Pemikiran Muhammad Abed Al-jabiri - SANTRI ENDONESA

Tiada Kata Terlambat Untuk Belajar

Breaking

Home Top Ad

W E L C O M E

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, August 22, 2018

Pemikiran Muhammad Abed Al-jabiri


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Setelah terjadinya Reniaisans pada sekitar abad pertengahan di Eropa menjadikan sebuah Implikasi yang besar terhadap paradigma pemikiran umat manusia. Setelah kejadian tersebut masyarakat barat ketika itu berubah terbalik seratus delapan puluh deeajat.
Perubahan itu di tandai dengan kemenagan "akal" atas dominasi "gereja" sebagai konsekuensi dari pemisahan yang dilakukan Eropa antar agama dan politik.
             Di tambah dengan penemuan mesin uap oleh james Watt dan pendirian pabrik pabrik secara massal membuat perubahan tersebut menjadi signifikan menuju abad baru yang di sebut modernitas. Segala fenomena tersebut menjadikan Eropa mendominasi dan menguasai dunia Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Biografi Muhammad  Abed Al-jabiri
2. Karya karyaMuhammad  Abed Al-jabiri
3. Pemikiran Muhammad  Abed Al-jabiri
4. Kritik terhadap pemikiranMuhammad  Abed Al-jabiri
C. Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui biografi, karya karya serta pemikiran dan kritik terhadap pemikiran Muhammad  Abed Al-jabiri.










BAB II
PEMBAHASAN

A. Auto Biografi Muhammad Abed al Jabiri
1. Biografi Muhammad Abed al Jabiri
Dalam kancah intelektual muslim kontemporer nama al Jabiri sebutan Muhammad Abed al Jabiri- bukanlah nama yang asing. Al Jabiri lahir di figuig atau fejij (pekik) bagian tenggara Maroko tahun 1936. Masa pendidikannya ia tempuh dikotanya sendiri, mulanya ia dikirim disekolah agama, lalu kesekolah swasta nasionalis (madrasah hurrah wathoniyah) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Sejak tahun 1951-1963 ia menghabiskan waktu dua tahun disekolah lanjutan negeri (setingkat SMA) di casablanca. Setelah Maroko merdeka al Jabiri mendapat gelar diploma dari sekolah tinggi Arab dalam bidang science (ilmu pengetahuan).[1]
Kebesaran nama memang tidak lepas dari lingkungan dan dunia politik yang melingkarinya sebagaimana keluarganya sebagai aktivis partai. Salah satu pemimpin sayap kiri pecahan partai Istiqlal yakni Mahdi ben Barka, yang dalam perkembangannya partai ini kemudian memisahkan diri dan mendirikan The Union Nationale De Forces Populaires (UNFP) kemudian berganti nama menjadi Union Socilieste Des Forces Populaires (USFP), adalah orang dekat al Jabiri yang mendampingi dan membimbing al Jabiri semasa muda. Ia juga yang menyalurkan al Jabiri untuk bisa bekerja disalah satu lembaga penertiban resmi partai Istiqlal yakni Jurnal al ‘Alam yang saat itu menjadi tulang punggung dan pusat informasi bagi partai Istiqlal.
Tahun 1958 al Jabiri melanjutkan studinya dan berniat untuk memperdalam filsafat di Universitas Damaskus di Syiria. Akan tetapi ia tidak bertahan lama di Syiria, satu tahun kemudian ia pindah ke Universitas Rabat yang saat itu baru didirikan. Selama masa pendidikannya, ternyata ia terus menggeluti aktifitas politiknya, sampai kemudian pada tahun 1963 ia masuk penjara dengan tuduhan makar terhadap negara yang saat itu memang banyak disematkan pada anggota partai UNFP lainnya.
Setelah ia keluar dari penjara, tahun 1964 al Jabiri kembali ke lingkungan akademiknya dengan mulai mengajar filsafat ditingkat sarjana muda. Selain itu ia juga tergabung dalam beberapa forum. Tahun 1966 ia bersama Ahmad as Sattati dan Mustafa al Qamari bekerjasama untuk menerbitkan teks book tentang pemikiran islam dan filsafat yang diperuntukkan bagi sarjana muda di tahun akhir sebelum mereka menyelesaikan pendidikan. Selama kurang lebih satu periode beberapa aktifitas al Jabiri baik dalam ranah intelektualitas maupun beberapa forum lain telah membentuk dia menjadi intelektual yang sangat penting era itu.
Ia kemudian melanjutkan studinya untuk memperoleh gelar magister sampai tahun 1967, dengan judul tesis Falsafah al Tarikh ‘ Inda Ibn Kholdun, dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi. Dan saat itu ia mulai mengajar filsafat di Universitas V Rabat Maroko. Tahun berikutnya sampai 1970 al Jabiri menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Ph.D dengan disertai dengan pmikiran Ibn Kholdun dibawah bimbingan Najib Baladi.
Tahun 1976 ia mulai mengenalkan dua buah karyanya tentang Epistemologi (satu tentang matematika dan rasionalisme modern dan yang lain tentang metode empiris dan perkembangan pemikiran ilmiah), sekalipun sampai saat itu ia tidak bisa meninggalkan aktifitas politiknya yang telah ia geluti sejak awal. Hal itu terbukti dengan ia menjadi anggota biro politik USFP sejak tahun 1975, sekaligus sebagai salah satu pendirinya. Tapi bagaimanapun, ia akhirnya harus memilih antara didunia akademis intelektual atau terus menggeluti politik. Tahun 1980-1981 setelah melalui beberapa pertimbangan akhirnya memilih untuk mencurahkan energi dan pikirannya untuk intelektualitas dan menggeluti bidang keilmuan, sekaligus mengundurkan diri dari biro politik yang telah dijabatnya. Semenjak itu ia terus berkonsentrasi untuk dunia ilmiah beberapa tulisan dan artikelnya ia kumpulkan dan terbitkan termasuk beberapa artikel yang pernah ia presentasikan dalam beberapa forum seminar ataupun konferensi.
Kalo diruntut perjalanan intelektual al Jabiri cukup mendulang hasil setelah menerbitkan kurang lebih tujuh belas karya dan beberapa tulisa yang tersebar diberbagai terbitan, sungguh menakjubkan. Kredibilitas al Jabiri sebagai pemikir Islam garda depan sedemikian diakui dikalangan pemikir islam kontemporer, sebut saja Mohammad Arkoun dan Fetimma Mernisi yang keduanya sama-sama berasal dari Maghribi.
Secara geografis, lingkungan di Maroko sangat mendukung bagi perkembangan intelektual al Jabiri. Selain Aljazair dan Tunisia, Maroko sebagai bagian dari wilayah Maghribi merupakan negeri yang pernah menjadi wilayah protektoriat Prancis. Secara tidak langsung, tradi dan bahasa Prancis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Maroko, efeknya sarjana intelektual Maroko lebih mudah mengenal warisan pemikiran yang menggunakan bahasa Prancis. Nama-nama seperti Hichem Djait, Abd al Razaq al Daway, Abdullah Laroui, Muhammad Arkoun dan Fetimma Marnisi adalah sederet nama yang menggandrungi filsafat Prancis, mulai dari strukturalis, post strukturalis sampai post modernis.
1.      Karya-karya Muhammad Abed al Jabiri
Ada hal yang berbeda dari pemikir- pemikir Islam lainnya, Muhammad Abed al Jabiri selama kurang lebih 20 tahun membangun tradisi kritik dalam pemikiran Islam, sejak tahun 1970 an ia menghabiskan waktunya untuk menghasilkan beberapa karya yang cukup brilian. Di antara karyanya yang terkenal adalah Trilogi Naqd al ‘Aql al ‘Arobi. Buku ini yang berisi 1200 halaman lebih.
Sejak awal memang al Jabiri dikenal sebagai pemikir Islam yang produktif, itu terlihat dari beberapa karya yang lebih dulu diterbitkan semisal Fikr ibn Kholdun al Ashabiyah Wa al Doulah terbit tahun 1971, awalnya tahun ini adalah disertasinya di Universitas Muhammad al Khamis Maroko tahun 1970, secara tuntas al Jabiri mengupas pemikiran ibn Kholdun tentang kekuasaan, negara dan Primordialisme di Arab. Tahun 1973 ia kembali menulis sebuah buku tentang pendidikan dan tradisi pengajaran di kota kelahirannya, Maroko yang kemudian ia berjudul Adlwa ala Musykil al Ta’lim.[2]
Tahun 1976 ia kembali melanjutkan karyanya dengan menulis tentang epistemologi pengetahuan, dengan judul Madkhal ila Falsafah al – Ulum (pengantar Filsafat ilmu). Tahun 1980 al Jabiri juga menerbitkan karya berikutnya Nahnu Wa-l Turats: Qira’ah Muasyiroh fi Turatssina al Falsafih yang kemudian diterjemahkan menjadi kita dan tradisi : pembacaan kontemporer atas tradisi Filsafat kita. Dalam buku ini, al Jabiri menulis beberapa sebab kemunduran peradaban Islam diantaranya menyebut beberapa pemikiran filosof muslim seperti Ibnu Sina sebagai penyebabnya karna bagai al Jabiri Ibnu sina telah menelorkan konsep irasionalitas dengan astrologi dan ilmu-ilmu sihirnya yang kemudian dikonsumsi oleh bangsa Arab dan ini salah satu faktor bangsa peradaban Arab tidak maju.tahun 1989 ia menulis Isykaliyat al Fikr al Arobi (judul terjemahan beberapa problematika pemikiran Arab kontemporer) dan secara kontinue ia meneliti tradisi Arab dan selalu menulisnya dalam sebuah karya tahun berikutnya yakni 1990, ia menulis Hiwal al Masyriq wa al Magharib: talihi silsilah al rudud wa al Munaqosat (meleburkan timur dan barat dalam cakrawala kritik dan dialoq).tahun 1991 ia kembali menerbitkan sebuah karya al Turats wa al Hadash: dirosah wa Munaqosah yang kemudisn di terjemahkan menjadi tradisi dan modernitas:studi kajian dan perdebatan. Tahun 1992 buku berikutnya terbit dengan judul Wijhah Nazhr Nahwu I’adah Bina Qadlaya al Fikr al Arobi al Muashir (judul terjemahan satu sudut pandang menuju konstruksi persoalan pemikiran Arab kontemporer).
Tahun 1994 ia menulis al Mas’alah al Tsaqafiyah (terjemahan: problem kultural). Dan menulis Masalah al Hawiyah (problem identitas). Tahun 1995 buku yang lain terbit yakni al Mutsaqafun al Arab fi-l Hadlarah-al Islamiyah. Tahun 1998 al Jabiri terlibat dalam penerbitan buku karya filosof besar Islam, Ibnu Rusyd. Yang berjudul al Dharuri fi al Siyasah: Mukhtasar kitab al Siyasah li aflathun, dalam buku ini al Jabiri hanya sebagai editor dan memberikan pengantar tentang pemikiran Pelatto dan Aristoteles yang di tulis Ibnu Rusyd tersebut.
2.      Pemikiran-pemikiran Muhammad Abed al Jabiri
a.       Islam, Agama dan Negara
Langkah awal yang ditempuh al Jabiri sebenarnya ingin mengetahui bagaimana mengetahui problem yang sering sekali menjadi perdebatan dikalangan islamis dalam politik, yaitu islam sebagai dien (Agama), dan daulah (Negara). Pertama kali al Jabiri mencoba memetakan perdebatan-perdebatan dengan aliran masing-masing dalam memandang islam. Ada kalangan liberal dan sekularis yang menganggap bahwa islam adalah dien bukan daulah atau yang dipahami oleh kalangan islamis bahwaislam adalah dien dan daulah. Pada posisi ini, ia mencoba untuk tidak terjebak dalam mainstream tersebut. Justru ia ingin mempertanyakan makna dualisme dien / daulah ini ; benarkah islam dalam sejarahnya mengenal dualisme tersebut? Tataukah dualisme tersebut sebanarnya hasil konstruksi yang keliru dari cara pandang umat saat ini dalam melihat kaitan islam dan politik? bila konstruksi tersebut keliru, lalu bagaimana kita memahami doktrin “ islam dien wa al daulah tersebut?.
Disini baru kemudian al Jabiri memulai menganalisa sejarah politik islam sejak masa Rasulullah SAW, secara panjang lebar ia tuangkan dalam karyanya al Aql al Siyasi al Arabi. Namun, ada satu hal yang ingin diangkatnya dalam konteks dualisme dien / daulah, yaitu faktor penting antara kaum muhajirin dan anshar dalam Tsaqifah bani saidah setelah wafatnya Nabi untuk menentukan Khalifah. Menurut al Jabiri pertemuan tersebut merupakan kerangka rujukan utama (ithar marji ‘iy ra’ isiy) bagi kaum sunni dalam membangun sistem khalifah dan perilaku politik mayoritas kaum muslim hingga kini. Ada tiga point yang dicatat al Jabiri sebagai ‘ fondasi teoritis ‘ atau al Ashl dari pertemuan Tsaqifah itu bagi nalar politik Arab. Pertama, persoalan politik umat islam saat itu dibatasi soal figur yang akan menjadi penguasa bagi kaum muslimin dan bukan pada negara sebagai sebuah institusi dan sistem. Figur ini diangkat berdasarkan bai’ah, mengikuti aturan Qur’an dan Hadis dan memengku jabatan dalam tempo yang tidak terbatas. Serta tidak pula terikat dengan syarat-syarat yang berkaitan dengan kelembagaan, sarana dan sistem sehingga memungkinkan mengendalikan kekuasaan mutlak yang ada padanya. Soalnya kaum muslimin menyerahkan sepenuhnya kepada kewenangan melaksakan administrasi pemerintah mulai dari soal pengangkatan pejabat pembantu, mentri dan gubernur, serta tidak pula mengharuskan pengawasan adanya pengawasan kepada penguasa tersebut. Karena setelah berlangsungnya sumpah setia dan baiat tersebut, ia sepebuhnya bertanggungjawab kepada Tuhan dan bukan kepada yang membaiatnya. Kewajiban mereka hanyalah menaati khalifah selama tidak memerintahkan hal-hal yang bersifat kedurhakaan kepasa Tuhan (la tha’ ata limakhluq fi ma’shiyatil khaliq).
Kedua, teori politil sunni mengharuskan adanya khalifah atau pemimpin yang tunggal. Artinya hanya satu khalifah yang dibenarkan berkuasa disunia islam. Bisa saja ada mentri atau gubernur yang berfungsi menggantikan fungsi khalifah dalam fungsi-fungsi tertentu. Tapi, secara teoritis fiqhiyyah, khalifah harus tetap satu. Kendati dalam kenyataannya umat islam juga mengenal sejumlah khalifah dalam waktu yang sama seperti kekhalifahan umayyah diandalusia, fatimiyah di kairo dan Abbasiyah di Bagdad.
Ketiga, menurut kaum sunni khalifah ditentukan berdasarkan pemilihan atau ikhtiyar dan bukan dengan wasiat atau nash seperti yang diyakini kaum syiah. Soalnya menurut mereka selama para sahabat berselisih dalam menentukan pengganti nabi dan lalu bersepakat pada Abu Bakar selaku pemimpin mereka, maka itu berati Nabi tidak memberi pesan atau menentukan apapun soal penggantinya setelah wafat. Implikasinya untuk menentukan siapa yang berhak jadi khalifah, yang jadi pertimbangan adalah kemampuan dan kekuatan. Maka berlakulah dokrin berikut: barang siapa yang menghendaki jabatan khilafah mempunyai kekuatan yang riil serta punya masa yang menghendakinya ikhlas atau terpaksa, maka ia berhak menjdai khalifah. Mayoritas umat di Abad-abad pertama menghendaki khalifah dari suku Quraisy akan tetapi dikritik oleh kelompok lain yang tidak berasal dari Qurasy. Namun demikian seperti apa yang dikatan al Jabiri yang jadi faktor penentu pada akhirnya adalah kekuatan bukan kekuatan. Sebagaimana halnya dengan baiah yang sebenarnya bartu berlaku setelah orang yang menuntut kursi khalifah berhasil merebut kekuasaan. Singkatnya secara praktis baiah hanya merupakan ungkapan lain dari sikap pasrah atau status quo.
