SABAR
Pembahasan ini
ditulis demi memenuhi tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu oleh: Ustadz
Mahrus, MA
Penulis : Muhammad
Faiqul Fuad (U20162035)
1.
Pengertian Sabar
Secara
harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Dzun Nun Al-Mishry, sabar artinya
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi
tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun
sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibnu ‘Atha
mengatakan, sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang
baik. Dan pendapat lain mengatakan, sabar berarti menghilangkan rasa
mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal. Ibnu Usman Al-Hairi
mengatakan, sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu
yang kurang menyenangkan.
Di
kalangan para sufi sabar diartikan sebagai sabar dalam menjalankan
perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-laranganNya dan dalam
menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. Sabar
dalam menunggu datangnya pertolongan tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan
tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan.[1]
(Teks
Arab)
Allah SWT
berfirman, “Sabarlah engkau yaa Muhammad, dan tidaklah kesabaranmu itu kecuali
dengan pertolongan Allah”. (An-Nahl : 27)
Dari Aisyah ra,
diceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya sabar yang sempurna
itu pada pukulan yang pertama”.
(Teks
Arab)
Dari sahabat
Anas bin Malik diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sabar yang paling
sempurna adalah pada pukulan (ketika menghadapi cobaan) yang pertama.”
2.
Macam – macam Sabar
Dikutip
dari Risalatul Qusyairiah
(Teks
Arab)
Sabar
itu terbagi menjadi dua, yaitu sabar yang berkaitan dengan usaha hamba dan
sabar yang tidak berkaitan dengan usaha hamba.
Sabar yang
berkaitan dengan usaha hamba terbagi menjadi dua, yaitu :
a.
Sabar terhadap apa yang
diperintahkan Allah SWT
b.
Sabar terhadap apa yang
dilarang-Nya
Sedang
sabar yang tidak berkaitan dengan usaha adalah sabar yang terkait dengan hukum
karena mendapat kesulitan.[2]
Sabar,
jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan hawa nafsu dan amarah, dinamakan
Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan
terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran
jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu
makan dan seks yang berlebihan.[3]
Kemudian
pembagian sabar secara lebih rinci lagi dijelaskan dalam kitab Risalatul
Mu’awanah. Di sana sabar dibagi menjadi empat bagian, antara lain :
a.
Kesabaran karena menjalankan
taat.
Kesabaran
seperti ini, secara batin dapat diperoleh dengan hati yang ikhlas serta
pemusatan hati dalam menjalankannya. Sedangkan secara lahir, dapat diperoleh
dengan memegang teguh, istiqomah dan larut dalam menjalankannya dengan penuh
semangat serta melakukannya sesuai dengan ajaran syari’at.
Melaksanakan kesabaran ini akan
menumbuhkan ingat sesuatu yang dihitung Allah sebagai perbuatan taat dengan
pahala dunia dan akhirat. Barangsiapa berpegang teguh kesabaran pada sisi ini,
ia akan sampai pada tingkat dekat (kepada Allah). Dengan demikian ketaatannya
akan menemukan rasa manis dan kelezatan taat itu sendiri, jika tidak, maka akan
tampak olehnya sesuatu yang tidak bisa ia lukiskan.
b.
Kesabaran menjauhi maksiat.
Kesabaran
ini secara lahiriah akan dapat diperoleh dengan menjauhinya, dan menjauhi
sumber – sumbernya, sedangkan secara batin dapat dilakukan dengan meninggalkan
memancing-mancing nafsu yang ingin atau cenderung padanya, karena dosa itu
dimulai dari getar keinginan yang pertama.
c.
Kesabaran mengingat dosa masa
lampau.
Hal
ini akan lebih baik jika dapat menumbuhkan rasa takut (kepada Allah) dan kecewa
terhadap dosa, jika tidak, dengan cara seperti ini akan menumbuhkan ingatan
terhadap maksiat dengan siksa dunia dan akhirat.
Barangsiapa
dapat melaksanakan sabar dari sisi ini, maka Allah akan memuliakannya, sebab
adanya memerangi nafsu untuk menjauhi semua maksiat hingga ancaman masuk
neraka, menjadikannya lebih menakutkan daripada melaksanakan maksiat.
d.
Sabar dari hal –hal yang tidak
menyenangkan.
Kesabaran ini terbagi menjadi dua macam,
yaitu :
1.
Kesabaran sebab suatu hal yang
didapat langsung dari Allah, misalnya penyakit, kemiskinan, kehilangan harta
benda, ditinggal mati handai taulan atau sahabat tercinta dan sebagainya.
Kesabaran ini dalam sisi batin dapat
diperoleh tanpa merisaukan, yaitu rasa jenuh atau bosan. Sedangkan secara
lahiriah dapat diperoleh dengan tanpa mengeluh terhadap orang lain, disamping
tidak mengobatkan ciri-ciri penyakit tersebut lewat tabib.
Tidak melawan musibah dengan banyak
menangis, tidak pula melawannya dengan memukul-mukul pipi, merobek-robek kerah
atau saku baju, tidak pula dengan tangisan keras dan sebagainya.
Kesabaran ini akan menumbuhkan
pengertian, bahwa jemu atau bosan itu sesungguhnya memperkosa diri sendiri.
Jemu dengan sikap yang demikian itu akan menghancurkan pahala dan pasti
mendapat siksa.
Selain itu, bahwa mengeluh kepada
seseorang itu tidak akan bermanfaat bagi dirinya, juga tidak akan dapat
memecahkan permasalahan kedunguannya. Sifat inilah yang dimiliki semua makhluk,
karena itulah, mengeluh menunjukkan tidak ada rasa cukup terhadap pertolongan
Allah, Dzat yang menguasai segala sesuatu.
Selanjutnya berdzikir dengan sesuatu
demi kesabaran menghadapi cobaan, wabah penyakit, dan kefakiran adalah
berpahala. Karena sesungguhnya Allah lebih mengetahui mana yang lebih baik bagi
seseorang daripada diri orang itu sendiri. Barangsiapa bersabar dari sisi ini,
maka Allah akan mengkaruniakan rasa manis berserah diri dan menyenangkannya dengan
ruh yang ridha.
2.
Kesabaran sebab suatu hal yang
datang dari orang lain, yaitu penganiayaan jiwa raga atau harta dan martabat.
Kesempurnaan nilai kesabaran ini akan dapat diperoleh dengan jalan mencegah
keinginan hati yang membenci pada penganiayaannya, apalagi jika ia juga seorang
muslim, atau mencegah hati yang suka akan nasib buruknya.
Di samping mencegah lisan mendoakan
jelek padanya, yang paling pokok adalah tidak menyiksanya dan tetap baik dengan
cara bijak serta menghadapinya dengan tegar, atau dengan cara memaafkan serta
berjabat tangan pertama melakukannya, karena berharap pertolongan Allah. Kedua,
karena rasa cinta terhadap pahala-Nya. Kesabaran ini akan menumbuhkan pemahaman
terhadap keutamaan-keutamaan yang telah diterangkan dalam hadits tentang
keutamaan menahan kemarahan rasa sakit, dan memaafkan orang lain.
Barangsiapa menempuh kesabaran dari sisi
ini, maka Allah akan memuliakannya sebagai orang yang berbudi pekerti luhur dan
hal itu berarti merupakan pusat keutamaan serta pangkal kesempurnaan.
Adapun kesabaran untuk menjauhi apa
yang keluar dari dorongan syahwat, adalah sabar di setiap kecenderungan hati
untuk mengambil keduniaan yang diperbolehkan (mahabbatusy syar’i).
Kesempurnaan kesabaran ini secara
batin dapat diperoleh dengan mencegah hati (pikiran), agar tidak berpikir dan
cenderung padanya. Sedangkan secara lahiriah dapat diperoleh dengan mencegah
hati untuk mengejarnya dan terpesona olehnya.
Kesabaran seperti ini dapat
menumbuhkan pengertian terhadap apa yang diinginkan syahwat, sedang yang
didapatkannya hanyalah melupakan Allah SWT, melupakan beribadah kepada-Nya,
mendorong agar jatuh dalam syubhat dan haram, mengobarkan api cinta dunia,
cinta hidup abadi di dalam dunia serta bersuka ria dengan keinginan-keinginan duniawi.
Abu Sulaiman Ad-Daroni berkata :
“Meninggalkan satu syahwat itu lebih bermanfaat bagi hati daripada beribadah
satu tahun.” Barangsiapa dapat istiqomah sabar dari syahwat, maka Allah akan
memuliakannya. Sebab penekanan terhadap keinginan syahwat dari hatinya, hingga
menjadikannya berkata, sebagaimana sebagian orang makrifat berkata : “Saya
ingin, agar dapat meninggalkan apa yang saya inginkan, sehingga saya tidak
menginginkan sesuatu. Hanya kepada Allah lah segala pertolongan.[4]
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. 2010. Bandung : Pustaka
Setia
Ihsan, dan Ainul
Ghoery S.. Jalan Menempuh Ridha Allah.
Tt. Surabaya : Al-Hidayah
Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf. 2006. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada
[1] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, 2006,(Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada), hal. 200-201
[2]
http://www.piss-ktb.com/2014/12/3662-tasawuf-pengertian-sabar.html?m=0
[3] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, 2010, (Bandung : Pustaka
Setia), hal. 200-201
[4] Ihsan dan Ainul
Ghoery S., Jalan Menempuh Ridha Allah,
tt, (Surabaya : Al-Hidayah), hal. 190-195
No comments:
Post a Comment