BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah terjadinya
Reniaisans pada sekitar abad pertengahan di Eropa menjadikan sebuah Implikasi
yang besar terhadap paradigma pemikiran umat manusia. Setelah kejadian tersebut
masyarakat barat ketika itu berubah terbalik seratus delapan puluh deeajat.
Perubahan itu di tandai dengan
kemenagan "akal" atas dominasi "gereja" sebagai konsekuensi
dari pemisahan yang dilakukan Eropa antar agama dan politik.
Di tambah dengan penemuan mesin uap oleh james
Watt dan pendirian pabrik pabrik secara massal membuat perubahan tersebut
menjadi signifikan menuju abad baru yang di sebut modernitas. Segala fenomena
tersebut menjadikan Eropa mendominasi dan menguasai dunia Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Biografi Muhammad Abed Al-jabiri
2.
Karya karyaMuhammad Abed Al-jabiri
3.
Pemikiran Muhammad Abed Al-jabiri
4.
Kritik terhadap pemikiranMuhammad Abed
Al-jabiri
C. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui biografi, karya karya serta pemikiran dan kritik terhadap pemikiran
Muhammad Abed Al-jabiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Auto Biografi Muhammad Abed al Jabiri
1.
Biografi Muhammad Abed al Jabiri
Dalam kancah
intelektual muslim kontemporer nama al Jabiri sebutan Muhammad Abed al Jabiri-
bukanlah nama yang asing. Al Jabiri lahir di figuig atau fejij (pekik) bagian
tenggara Maroko tahun 1936. Masa pendidikannya ia tempuh dikotanya sendiri,
mulanya ia dikirim disekolah agama, lalu kesekolah swasta nasionalis (madrasah
hurrah wathoniyah) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Sejak tahun
1951-1963 ia menghabiskan waktu dua tahun disekolah lanjutan negeri (setingkat
SMA) di casablanca. Setelah Maroko merdeka al Jabiri mendapat gelar diploma
dari sekolah tinggi Arab dalam bidang science (ilmu pengetahuan).[1]
Kebesaran nama
memang tidak lepas dari lingkungan dan dunia politik yang melingkarinya
sebagaimana keluarganya sebagai aktivis partai. Salah satu pemimpin sayap kiri
pecahan partai Istiqlal yakni Mahdi ben Barka, yang dalam
perkembangannya partai ini kemudian memisahkan diri dan mendirikan The Union
Nationale De Forces Populaires (UNFP) kemudian berganti nama menjadi Union
Socilieste Des Forces Populaires (USFP), adalah orang dekat al Jabiri yang
mendampingi dan membimbing al Jabiri semasa muda. Ia juga yang menyalurkan al
Jabiri untuk bisa bekerja disalah satu lembaga penertiban resmi partai Istiqlal
yakni Jurnal al ‘Alam yang saat itu menjadi tulang punggung dan pusat informasi
bagi partai Istiqlal.
Tahun 1958 al
Jabiri melanjutkan studinya dan berniat untuk memperdalam filsafat di
Universitas Damaskus di Syiria. Akan tetapi ia tidak bertahan lama di Syiria,
satu tahun kemudian ia pindah ke Universitas Rabat yang saat itu baru
didirikan. Selama masa pendidikannya, ternyata ia terus menggeluti aktifitas politiknya,
sampai kemudian pada tahun 1963 ia masuk penjara dengan tuduhan makar terhadap
negara yang saat itu memang banyak disematkan pada anggota partai UNFP lainnya.
Setelah ia
keluar dari penjara, tahun 1964 al Jabiri kembali ke lingkungan akademiknya dengan
mulai mengajar filsafat ditingkat sarjana muda. Selain itu ia juga tergabung
dalam beberapa forum. Tahun 1966 ia bersama Ahmad as Sattati dan Mustafa al
Qamari bekerjasama untuk menerbitkan teks book tentang pemikiran islam dan
filsafat yang diperuntukkan bagi sarjana muda di tahun akhir sebelum mereka
menyelesaikan pendidikan. Selama kurang lebih satu periode beberapa aktifitas
al Jabiri baik dalam ranah intelektualitas maupun beberapa forum lain telah
membentuk dia menjadi intelektual yang sangat penting era itu.
Ia kemudian
melanjutkan studinya untuk memperoleh gelar magister sampai tahun 1967, dengan
judul tesis Falsafah al Tarikh ‘ Inda Ibn Kholdun, dibawah bimbingan M. Aziz
Lahbabi. Dan saat itu ia mulai mengajar filsafat di Universitas V Rabat Maroko.
Tahun berikutnya sampai 1970 al Jabiri menyelesaikan studi untuk memperoleh
gelar Ph.D dengan disertai dengan pmikiran Ibn Kholdun dibawah bimbingan Najib
Baladi.
Tahun 1976 ia
mulai mengenalkan dua buah karyanya tentang Epistemologi (satu tentang matematika
dan rasionalisme modern dan yang lain tentang metode empiris dan perkembangan
pemikiran ilmiah), sekalipun sampai saat itu ia tidak bisa meninggalkan
aktifitas politiknya yang telah ia geluti sejak awal. Hal itu terbukti dengan
ia menjadi anggota biro politik USFP sejak tahun 1975, sekaligus sebagai salah
satu pendirinya. Tapi bagaimanapun, ia akhirnya harus memilih antara didunia
akademis intelektual atau terus menggeluti politik. Tahun 1980-1981 setelah
melalui beberapa pertimbangan akhirnya memilih untuk mencurahkan energi dan
pikirannya untuk intelektualitas dan menggeluti bidang keilmuan, sekaligus
mengundurkan diri dari biro politik yang telah dijabatnya. Semenjak itu ia
terus berkonsentrasi untuk dunia ilmiah beberapa tulisan dan artikelnya ia
kumpulkan dan terbitkan termasuk beberapa artikel yang pernah ia presentasikan
dalam beberapa forum seminar ataupun konferensi.
Kalo diruntut
perjalanan intelektual al Jabiri cukup mendulang hasil setelah menerbitkan
kurang lebih tujuh belas karya dan beberapa tulisa yang tersebar diberbagai
terbitan, sungguh menakjubkan. Kredibilitas al Jabiri sebagai pemikir Islam
garda depan sedemikian diakui dikalangan pemikir islam kontemporer, sebut saja
Mohammad Arkoun dan Fetimma Mernisi yang keduanya sama-sama berasal dari
Maghribi.
Secara
geografis, lingkungan di Maroko sangat mendukung bagi perkembangan intelektual
al Jabiri. Selain Aljazair dan Tunisia, Maroko sebagai bagian dari wilayah
Maghribi merupakan negeri yang pernah menjadi wilayah protektoriat Prancis.
Secara tidak langsung, tradi dan bahasa Prancis menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat Maroko, efeknya sarjana intelektual Maroko lebih
mudah mengenal warisan pemikiran yang menggunakan bahasa Prancis. Nama-nama
seperti Hichem Djait, Abd al Razaq al Daway, Abdullah Laroui, Muhammad Arkoun
dan Fetimma Marnisi adalah sederet nama yang menggandrungi filsafat Prancis,
mulai dari strukturalis, post strukturalis sampai post modernis.
1.
Karya-karya
Muhammad Abed al Jabiri
Ada hal yang
berbeda dari pemikir- pemikir Islam lainnya, Muhammad Abed al Jabiri selama
kurang lebih 20 tahun membangun tradisi kritik dalam pemikiran Islam, sejak
tahun 1970 an ia menghabiskan waktunya untuk menghasilkan beberapa karya yang
cukup brilian. Di antara karyanya yang terkenal adalah Trilogi Naqd al ‘Aql al
‘Arobi. Buku ini yang berisi 1200 halaman lebih.
Sejak awal
memang al Jabiri dikenal sebagai pemikir Islam yang produktif, itu terlihat
dari beberapa karya yang lebih dulu diterbitkan semisal Fikr ibn Kholdun al Ashabiyah
Wa al Doulah terbit tahun 1971, awalnya tahun ini adalah disertasinya di
Universitas Muhammad al Khamis Maroko tahun 1970, secara tuntas al Jabiri
mengupas pemikiran ibn Kholdun tentang kekuasaan, negara dan Primordialisme di
Arab. Tahun 1973 ia kembali menulis sebuah buku tentang pendidikan dan tradisi
pengajaran di kota kelahirannya, Maroko yang kemudian ia berjudul Adlwa ala
Musykil al Ta’lim.[2]
Tahun 1976 ia
kembali melanjutkan karyanya dengan menulis tentang epistemologi pengetahuan,
dengan judul Madkhal ila Falsafah al – Ulum (pengantar Filsafat ilmu). Tahun
1980 al Jabiri juga menerbitkan karya berikutnya Nahnu Wa-l Turats: Qira’ah
Muasyiroh fi Turatssina al Falsafih yang kemudian diterjemahkan menjadi kita
dan tradisi : pembacaan kontemporer atas tradisi Filsafat kita. Dalam buku ini,
al Jabiri menulis beberapa sebab kemunduran peradaban Islam diantaranya
menyebut beberapa pemikiran filosof muslim seperti Ibnu Sina sebagai
penyebabnya karna bagai al Jabiri Ibnu sina telah menelorkan konsep irasionalitas
dengan astrologi dan ilmu-ilmu sihirnya yang kemudian dikonsumsi oleh bangsa
Arab dan ini salah satu faktor bangsa peradaban Arab tidak maju.tahun 1989 ia
menulis Isykaliyat al Fikr al Arobi (judul terjemahan beberapa problematika
pemikiran Arab kontemporer) dan secara kontinue ia meneliti tradisi Arab dan
selalu menulisnya dalam sebuah karya tahun berikutnya yakni 1990, ia menulis
Hiwal al Masyriq wa al Magharib: talihi silsilah al rudud wa al Munaqosat
(meleburkan timur dan barat dalam cakrawala kritik dan dialoq).tahun 1991 ia
kembali menerbitkan sebuah karya al Turats wa al Hadash: dirosah wa Munaqosah
yang kemudisn di terjemahkan menjadi tradisi dan modernitas:studi kajian dan
perdebatan. Tahun 1992 buku berikutnya terbit dengan judul Wijhah Nazhr Nahwu
I’adah Bina Qadlaya al Fikr al Arobi al Muashir (judul terjemahan satu sudut
pandang menuju konstruksi persoalan pemikiran Arab kontemporer).
Tahun 1994 ia
menulis al Mas’alah al Tsaqafiyah (terjemahan: problem kultural). Dan menulis
Masalah al Hawiyah (problem identitas). Tahun 1995 buku yang lain terbit yakni
al Mutsaqafun al Arab fi-l Hadlarah-al Islamiyah. Tahun 1998 al Jabiri terlibat
dalam penerbitan buku karya filosof besar Islam, Ibnu Rusyd. Yang berjudul al
Dharuri fi al Siyasah: Mukhtasar kitab al Siyasah li aflathun, dalam buku ini
al Jabiri hanya sebagai editor dan memberikan pengantar tentang pemikiran
Pelatto dan Aristoteles yang di tulis Ibnu Rusyd tersebut.
2.
Pemikiran-pemikiran
Muhammad Abed al Jabiri
a.
Islam,
Agama dan Negara
Langkah awal
yang ditempuh al Jabiri sebenarnya ingin mengetahui bagaimana mengetahui
problem yang sering sekali menjadi perdebatan dikalangan islamis dalam politik,
yaitu islam sebagai dien (Agama), dan daulah (Negara). Pertama kali al Jabiri
mencoba memetakan perdebatan-perdebatan dengan aliran masing-masing dalam
memandang islam. Ada kalangan liberal dan sekularis yang menganggap bahwa islam
adalah dien bukan daulah atau yang dipahami oleh kalangan islamis bahwaislam
adalah dien dan daulah. Pada posisi ini, ia mencoba untuk tidak terjebak dalam
mainstream tersebut. Justru ia ingin mempertanyakan makna dualisme dien /
daulah ini ; benarkah islam dalam sejarahnya mengenal dualisme tersebut?
Tataukah dualisme tersebut sebanarnya hasil konstruksi yang keliru dari cara
pandang umat saat ini dalam melihat kaitan islam dan politik? bila konstruksi
tersebut keliru, lalu bagaimana kita memahami doktrin “ islam dien wa al daulah
tersebut?.