Dari beberapa point diatas, sebagai kesimpulan al Jabiri menyebutkan bahwa teori khilafah Sunni secara umum merupakan upaya untuk melegalisir status quo, dan bukan berorientasi transformasi yang ditujukan untuk merubahnya. Sehingga praktis tidak ada perubahan antara teori-teori kaum fuqaha tentang khilafah dan kenyataan politik umat islam.
Al hasil, kalau yang dimaksud dengan islam adalah ad dien wa al daulah maka semua peraturan-peraturan negara haruslah berasal dari islam secara murni. Persoalannya, tidak ditemukan batasan-batasan secara definitif baik dari Qur’an maupun Hadis tentang hal-hal yang berhubungan dengan hukum. Ali Abdul Raziq dalam al islam wa al ushul al ahkam, Bahs wa al Khilafah wa al hukumah fi al islam. Ia menyatakan dengan tegas, tidak ada negara islam! Karena, bagi Ali Abdul Raziq islam yang di bawa Muhammad adalah bervisi moral (etic vision).
b.      Trilogi nalar al Jabiri
Pemikiran-pemikiran al Jabiri tidak berkisar jauh dari model berfikir ilmuwan-ilmuwan Prancis. Wajar memang, perkenalan al Jabiri dengan tradisi pemikiran Prancis sudah berlangsung lama, semenjak ia kuliah di al Khamis, rabat, Maroko. Tahun-tahun terakhir dekade 1950 an pemikiran-pemikiran Marxisme sedang gencar-gencarnya berkembang didunia ARAB. Dan al Jabiri sendiri mengakui kekagumannya terhadap Marx, jangan heran beberapa literature Karl Marx telah ia lahap baik terjemah termasuk yang berbahasa Prancis. Karena, beberapa karya filosuf kaum post-strukturalis dan post modernis memang sudah banyak diterjemahkan kedalam bahasa Arab di Maroko.
Sejak tahun 1967nsetelah Arab kalah dalam perang melawan Israel, slogan ihya al turats ( menghidupkan kembali tradisi ) bergema di seantero dan belahan dunia Arab saat itu. Yang kemudian jadi problem adalah “kebangkitan Islam”.
Al Jabiri adalah seorang “pembaca teks” dan “tradisi islam” yang terkungkung oleh otoritas teks. Al Jabiri melihat nalar Arab sangat terkungkung oleh hegemoni teks yang disinyalir sebagai salah satu penyebab kemunduran dunia islam (Arab), disamping otoritas masa lalu, dan virus irasionalisme. Hegemoni dan otoritas semacam inilah yang kemudian secara tidak sadar mengintervensi terhadap nalar keberagamaan islam. Dominasi nalar ‘irfani’ sebagaimana yang al Ghazli gemborkan sangat menjadikan ‘nalar berfikir yang jumud’ apalagi episteme yang berkembang sangat tidak produktif dan cenderung konsumtif.
Al Jabiri dalam bunyah al aql Araby mengatakan “nalar Arab adalah nalar yang lebih banyak berinteraksi dengan lafad-lafad atau teks daripada dengan bertitik dan merujuk kepada sebuah asal yang dibawa oleh otoritas masa lalu dalam lafad atau maknanya.
c.       Konsep Trilogi nalar al Jabiri
Disamping seorang filosof arab, al Jabiri dikenal juga sebagai pakar Hermentisme lebih dari itu, ia adalah kelompok elit cendikiawan yang mengamati dengan seksama tradisi filsafat dalam legasi klasik, hingga dapat menyarikan pemikiran dan menyelami secara hidup legasi klasik itu dengan pemikirannya.
Apa yang melatarbelakangi al Jabiri mendasari pemikirannya pada trilogi nalar? Awalnya al Jabiri melihat dalam diskursus pemikiran Arab kontemprer, al Jabiri menghadapi sebuah fakta yang mengenaskan. Ternyata diskusus pemikiean Arab dalam masa seratus tahun yang lampau tidak mampu memberikan kontentum yang jelas dan definitif, walaupun untuk sementara terhadap proyek kebangkitan yang selama ini mereka gembar gemborkan.
Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tersebut tidak bersumberkan dari realitas dan pergerakannya, alternatif perubahannya ataupun juga orientasi perkembangannya. Mereka mendapatkan semangat kebangkitan itu dari sense of difference, yaitu jurang nan sangat dalam memisahkan realitas Arab kontemporer yang terbelakang dan kemajuan “orang lain” yakni bangsa barat modern. Oleh karenanya menurut al Jabiri, sampai saat ini, diskursus kebangkitan Arab tidak berhasil meraih kemajuan, dalam merumuskan blue point, proyek kebangkitan peradaban. Baik dalam dataran utopia yang proporsional maupun dalam dataran perencanaan ilmiah.
Oleh karenanya, tidak ada jalan lain kecuali melakukan kritik akal Arab. Bagaimanapun, untuk melangkah menuju masa depan kebangkitan, maka pemecahan problem yang ditinggalkan masa lalu menjadi niscaya adanya, dan kritik menjadi salah satu alternatif penyelesaian.
Selanjutnya kita tidak akan mendapatkan bahwa kepercayaan mereka terhadap kemampuan akal yang mutlak dalam menyingkap rahasia alam telah memfungsikan sebagai alat untuk mempersepsi sebab-sebab pengetahuan. Akal itu menemukan dirinya dalam alam natural yang dengan sendirinya merupakan akal juga, dalam arti (berisikan) kumpulan-kumpulan hukum dan kaidah. Lagi-lagi berbeda dengan akal Arab yang pada dasarnya banyak berkaitan dengan moral dan perilaku ideal, yakni apa yang dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang. Dengan demikian orientasi akal Arab adalah esensi dirinya, perbuatannya dan hukum-hukum nilainya, bukan kepada alam natural. Itulah yang membuat Abed al Jabiri menegaskan bahwa akal Arab itu dikontrol oleh pola pandang normatif-subjektif kepada alam natural, sebagai kebalikan dari pola pandang objektif.
Dengan demikian, al Jabiri telah keluar dari metode penulisan sejarah Arab yang lazim dan menawarkan metode baru lagi bagi sejarahwan Arab. Akan tetapi, tentunya, terobosan epistemologi ini perlu mendapatkan landasan ontologis. Menurut al Jabiri, akal Arab dari segi kontentumnya sepadan dengan fase budaya Arab. Sebab sebuah kebudayaan merupakan hasil kerja akal bawah sadar yang satu tempat ketempat lain, akan tetapi ia tidak mampu berpindah dari suatu masa ke masa lain. Inilah yang dimaksud dengan ukuran budaya atau akal yang tidak tunduk kepada perubahan sosio-politik-ideologis.[3]
Dalam triloginya, al Jabiri mengaku tidak bisa dilepaskan dari dikotomi klasik filsafat Islam antara Timur. Hal ini bisa dipahami, karena dikotomi ini memang dipaksakan oleh realitas yang ada. Al Jabiri memulai kajian ini dari era kodifikasi (pertengahan abad II H), di awal ia memaparkan terlebih dahulu pergolakan pemikiran yang berlangsung di Timur dan membuatnya mengesampingkan terlebih dahulu (pemaparan) bagian Barat. Bukankah sejarah islam dimulai dari Timur? Akan tetap bagi al Jabiri, ini adalah kelemahan bahasa yang tidak mampu menyampaikan semua pikiran sekaligus.
