BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan
merupakan babak baru untuk mengarungi kehidupan yang baru pula. maka pemilihan
pasangan merupakan hal yang terpenting yang harus kita lakukan sebelum menikah.
Karena pasangan yang kita pilih akan menentukan kehidupan kita selanjutnya. Dalam pemilihan pasangan, seseorang akan
memilih sesuai dengan kriteria masing-masing. seperti halnya seorang laki-laki
mencari calon istri yang cantik, walaupun calon istrinya tersebut bukanlah
seorang Muslimah. akan tetapi menurutnya hal tersebut bukanlah suatu masalah.
karena kriteria dia hanyalah perempuan yang cantik. lalu, bagaimana mungkin
keharmonisan akan tercapai jika agama yang dianut antara suami dan istri
berbeda, apalagi jika nilai-nilai itu bertentangan dengan nilai-nilai yang
dianut oleh istrinya? maka, dalam hal
ini Islam memberikan tuntunan kepada kita melalui Al Qur’an dan Hadits dalam
memilih calon pasangan kita masing-masing agar kelak kehidupan kita sesuai
dengan syari’at Islam dan terjalin hubungan yang harmonis diantara suami dan
istri.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian dari Nikah beda agama?
2. Bagaimanakah hukum dari menikah
beda agama?
3. Bagaimana pendapat para Ulama’
tentang nikah beda Agama?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari nikah beda agama
2.
Untuk mengetahui hukum dari menikah beda agama
BAB
II
PEMBAHASAN
1.1. Pengertian Nikah Beda Agama
Perkawinan antar agama, dapat diartikan
sebagai perkawinan dua insan yang berbeda agama, kepercayaan atau paham.[1]
Membicarakan perkawinan antar agama, penulis membatasinya hanya pada perkawinan
seorang Muslim atau Muslimah dengan Ahlul Kitab (Yahudi, Nasani dan Majusi),
perkawinan seorang Muslim atau Muslimah dengan orang Musyrik, dan perkawinan
seorang Muslim atau Muslimah dengan orang Komunis.
Adapun hadits
mengenai menikah dengan selain orang Muslim telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar
RA, yakni :
حدثنا قتيبة, حدثنا ليث عن نافع أن ابن عمر كان إدا سئل عن
نكاح النصرانية واليهودية, قال : إن الله حرم المشركات على المؤمنين , ولا أعلم من
اللإشراك شيأ أكبر من أن تقول المرأة : ربها عيسى , وهو عبد من عبادالله.
“Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah, Telah menceritakan kepada kami Laits dari Nafi’
bahwa sesunguhnya Ibnu Umar ketika beliau ditanyai mengenai menikahi kaum
Nasrani dan Yahudi beliau berkata : “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan para
perempuan Musyrik atas orang-orang Mukmin, dan aku tidak mengetahui sesuatu
dari kesyirikan yang lebih besar dari seorang perempuan yang berkata : Tuhannya
adalah Isa AS sedangkan dia adalah seorang hamba dari hamba-hamba Allah.”
Adapun makna kata (أكبر) mengisyaratkan
bahwa orang Nasrani telah berkata : Adapun Isa Al-Masih adalah anak Allah,
sedangkan orang Yahudi mereka telah berkata : ‘Uzair adalah anak Allah.[2]
Adapun
Nash Al-Qur’an mengenai nikah beda agama ini telah diterangkan di surat Al-Baqarah
ayat 221:
ولا
تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولوأعجبتكم ولا تنكحوا
المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خيرمن مشرك ولو أعجبكم أولئك يدعون النار والله
يدعوا إلى الجنة والمغفرة بإد نه ويبين ءايتهه للناس لعلهم يتد كرون
“Dan janganlah kamu nikahi
wanitawanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman.. sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke syurga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia, supaya mereka mengambil
pelajaran”
Menurut Muhammad Ali Ash-shabuni
yang dinamakan wanita musyrik adalah wanita yang menyembah berhala dan agama
yang dianutnya bukanlah agama samawi( Yahudi dan Nasrani).[3]
Adapun mengenai sebab turunnya ayat
diatas yakni yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Abdullah bin Ruwahah. Dia mempunyai seorang budak yang bernama Sauda’
dan Abdullah marah kepadanya, lalu Abdullah menamparnya. kemudian dia ketakutan
dan mendatangi Nabi SAW dan menceritakan kepada beliau mengenai kejadian tadi
dan kemudian Nabi bersabda: siapakah dia wahai Abdullah? kemudian Abdullah
berkata: ya Rasulullah sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang berpuasa,
shalat, membaguskan wudhu’ dan bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah
dan sesungguhnya engkau adalah utusan-Nya. Kemudian Rasulullah bersabda: Wahai
Abdullah, dia adalah seorang wanita mu’min. Abdullah berkata: Demi Dzat yang
telah mengutusmu dengan benar, sungguh aku akan memerdekakan dia dan akan
menikahi dia. kemudian Abdullah melakukannya. maka hal itu menjadi aib
dikalangan orang-orang Muslim dan mereka berkata: Abdullah telah menikahi
budaknya. adapun, orang-orang Muslim menyukai untuk menikah dengan wanita
Musyrik karena pangkatnya. maka turunlah ayat ini. [4]
Sebelum hukum syara’ dalam masalah ini
dijelaskan, golongan wanita non-Muslim dan sandaran syara’ masing-masing perlu
dijelaskan. Mereka terdiri dari golongan wanita Musyrik, Mulhidah, Murtad, dan
wanita ahli Kitab.
Dalam pandangan agama, seorang
Musyrik adalah seseorang yang mempercayai bahwa ada Tuhan selain Allah atau
seseorang yang melakukan aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada
Allah dan kedua kepada selain-Nya. dengan demikian, semua yang
mempersekutukan-Nya dari sudut pandang ini adalah Musyrik. Orang-orang kristen
yang percaya kepada tuhan bapak dan tuhan anak dinilai musyrik menurut
pandangan diatas. [5]
Wanita Mulhidah adalah wanita yang tidak
beriman dengan agama manapun. Dia tidak mengakui hal-hal yang menyangkut
Ketuhanan, kenabian, kitab dan adanya hari kiamat. Yang termasuk wanita
Mulhidah adalah wanita Murtad, yaitu wanita yang keluar dari agama Islam
setelah dia mengimaninya, baik dia memeluk agama lain atau dia tidak memeluk
agama manapun.[6]
Adapun
alasan utama larangan pernikahan dengan non-Muslim adalah perbedaan iman,
karena perbedaan iman akan berdampak pada kehidupan rumah tangga .
1.2. Hukum Mengenai Nikah Beda Agama
Adapun pendapat mayoritas jumhur ulama
mengenai nikah beda agama yakni:
Pertama,
seorang pria muslim tidak dibolehkan menikahi wanita non Muslim yang menganut
paganisme atau politeis. Juga, tidak boleh menikahi wanita yang dalam agamanya
tidak punya kitab suci, atau wanita yang ateis. Dalilnya Al-Qur’an : 221.
Diantara alasannya adalah tidakcocokan secara prinsip paling dasar dalam
ideologi, yang bisa berpengaruh pada psikologi dan nantinya pada rumah tangga.
Namun demikian, disini ada catatan penting yang
harus kita camkan, bahwa sesungguhnya perempuan muslimah yang komitmen dan
bersungguh-sungguh degan agamanya tentu lebih utama dibangding seorang muslimah
yang hanya mewarisi keislamannya dari kedua orangtuanya. Rasulullah saw.
Mengajarkan kepada kita tentang hal ini dalam sabdanya:
حدثنا
مسدد, حدثنا يحيى عن عبيد الله, قال : حدثني سعيد بن ابي سعيد عن أبيه عن أبي
هريره, رضي الله عنه, عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (تنكح المرأة لأربع :
لمالها, ولحسبحا, وجمالها, ولدينها, فأظفر بدات الدين تربت يداك )
“telah bercerita kepada kami Musaddad, telah bercerita kepada kami
Yahya bin Ubaidillah, Beliau berkata: telah bercerita kepadaku Sa’id bin Abu
Sa’id dari ayahnya dari Abu Hurairah ra dari Nabi SAW, Beliau bersabda: seorang
wanita dinikahi karena 4 hal: karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan
agamanya. Pilihlah dari segi agamanya, maka kamu akan beruntung.”[7]
Kedua,
pria muslim diperbolehkan menikahi wanita ahlul kitab, dalam hal ini Nasrani
dan Yahudi (QS.Al-Maidah ayat 5):
الْيَوْمَ أُحِلَّ
لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي
الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu
yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal
bagimu, dan makananmu halal (pula) baginya. (dan dihalalkan mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang wanita-wanita yang
beriman. Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al-kitab sebelum kamu,, bila engkau telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, bukan dengan maksud berzina dan bukan (pula)
menjadikan sebagai gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerimam hukum-hukum Islam), maka terhauslah amalnya di hari akhirat dan
termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al-Maidah :5)
Dan pernikahan
model ini, dipraktekkan beberapa sahabat besar semisal Khalifah Utsman bin
Affan, Saad bin Abi Waqash, juga Khuzaifah bin Al-Yaman.
Perihal apakah wanita Nasrani dan Yahudi saat ini masih dianggap ahlul
kitab? Jawabannya adalah : ya, masih. Jadi, sah menikahi mereka (soal risiko
rumah tangga setelah itu, bukan bahasan fiqih). Tiga mazhhab tak memberi syarat
apapun. Hanya kelompok ulama dalam madzhab Syafi’i yang memberikan persyaratan
agak ketat soal menikahi wanita ahlul kitab, yaitu harus dilihat nenek
moyangnya dulu, apa termasuk yang beragama Nasrani/Yahudi setelah diubah atau
tidak.
Hal Ini tentu saja
sulit, lagi pula, ajaran Nasrani atau Yhudi sudah muharrof
(diubah) jauh sejak Islam belum ada.
Maka, pendapat tiga madzhab lebih kuat. Artinya,, sah-sah sajaj jika saat ini
ada pria Muslim menikah dengan wanita Nasrani atau Yahudi.
Ketiga, wanita Muslimah secar Ijmak tidak dibolehkan
menikah dengan pria non-muslim, baik ahlul kitab atau atau yang lain. Dan dalil
ijmak ini memperkuat dalil Qur’an ayat 2:221, 60:10, dan ditegaskan juga oleh
4:141.
Dalam QS.
Al-mumtahanah, Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٖ فَٱمۡتَحِنُوهُنَّۖ
ٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّۖ فَإِنۡ عَلِمۡتُمُوهُنَّ مُؤۡمِنَٰتٖ فَلَا تَرۡجِعُوهُنَّ
إِلَى ٱلۡكُفَّارِۖ لَا هُنَّ حِلّٞ لَّهُمۡ وَلَا هُمۡ يَحِلُّونَ لَهُنَّۖ
وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُواْۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآ
ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّۚ وَلَا تُمۡسِكُواْ بِعِصَمِ ٱلۡكَوَافِرِ وَسَۡٔلُواْ مَآ أَنفَقۡتُمۡ
وَلۡيَسَۡٔلُواْ مَآ أَنفَقُواْۚ ذَٰلِكُمۡ حُكۡمُ ٱللَّهِ يَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡۖ
وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ١٠
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami)
mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka
apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang
pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang
telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Salah
satu keterangan yang dapat diambil dalam ayat ini, yaitu larangan Allah agar
perempuan Muslimah tidak dikawini oleh Ahlul Kitab (orang-orang kafir), karena
dikhawatirkan akan dipengaruhi meninggalkan agamanya. Agama Islam meninjau
terlalu besar kemungkinan terjadinya hal tersebut,
karena suamilah yang menjadi pemimpin dalm rumah tangganya. Tentu saja, ia
dapat menggunakan hak otoritasnya sebagai suami untuk mengajak
keluarga-keluarganya menganut keyakinannya.
Adapun yang keempat yakni
Agama Islam tidak membolehkan penganutnya yang perempuan dikawin oleh laki-laki
musyrik dan mulhid (atheis). Hal ini berdasarkan juga pada surah Al-Baqarah:
221 dan surat Al-Mumtahanah:10 di muka. Larangan dalam qur’an ini bermaksud
agar istri yang beragama Islam tidak dipengaruhi oleh suaminya yang kafir
meninggalkan agamanya.[8]
1.3. Pendapat Ulama’ Tentang
Nikah Beda Agama
Masalah
pernikahan beda agama, telah mendapat perhatian serius para Ulama di tanah air.
Majelis Ulama’ Indonesia(MUI) dalam musyawaroh nasional II pada 1980telah
menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama. MUI menetapkan dua keputusan
terkait pernikahan beda agama.
Pertama, para
ulama di tanah air memutuskan bahwa pernikahan perempuan muslim dengan
laki-laki non-muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki muslim diharamkan
menikahi wanita bukan muslim. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita
ahlul kitab memang terdapatperbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa
mafsadadnya lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut
hukumnya haram. Ungkap dewan pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa
itu.
Dalam
memutskan fatwanya, MUI menggunakan Al-qur’an dan Hadist sebagai dasar hukum, “Dan janganlah kamu nikahi wanita
–wanitamusyrik hingga meraka beriman(masuk islam). Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahi wanita orang- orang musyrik(dengan wanita-wanita mukmin) hingga
mereka beriman, sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari orang musyrik,
meskipun ia menarik hatimu….”( QS: al-Baqarah:221).
Sedangkan,
hadis yang dijadikan dalil adalah sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan
Tabrani: “ Barang siapa telah kawin, ia
telah memelihara bagian dari imannya,karena itu, hendaknya ia takwa (takut)
kepada allahh dalam bagian yang lain”.
Ulamak
Nahdloyun Ulama (NU) telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa
itunditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989.
Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan
agama d Indonesia hukumnya tidak sah.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Adapun
yang dinamakan dengan nikah beda agama adalah pernikahan dua orang insan yang
berbeda dalam segi keyakinan, agama dan pemahaman.
Hukum dari nikah beda agama itu diperbolehkan
apabila seorang laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl-Kitab dengan persyaratan
wanita Ahl-Kitab itu adalah seseorang yang menjaga diri dari zina sebagaimana
Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5. Dan diharamkan menikahi selain
wanita Ahl-Kitab seperti Majusi, mulhidah. Juga diharamkan laki-laki Non-Muslim
menikahi wanita Muslimah. Sedangkan menurut pendapat para Fuqaha’ dari Madzhab
Hanafi adalah haram jika wanita Ahlu-Kitab yang dinikahi berada dalam daerah
permusushan. menurut Syafi’iyah adalah makruh mutlak.
Menurut fatwa
MUI juga mengharamkan dua orang beda agama menikah. Ulama NU juga sudah
menetapkan fatwa tersebut dalam muktamar ke- 28 d Yogyakarta pada akhir
November 1989.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shabuni. 2001.
Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam
Min Al-Quran. Jakarta : Dar Al-Kitab Al-Islamiah
M.quraish
Shihab. 2002. Tafsir Al-Misbah volume 1. Jakarta : Lentera Hati
Mahjuddin. 2012. Masail Al-fiqh, cet. Ke-2. Jakarta : Radar Jaya
Offset.
Syekh
Badruddin Abu Muhammad Mahmud. 2005. ‘Umdatul Qari Juz 14. Beirut : Dar Al-Fikr
Yusuf
Qardhawi. 1995. Problematika Islam Masa Kini. Bandung : Trigenda Karya
Yusuf
Qardhawi. 2003. Halal Haram dalam
Islam, cet. Ke-3. Solo : Era Intermedia
[1]Mahjuddin, Masail Al-fiqh, cet. Ke-2,
(Jakarta: Radar Jaya Offset, 2012), hal.44
[3] Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Min Al-Quran, (Jakarta: Dar
Al-Kitab Al-Islamiah,2001),221.
[4]
Ash-Shabuni, Rawai’ul
Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Min Al-Quran, 222
[7]
Syekh
Badruddin Abu Muhammad Mahmud, ‘Umdatul Qari Juz 14,5
No comments:
Post a Comment