Disini baru
kemudian al Jabiri memulai menganalisa sejarah politik islam sejak masa
Rasulullah SAW, secara panjang lebar ia tuangkan dalam karyanya al Aql al
Siyasi al Arabi. Namun, ada satu hal yang ingin diangkatnya dalam konteks
dualisme dien / daulah, yaitu faktor penting antara kaum muhajirin dan anshar
dalam Tsaqifah bani saidah setelah wafatnya Nabi untuk menentukan Khalifah.
Menurut al Jabiri pertemuan tersebut merupakan kerangka rujukan utama (ithar
marji ‘iy ra’ isiy) bagi kaum sunni dalam membangun sistem khalifah dan
perilaku politik mayoritas kaum muslim hingga kini. Ada tiga point yang dicatat
al Jabiri sebagai ‘ fondasi teoritis ‘ atau al Ashl dari pertemuan Tsaqifah itu
bagi nalar politik Arab. Pertama, persoalan politik umat islam saat itu
dibatasi soal figur yang akan menjadi penguasa bagi kaum muslimin dan bukan pada
negara sebagai sebuah institusi dan sistem. Figur ini diangkat berdasarkan
bai’ah, mengikuti aturan Qur’an dan Hadis dan memengku jabatan dalam tempo yang
tidak terbatas. Serta tidak pula terikat dengan syarat-syarat yang berkaitan
dengan kelembagaan, sarana dan sistem sehingga memungkinkan mengendalikan
kekuasaan mutlak yang ada padanya. Soalnya kaum muslimin menyerahkan sepenuhnya
kepada kewenangan melaksakan administrasi pemerintah mulai dari soal
pengangkatan pejabat pembantu, mentri dan gubernur, serta tidak pula
mengharuskan pengawasan adanya pengawasan kepada penguasa tersebut. Karena
setelah berlangsungnya sumpah setia dan baiat tersebut, ia sepebuhnya
bertanggungjawab kepada Tuhan dan bukan kepada yang membaiatnya. Kewajiban
mereka hanyalah menaati khalifah selama tidak memerintahkan hal-hal yang
bersifat kedurhakaan kepasa Tuhan (la tha’ ata limakhluq fi ma’shiyatil
khaliq).
Kedua, teori
politil sunni mengharuskan adanya khalifah atau pemimpin yang tunggal. Artinya
hanya satu khalifah yang dibenarkan berkuasa disunia islam. Bisa saja ada
mentri atau gubernur yang berfungsi menggantikan fungsi khalifah dalam
fungsi-fungsi tertentu. Tapi, secara teoritis fiqhiyyah, khalifah harus tetap
satu. Kendati dalam kenyataannya umat islam juga mengenal sejumlah khalifah
dalam waktu yang sama seperti kekhalifahan umayyah diandalusia, fatimiyah di
kairo dan Abbasiyah di Bagdad.
Ketiga, menurut
kaum sunni khalifah ditentukan berdasarkan pemilihan atau ikhtiyar dan bukan
dengan wasiat atau nash seperti yang diyakini kaum syiah. Soalnya menurut
mereka selama para sahabat berselisih dalam menentukan pengganti nabi dan lalu
bersepakat pada Abu Bakar selaku pemimpin mereka, maka itu berati Nabi tidak
memberi pesan atau menentukan apapun soal penggantinya setelah wafat.
Implikasinya untuk menentukan siapa yang berhak jadi khalifah, yang jadi
pertimbangan adalah kemampuan dan kekuatan. Maka berlakulah dokrin berikut:
barang siapa yang menghendaki jabatan khilafah mempunyai kekuatan yang riil
serta punya masa yang menghendakinya ikhlas atau terpaksa, maka ia berhak
menjdai khalifah. Mayoritas umat di Abad-abad pertama menghendaki khalifah dari
suku Quraisy akan tetapi dikritik oleh kelompok lain yang tidak berasal dari
Qurasy. Namun demikian seperti apa yang dikatan al Jabiri yang jadi faktor
penentu pada akhirnya adalah kekuatan bukan kekuatan. Sebagaimana halnya dengan
baiah yang sebenarnya bartu berlaku setelah orang yang menuntut kursi khalifah
berhasil merebut kekuasaan. Singkatnya secara praktis baiah hanya merupakan ungkapan
lain dari sikap pasrah atau status quo.
Dari beberapa
point diatas, sebagai kesimpulan al Jabiri menyebutkan bahwa teori khilafah
Sunni secara umum merupakan upaya untuk melegalisir status quo, dan bukan
berorientasi transformasi yang ditujukan untuk merubahnya. Sehingga praktis
tidak ada perubahan antara teori-teori kaum fuqaha tentang khilafah dan
kenyataan politik umat islam.
Al hasil, kalau
yang dimaksud dengan islam adalah ad dien wa al daulah maka semua
peraturan-peraturan negara haruslah berasal dari islam secara murni.
Persoalannya, tidak ditemukan batasan-batasan secara definitif baik dari Qur’an
maupun Hadis tentang hal-hal yang berhubungan dengan hukum. Ali Abdul Raziq
dalam al islam wa al ushul al ahkam, Bahs wa al Khilafah wa al hukumah fi al
islam. Ia menyatakan dengan tegas, tidak ada negara islam! Karena, bagi Ali
Abdul Raziq islam yang di bawa Muhammad adalah bervisi moral (etic vision).
b.
Trilogi
nalar al Jabiri
Pemikiran-pemikiran
al Jabiri tidak berkisar jauh dari model berfikir ilmuwan-ilmuwan Prancis.
Wajar memang, perkenalan al Jabiri dengan tradisi pemikiran Prancis sudah
berlangsung lama, semenjak ia kuliah di al Khamis, rabat, Maroko. Tahun-tahun
terakhir dekade 1950 an pemikiran-pemikiran Marxisme sedang gencar-gencarnya
berkembang didunia ARAB. Dan al Jabiri sendiri mengakui kekagumannya terhadap
Marx, jangan heran beberapa literature Karl Marx telah ia lahap baik terjemah
termasuk yang berbahasa Prancis. Karena, beberapa karya filosuf kaum
post-strukturalis dan post modernis memang sudah banyak diterjemahkan kedalam
bahasa Arab di Maroko.
Sejak tahun
1967nsetelah Arab kalah dalam perang melawan Israel, slogan ihya al turats (
menghidupkan kembali tradisi ) bergema di seantero dan belahan dunia Arab saat
itu. Yang kemudian jadi problem adalah “kebangkitan Islam”.
Al Jabiri
adalah seorang “pembaca teks” dan “tradisi islam” yang terkungkung oleh
otoritas teks. Al Jabiri melihat nalar Arab sangat terkungkung oleh hegemoni
teks yang disinyalir sebagai salah satu penyebab kemunduran dunia islam (Arab),
disamping otoritas masa lalu, dan virus irasionalisme. Hegemoni dan otoritas
semacam inilah yang kemudian secara tidak sadar mengintervensi terhadap nalar
keberagamaan islam. Dominasi nalar ‘irfani’ sebagaimana yang al Ghazli gemborkan
sangat menjadikan ‘nalar berfikir yang jumud’ apalagi episteme yang berkembang
sangat tidak produktif dan cenderung konsumtif.
Al Jabiri dalam
bunyah al aql Araby mengatakan “nalar Arab adalah nalar yang lebih banyak
berinteraksi dengan lafad-lafad atau teks daripada dengan bertitik dan merujuk
kepada sebuah asal yang dibawa oleh otoritas masa lalu dalam lafad atau
maknanya.
c.
Konsep
Trilogi nalar al Jabiri
Disamping
seorang filosof arab, al Jabiri dikenal juga sebagai pakar Hermentisme lebih
dari itu, ia adalah kelompok elit cendikiawan yang mengamati dengan seksama
tradisi filsafat dalam legasi klasik, hingga dapat menyarikan pemikiran dan
menyelami secara hidup legasi klasik itu dengan pemikirannya.
Apa yang
melatarbelakangi al Jabiri mendasari pemikirannya pada trilogi nalar? Awalnya
al Jabiri melihat dalam diskursus pemikiran Arab kontemprer, al Jabiri
menghadapi sebuah fakta yang mengenaskan. Ternyata diskusus pemikiean Arab
dalam masa seratus tahun yang lampau tidak mampu memberikan kontentum yang jelas
dan definitif, walaupun untuk sementara terhadap proyek kebangkitan yang selama
ini mereka gembar gemborkan.
Kesadaran
mereka terhadap urgensi kebangkitan tersebut tidak bersumberkan dari realitas
dan pergerakannya, alternatif perubahannya ataupun juga orientasi
perkembangannya. Mereka mendapatkan semangat kebangkitan itu dari sense of
difference, yaitu jurang nan sangat dalam memisahkan realitas Arab
kontemporer yang terbelakang dan kemajuan “orang lain” yakni bangsa barat
modern. Oleh karenanya menurut al Jabiri, sampai saat ini, diskursus
kebangkitan Arab tidak berhasil meraih kemajuan, dalam merumuskan blue point,
proyek kebangkitan peradaban. Baik dalam dataran utopia yang proporsional
maupun dalam dataran perencanaan ilmiah.
Oleh karenanya,
tidak ada jalan lain kecuali melakukan kritik akal Arab. Bagaimanapun, untuk
melangkah menuju masa depan kebangkitan, maka pemecahan problem yang
ditinggalkan masa lalu menjadi niscaya adanya, dan kritik menjadi salah satu
alternatif penyelesaian.
Selanjutnya
kita tidak akan mendapatkan bahwa kepercayaan mereka terhadap kemampuan akal
yang mutlak dalam menyingkap rahasia alam telah memfungsikan sebagai alat untuk
mempersepsi sebab-sebab pengetahuan. Akal itu menemukan dirinya dalam alam
natural yang dengan sendirinya merupakan akal juga, dalam arti (berisikan)
kumpulan-kumpulan hukum dan kaidah. Lagi-lagi berbeda dengan akal Arab yang
pada dasarnya banyak berkaitan dengan moral dan perilaku ideal, yakni apa yang
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang. Dengan demikian
orientasi akal Arab adalah esensi dirinya, perbuatannya dan hukum-hukum
nilainya, bukan kepada alam natural. Itulah yang membuat Abed al Jabiri
menegaskan bahwa akal Arab itu dikontrol oleh pola pandang normatif-subjektif
kepada alam natural, sebagai kebalikan dari pola pandang objektif.
Dengan
demikian, al Jabiri telah keluar dari metode penulisan sejarah Arab yang lazim
dan menawarkan metode baru lagi bagi sejarahwan Arab. Akan tetapi, tentunya,
terobosan epistemologi ini perlu mendapatkan landasan ontologis. Menurut al
Jabiri, akal Arab dari segi kontentumnya sepadan dengan fase budaya Arab. Sebab
sebuah kebudayaan merupakan hasil kerja akal bawah sadar yang satu tempat
ketempat lain, akan tetapi ia tidak mampu berpindah dari suatu masa ke masa
lain. Inilah yang dimaksud dengan ukuran budaya atau akal yang tidak tunduk
kepada perubahan sosio-politik-ideologis.[3]
Dalam
triloginya, al Jabiri mengaku tidak bisa dilepaskan dari dikotomi klasik
filsafat Islam antara Timur. Hal ini bisa dipahami, karena dikotomi ini memang
dipaksakan oleh realitas yang ada. Al Jabiri memulai kajian ini dari era
kodifikasi (pertengahan abad II H), di awal ia memaparkan terlebih dahulu
pergolakan pemikiran yang berlangsung di Timur dan membuatnya mengesampingkan
terlebih dahulu (pemaparan) bagian Barat. Bukankah sejarah islam dimulai dari
Timur? Akan tetap bagi al Jabiri, ini adalah kelemahan bahasa yang tidak mampu
menyampaikan semua pikiran sekaligus.
Disini al Jabiri mengkaji pertumbuhan akal
orisinal Arab yang disebutnya akal retoris (al aql al bayani). Akal ini yang
direpresentasikan oleh ilmu bahasa Arab, ushul fiqh dan ilmu kalam adalah
produk kejeniusan orang Arab yang sayangnya tidak bisa berkembang lagi, karena
sudah mencapai titik klimaks kematangannya pada masa kelahirannya, era
kodifikasi. Baru setelah itu, al Jabiri melangkah kepada masuknya dua akal yang
lain dalam dunia pemikiran Arab yaitu akal gnostis (al irfani) dan akal
demonstratife (al burhani). Al Jabiri sendiri lebih suka menyebut yang pertama
sebagai al Aql al Mustaqil (akal yang menikam). Karena akal ini justru
dipergunakan untuk memberikan pembuktian rasional terhadap impotensitas akal.
Epistemologi
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang meneknkan otoritas teks Arab
(nash), secara langsung ataupun tidak langsung, dan dijustifikasikan oleh akal
kenahasaan yang digali lewat inferensi (istidla). Secara langsung artinya
memahami teks sebagai pengetahuan dan mengaplikasikannya langsung tanpa perlu
pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan yang
mentah, sehingga memerlukan tafsir dan penalaran lebih mendalam. Epistemologi
Irfani adalah metode kelanjutan dari Bayani, akan tetapi kedua pengetahuan ini
berbeda satu sama lain. Bayani mendasari pengetahuannya kepada teks, sedangkan
Irfani mendasari pengetahuannya kepada kas/f, yaitu tersingkapnya
rahasia-rahasia oleh / karena Tuhan. Oleh karena itu, Irfani tidak diperoleh
berdasarkan analisis terhadap teks, akan tetapi dari hati nurani yang suci,
sehingga Tuhan menyingkapkan sebuah pengetahuan. Epistemologi Burhani adalah
metode yang lebih mendasari dirinya pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan
lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima
sepanjang dan sesuai dengan logika rasional, yang kemudian menghasilkan
pengetahuan melalui prinsio-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang
telah diyakini kebenarannya.
d.
Komentar
Terhadap Pemikiran Al Jabiri
Ada beberapa
filsuf yang juga mengkritisi pemikiran al-Jabiri, di antaranya adalah, Hasan
Hanafi yang mengkritisi al- Jabiri dari sikapnya yang terus-menerus
mempertahankan dan membela identitasnya sebagai seorang Arab. Sehingga Arabisme
yang melekat pada diri al-Jabiri pada akhirnya dapat menjebakkannya pada
tataran ideologis. Padahal al-Jabiri selalu menekankan agar tidak bersikap dan
berfikir ideologis dalam pemaparan pemikirannya. Sedangkan bagi Nuruddun
al-Ghadir berpandangan bahwa metode yang sedang dikembangkan oleh al-Jabiri
sebenarnya sangat berbahaya bagi tradisi Arab-Islam itu sendiri. Selain itu,
George Tharabisyi, juga ikut mengkritisi pemikiran al-Jabiri dengan sangat
teliti, bahkan secara khusus ia tuangkan dalam buku yang berjudul nadzariyyah
al-‘Aql: Naqd Naqd al-‘Aql al-‘Arabi yaitu tentang “kritik terhadap kritik
nalar Arab”. Di dalam tulisannya tersebut, ia mengkritik pedas dan rinci atas
kesalahan-kesalahan yang dilakukan al-Jabiri. Salah satunya perihal konsep
al-‘aql al-mukawwan (Raison Constituee) dan al-‘aql al-mukawwin (Raison
Constituante) yang menurutnya tidak sesuai dengan teori Lalande saat al-Jabiri
mengaplikasikannya dalam menganalisa struktur bangunan pengetahuan yang
dikajinya. Selain itu pembelaannya terhadap episteme burhani (nalar), terlihat
jelas di dalam setiap kritiknya terhadap nalar Arab, baik secara implisit atau
pun implisit dalam pemaparannya al-Jabiri mengesampingkan episteme ‘irfani. Di
dalam statmentnya ia mengatakan bahwa, pembaruan pemikiran Arab atau
modernisasi nalar Arab akan tetap dianggap sebagai dead letter (surat yang
tidak sampai ke alamatnya), jika tidak berupaya untuk membongkar struktur
pemikiran yang diwarisi dari “masa kemunduran”. Sehingga objek pertama yang
nantinya akan didekonstruksikan dengan menggunakan perangkat “kritik” yang
keras dan mendalam adalah struktur nalar itu sendiri yang sudah membeku serta
praktek analogi yang mekanistis. Ia juga mengungkapkan bahwa “pembaca” Arab
kontemporer sangat dibatasi oleh tradisinya dan diliputi oleh masa kininya.
Sehingga, ketika pembaca Arab menelaah teks tradisi secara tekun, yang muncul kemudian
adalah rasa kegairahan tapi minus eksplorasi dan penalaran.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al
Jabiri lahir di Figuig atau Fejij (Pekik) bagian tenggara Maroko tahun 1936.
Masa pendidikannya ia tempuh di kotanya sendiri. Sejak tahun 1951-1963 ia
menghabiskan waktu dua tahun di sekolah lanjutan negeri (setingkat SMA) di
Casablanca. Setelah Maroko merdeka al Jabiri mendapat gelar Diploma dari
sekolah tinggi Arab dalam bidang science (ilmu pengetahuan). Tahun 1958
al Jabiri memperdalam filsafat di Universitas Damaskus di Syiria. Tidak
bertahan lama di Syiria, satu tahun kemudian ia pindah ke Universitas Rabat.
Tahun 1963 ia masuk penjara dengan tuduhan makar terhadap negara yang
disematkan pada anggota partai UNFP lainnya. Tahun 1964 al Jabiri mengajar
filsafat di tingkat sarjana muda. Tahun 1966 ia bersama Ahmad as Sattati dan
Mustafa al Qamari bekerjasama untuk menerbitkan teks book tentang pemikiran
islam dan filsafat bagi sarjana muda. Ia kemudian memperoleh gelar magister
tahun 1967, tahun 1970 al Jabiri menyelesaikan studi memperoleh gselar Ph.D.
Perjalanan intelektual al Jabiri cukup mendulang hasil setelah menerbitkan
kurang lebih tujuh belas karya dan beberapa tulisan yang tersebar di berbagai
terbitan. Kredibilitas al Jabiri sebagai pemikir Islam garda depan sedemikian
diakui di kalangan pemikir islam kontemporer. Secara geografis, lingkungan di
Maroko sangat mendukung bagi perkembangan intelektual al Jabiri. Selain
Aljazair dan Tunisia, Maroko sebagai bagian dari wilayah Maghribi merupakan
negeri yang pernah menjadi wilayah protektoriat Prancis. Secara tidak langsung,
tradisi dan bahasa Prancis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat Maroko, efeknya sarjana intelektual Maroko lebih mudah mengenal
warisan pemikiran yang menggunakan bahasa Prancis.
Pemikiran
al Jabiri mengandung tiga hal ; Pertama mengenai Islam, agama dan kekuasaan. Al
Jabiri mencoba memetakan perdebatan-perdebatan dengan aliran masing-masing
dalam memandang islam. Ada kalangan liberal dan sekularis yang menganggap bahwa
islam adalah dien bukan daulah atau yang dipahami oleh kalangan islamis bahwa
islam adalah dien dan daulah. Kedua mengenai trilogi nalar. Al Jabiri melihat
nalar Arab sangat terkungkung oleh hegemoni teks yang disinyalir sebagai salah
satu penyebab kemunduran dunia islam (Arab), di samping otoritas masa lalu, dan
virus irasionalisme. Ketiga mengenai konsep trilogi nalar, al Jabiri melihat
dalam diskursus pemikiran Arab kontemporer. Ternyata diskursus pemikiran Arab
dalam masa seratus tahun yang lampau tidak mampu memberikan kontentum yang
jelas dan definitif, walaupun untuk sementara terhadap proyek kebangkitan yang
selama ini mereka gembar gemborkan.
Daftar Pustaka
Muhammad Abed al Jabiri, 2003. Kritik kontemporer Atas filsafat Arab-Islam. Terj Moch Nur Ikhwan.
Yogyakarta: islamika.
Muhammad Abed al Jabiri,1990. Taqwin al aql al Araby terj. Formasi
Nalar Arab. Libanon.
[1]
Muhammad Abed al Jabiri, Kritik kontemporer Atas filsafat Arab-Islam. Terj Moch
Nur Ikhwan. Yogyakarta: islamika 2003, cet 1, hlm xviii
[2]Ibid
hlm xxii
[3]Muhammad
Abed al Jabiri, Taqwin al aql al Araby terj. Formasi Nalar Arab. Libanon.
1990 hlm 61
No comments:
Post a Comment