 Disini al Jabiri mengkaji pertumbuhan akal orisinal Arab yang disebutnya akal retoris (al aql al bayani). Akal ini yang direpresentasikan oleh ilmu bahasa Arab, ushul fiqh dan ilmu kalam adalah produk kejeniusan orang Arab yang sayangnya tidak bisa berkembang lagi, karena sudah mencapai titik klimaks kematangannya pada masa kelahirannya, era kodifikasi. Baru setelah itu, al Jabiri melangkah kepada masuknya dua akal yang lain dalam dunia pemikiran Arab yaitu akal gnostis (al irfani) dan akal demonstratife (al burhani). Al Jabiri sendiri lebih suka menyebut yang pertama sebagai al Aql al Mustaqil (akal yang menikam). Karena akal ini justru dipergunakan untuk memberikan pembuktian rasional terhadap impotensitas akal.
Epistemologi Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang meneknkan otoritas teks Arab (nash), secara langsung ataupun tidak langsung, dan dijustifikasikan oleh akal kenahasaan yang digali lewat inferensi (istidla). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan dan mengaplikasikannya langsung tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan yang mentah, sehingga memerlukan tafsir dan penalaran lebih mendalam. Epistemologi Irfani adalah metode kelanjutan dari Bayani, akan tetapi kedua pengetahuan ini berbeda satu sama lain. Bayani mendasari pengetahuannya kepada teks, sedangkan Irfani mendasari pengetahuannya kepada kas/f, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia oleh / karena Tuhan. Oleh karena itu, Irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis terhadap teks, akan tetapi dari hati nurani yang suci, sehingga Tuhan menyingkapkan sebuah pengetahuan. Epistemologi Burhani adalah metode yang lebih mendasari dirinya pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang dan sesuai dengan logika rasional, yang kemudian menghasilkan pengetahuan melalui prinsio-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
d.      Komentar Terhadap Pemikiran Al Jabiri
Ada beberapa filsuf yang juga mengkritisi pemikiran al-Jabiri, di antaranya adalah, Hasan Hanafi yang mengkritisi al- Jabiri dari sikapnya yang terus-menerus mempertahankan dan membela identitasnya sebagai seorang Arab. Sehingga Arabisme yang melekat pada diri al-Jabiri pada akhirnya dapat menjebakkannya pada tataran ideologis. Padahal al-Jabiri selalu menekankan agar tidak bersikap dan berfikir ideologis dalam pemaparan pemikirannya. Sedangkan bagi Nuruddun al-Ghadir berpandangan bahwa metode yang sedang dikembangkan oleh al-Jabiri sebenarnya sangat berbahaya bagi tradisi Arab-Islam itu sendiri. Selain itu, George Tharabisyi, juga ikut mengkritisi pemikiran al-Jabiri dengan sangat teliti, bahkan secara khusus ia tuangkan dalam buku yang berjudul nadzariyyah al-‘Aql: Naqd Naqd al-‘Aql al-‘Arabi yaitu tentang “kritik terhadap kritik nalar Arab”. Di dalam tulisannya tersebut, ia mengkritik pedas dan rinci atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan al-Jabiri. Salah satunya perihal konsep al-‘aql al-mukawwan (Raison Constituee) dan al-‘aql al-mukawwin (Raison Constituante) yang menurutnya tidak sesuai dengan teori Lalande saat al-Jabiri mengaplikasikannya dalam menganalisa struktur bangunan pengetahuan yang dikajinya. Selain itu pembelaannya terhadap episteme burhani (nalar), terlihat jelas di dalam setiap kritiknya terhadap nalar Arab, baik secara implisit atau pun implisit dalam pemaparannya al-Jabiri mengesampingkan episteme ‘irfani. Di dalam statmentnya ia mengatakan bahwa, pembaruan pemikiran Arab atau modernisasi nalar Arab akan tetap dianggap sebagai dead letter (surat yang tidak sampai ke alamatnya), jika tidak berupaya untuk membongkar struktur pemikiran yang diwarisi dari “masa kemunduran”. Sehingga objek pertama yang nantinya akan didekonstruksikan dengan menggunakan perangkat “kritik” yang keras dan mendalam adalah struktur nalar itu sendiri yang sudah membeku serta praktek analogi yang mekanistis. Ia juga mengungkapkan bahwa “pembaca” Arab kontemporer sangat dibatasi oleh tradisinya dan diliputi oleh masa kininya. Sehingga, ketika pembaca Arab menelaah teks tradisi secara tekun, yang muncul kemudian adalah rasa kegairahan tapi minus eksplorasi dan penalaran.

           


PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al Jabiri lahir di Figuig atau Fejij (Pekik) bagian tenggara Maroko tahun 1936. Masa pendidikannya ia tempuh di kotanya sendiri. Sejak tahun 1951-1963 ia menghabiskan waktu dua tahun di sekolah lanjutan negeri (setingkat SMA) di Casablanca. Setelah Maroko merdeka al Jabiri mendapat gelar Diploma dari sekolah tinggi Arab dalam bidang science (ilmu pengetahuan). Tahun 1958 al Jabiri memperdalam filsafat di Universitas Damaskus di Syiria. Tidak bertahan lama di Syiria, satu tahun kemudian ia pindah ke Universitas Rabat. Tahun 1963 ia masuk penjara dengan tuduhan makar terhadap negara yang disematkan pada anggota partai UNFP lainnya. Tahun 1964 al Jabiri mengajar filsafat di tingkat sarjana muda. Tahun 1966 ia bersama Ahmad as Sattati dan Mustafa al Qamari bekerjasama untuk menerbitkan teks book tentang pemikiran islam dan filsafat bagi sarjana muda. Ia kemudian memperoleh gelar magister tahun 1967, tahun 1970 al Jabiri menyelesaikan studi memperoleh gselar Ph.D. Perjalanan intelektual al Jabiri cukup mendulang hasil setelah menerbitkan kurang lebih tujuh belas karya dan beberapa tulisan yang tersebar di berbagai terbitan. Kredibilitas al Jabiri sebagai pemikir Islam garda depan sedemikian diakui di kalangan pemikir islam kontemporer. Secara geografis, lingkungan di Maroko sangat mendukung bagi perkembangan intelektual al Jabiri. Selain Aljazair dan Tunisia, Maroko sebagai bagian dari wilayah Maghribi merupakan negeri yang pernah menjadi wilayah protektoriat Prancis. Secara tidak langsung, tradisi dan bahasa Prancis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Maroko, efeknya sarjana intelektual Maroko lebih mudah mengenal warisan pemikiran yang menggunakan bahasa Prancis.
Pemikiran al Jabiri mengandung tiga hal ; Pertama mengenai Islam, agama dan kekuasaan. Al Jabiri mencoba memetakan perdebatan-perdebatan dengan aliran masing-masing dalam memandang islam. Ada kalangan liberal dan sekularis yang menganggap bahwa islam adalah dien bukan daulah atau yang dipahami oleh kalangan islamis bahwa islam adalah dien dan daulah. Kedua mengenai trilogi nalar. Al Jabiri melihat nalar Arab sangat terkungkung oleh hegemoni teks yang disinyalir sebagai salah satu penyebab kemunduran dunia islam (Arab), di samping otoritas masa lalu, dan virus irasionalisme. Ketiga mengenai konsep trilogi nalar, al Jabiri melihat dalam diskursus pemikiran Arab kontemporer. Ternyata diskursus pemikiran Arab dalam masa seratus tahun yang lampau tidak mampu memberikan kontentum yang jelas dan definitif, walaupun untuk sementara terhadap proyek kebangkitan yang selama ini mereka gembar gemborkan.




















Daftar Pustaka
Muhammad Abed al Jabiri, 2003. Kritik kontemporer Atas filsafat Arab-Islam. Terj Moch Nur Ikhwan. Yogyakarta: islamika.
Muhammad Abed al Jabiri,1990. Taqwin al aql al Araby terj. Formasi Nalar Arab. Libanon.  






[1] Muhammad Abed al Jabiri, Kritik kontemporer Atas filsafat Arab-Islam. Terj Moch Nur Ikhwan. Yogyakarta: islamika 2003, cet 1, hlm xviii
[2]Ibid hlm xxii
[3]Muhammad Abed al Jabiri, Taqwin al aql al Araby terj. Formasi Nalar Arab. Libanon. 1990  hlm 61

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages