawahnya agar dengannya dapat diunggulkan salah satu dari dua kemungkinan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-sakwi, tetapi tidak disyaratkan, harus diriwayatkan dalam sanad yang lain tersebut dengan redaksi yang sama, melainkan dapat diriwayatkan hanya maknanya dalam satu segi atau segi-segi lainnya.
            Jadi hadits hasan adalah hadits yang memiliki kelemahan yang tidak terlalu parah, seperti halnya rawinya dhaif tetapi tidak keluar dari jajaran rawi yang diterima kehadirannya, atau seorang rawi mudallis yang tidak menyatakan bahwa ia meriwayatkan hadits dengan cara as-shima’, atau sanadnya muqoti’. Semua itu harus memenuhi dua syarat, yaitu haditsnya tidak janggal dan diriwayatkan pula melalui sanad lain yang sederajat atau lebih kuat, dengan redksi yang sama maupun hanya dengan makna saja. [8]



[1] Mustofa Hasan, M.Ag.,ilmu hadits, Bandung,CV Pustaka Setia, 2012, hal.226
[2] ibid
[3] ibid
[4] Imam Al-Nawawi, dasar-dasar ilmu hadits, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001, hal.11
[5] Mustofa Hasan, M.Ag., ilmu hadits, Bandung,CV Pustaka Setia, 2012, hal.227
[6] Rusydie anwar, S. Thi., pengantar ulumul quran dan ulumul hadits, IRCiSoD, 2015, hal, 259
[7] Dr.nuruddin ‘itr., ulumul hadits, bandung, PT.Remaja Rosda Karya, 2012, hal, 271
[8]Dr.nuruddin ‘itr., ulumul hadits, bandung, PT.Remaja Rosda Karya, 2012, hal, 272-273

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages