SABAR - SANTRI ENDONESA

Tiada Kata Terlambat Untuk Belajar

Breaking

Home Top Ad

W E L C O M E

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, August 22, 2018

SABAR


SABAR
Pembahasan ini ditulis demi memenuhi tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu oleh: Ustadz Mahrus, MA
Penulis : Muhammad Faiqul Fuad (U20162035)

1.      Pengertian Sabar
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Dzun Nun Al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibnu ‘Atha mengatakan, sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain mengatakan, sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal. Ibnu Usman Al-Hairi mengatakan, sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan.
Di kalangan para sufi sabar diartikan sebagai sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-laranganNya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan.[1]
(Teks Arab)
Allah SWT berfirman, “Sabarlah engkau yaa Muhammad, dan tidaklah kesabaranmu itu kecuali dengan pertolongan Allah”. (An-Nahl : 27)
Dari Aisyah ra, diceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya sabar yang sempurna itu pada pukulan yang pertama”.
(Teks Arab)
Dari sahabat Anas bin Malik diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sabar yang paling sempurna adalah pada pukulan (ketika menghadapi cobaan) yang pertama.”
2.      Macam – macam Sabar
Dikutip dari Risalatul Qusyairiah
(Teks Arab)
Sabar itu terbagi menjadi dua, yaitu sabar yang berkaitan dengan usaha hamba dan sabar yang tidak berkaitan dengan usaha hamba.
Sabar yang berkaitan dengan usaha hamba terbagi menjadi dua, yaitu :
a.       Sabar terhadap apa yang diperintahkan Allah SWT
b.      Sabar terhadap apa yang dilarang-Nya
Sedang sabar yang tidak berkaitan dengan usaha adalah sabar yang terkait dengan hukum karena mendapat kesulitan.[2]
Sabar, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan hawa nafsu dan amarah, dinamakan Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[3]
Kemudian pembagian sabar secara lebih rinci lagi dijelaskan dalam kitab Risalatul Mu’awanah. Di sana sabar dibagi menjadi empat bagian, antara lain :
a.       Kesabaran karena menjalankan taat.
Kesabaran seperti ini, secara batin dapat diperoleh dengan hati yang ikhlas serta pemusatan hati dalam menjalankannya. Sedangkan secara lahir, dapat diperoleh dengan memegang teguh, istiqomah dan larut dalam menjalankannya dengan penuh semangat serta melakukannya sesuai dengan ajaran syari’at.
            Melaksanakan kesabaran ini akan menumbuhkan ingat sesuatu yang dihitung Allah sebagai perbuatan taat dengan pahala dunia dan akhirat. Barangsiapa berpegang teguh kesabaran pada sisi ini, ia akan sampai pada tingkat dekat (kepada Allah). Dengan demikian ketaatannya akan menemukan rasa manis dan kelezatan taat itu sendiri, jika tidak, maka akan tampak olehnya sesuatu yang tidak bisa ia lukiskan.

b.      Kesabaran menjauhi maksiat.
Kesabaran ini secara lahiriah akan dapat diperoleh dengan menjauhinya, dan menjauhi sumber – sumbernya, sedangkan secara batin dapat dilakukan dengan meninggalkan memancing-mancing nafsu yang ingin atau cenderung padanya, karena dosa itu dimulai dari getar keinginan yang pertama.

c.       Kesabaran mengingat dosa masa lampau.
Hal ini akan lebih baik jika dapat menumbuhkan rasa takut (kepada Allah) dan kecewa terhadap dosa, jika tidak, dengan cara seperti ini akan menumbuhkan ingatan terhadap maksiat dengan siksa dunia dan akhirat.
Barangsiapa dapat melaksanakan sabar dari sisi ini, maka Allah akan memuliakannya, sebab adanya memerangi nafsu untuk menjauhi semua maksiat hingga ancaman masuk neraka, menjadikannya lebih menakutkan daripada melaksanakan maksiat.

d.      Sabar dari hal –hal yang tidak menyenangkan.
Kesabaran ini terbagi menjadi dua macam, yaitu :

1.      Kesabaran sebab suatu hal yang didapat langsung dari Allah, misalnya penyakit, kemiskinan, kehilangan harta benda, ditinggal mati handai taulan atau sahabat tercinta dan sebagainya.
Kesabaran ini dalam sisi batin dapat diperoleh tanpa merisaukan, yaitu rasa jenuh atau bosan. Sedangkan secara lahiriah dapat diperoleh dengan tanpa mengeluh terhadap orang lain, disamping tidak mengobatkan ciri-ciri penyakit tersebut lewat tabib.
Tidak melawan musibah dengan banyak menangis, tidak pula melawannya dengan memukul-mukul pipi, merobek-robek kerah atau saku baju, tidak pula dengan tangisan keras dan sebagainya.
Kesabaran ini akan menumbuhkan pengertian, bahwa jemu atau bosan itu sesungguhnya memperkosa diri sendiri. Jemu dengan sikap yang demikian itu akan menghancurkan pahala dan pasti mendapat siksa.
Selain itu, bahwa mengeluh kepada seseorang itu tidak akan bermanfaat bagi dirinya, juga tidak akan dapat memecahkan permasalahan kedunguannya. Sifat inilah yang dimiliki semua makhluk, karena itulah, mengeluh menunjukkan tidak ada rasa cukup terhadap pertolongan Allah, Dzat yang menguasai segala sesuatu.
Selanjutnya berdzikir dengan sesuatu demi kesabaran menghadapi cobaan, wabah penyakit, dan kefakiran adalah berpahala. Karena sesungguhnya Allah lebih mengetahui mana yang lebih baik bagi seseorang daripada diri orang itu sendiri. Barangsiapa bersabar dari sisi ini, maka Allah akan mengkaruniakan rasa manis berserah diri dan menyenangkannya dengan ruh yang ridha.

2.      Kesabaran sebab suatu hal yang datang dari orang lain, yaitu penganiayaan jiwa raga atau harta dan martabat. Kesempurnaan nilai kesabaran ini akan dapat diperoleh dengan jalan mencegah keinginan hati yang membenci pada penganiayaannya, apalagi jika ia juga seorang muslim, atau mencegah hati yang suka akan nasib buruknya.
Di samping mencegah lisan mendoakan jelek padanya, yang paling pokok adalah tidak menyiksanya dan tetap baik dengan cara bijak serta menghadapinya dengan tegar, atau dengan cara memaafkan serta berjabat tangan pertama melakukannya, karena berharap pertolongan Allah. Kedua, karena rasa cinta terhadap pahala-Nya. Kesabaran ini akan menumbuhkan pemahaman terhadap keutamaan-keutamaan yang telah diterangkan dalam hadits tentang keutamaan menahan kemarahan rasa sakit, dan memaafkan orang lain.
Barangsiapa menempuh kesabaran dari sisi ini, maka Allah akan memuliakannya sebagai orang yang berbudi pekerti luhur dan hal itu berarti merupakan pusat keutamaan serta pangkal kesempurnaan.

            Adapun kesabaran untuk menjauhi apa yang keluar dari dorongan syahwat, adalah sabar di setiap kecenderungan hati untuk mengambil keduniaan yang diperbolehkan (mahabbatusy syar’i).
            Kesempurnaan kesabaran ini secara batin dapat diperoleh dengan mencegah hati (pikiran), agar tidak berpikir dan cenderung padanya. Sedangkan secara lahiriah dapat diperoleh dengan mencegah hati untuk mengejarnya dan terpesona olehnya.
            Kesabaran seperti ini dapat menumbuhkan pengertian terhadap apa yang diinginkan syahwat, sedang yang didapatkannya hanyalah melupakan Allah SWT, melupakan beribadah kepada-Nya, mendorong agar jatuh dalam syubhat dan haram, mengobarkan api cinta dunia, cinta hidup abadi di dalam dunia serta bersuka ria dengan keinginan-keinginan duniawi.
            Abu Sulaiman Ad-Daroni berkata : “Meninggalkan satu syahwat itu lebih bermanfaat bagi hati daripada beribadah satu tahun.” Barangsiapa dapat istiqomah sabar dari syahwat, maka Allah akan memuliakannya. Sebab penekanan terhadap keinginan syahwat dari hatinya, hingga menjadikannya berkata, sebagaimana sebagian orang makrifat berkata : “Saya ingin, agar dapat meninggalkan apa yang saya inginkan, sehingga saya tidak menginginkan sesuatu. Hanya kepada Allah lah segala pertolongan.[4]

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. 2010. Bandung : Pustaka Setia

Ihsan, dan Ainul Ghoery S.. Jalan Menempuh Ridha Allah. Tt. Surabaya : Al-Hidayah
Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf. 2006. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada


[1] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, 2006,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), hal. 200-201
[2] http://www.piss-ktb.com/2014/12/3662-tasawuf-pengertian-sabar.html?m=0
[3] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, 2010, (Bandung : Pustaka Setia), hal. 200-201
[4] Ihsan dan Ainul Ghoery S., Jalan Menempuh Ridha Allah, tt, (Surabaya : Al-Hidayah), hal. 190-195

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages