TASAWUF AKHLAKI - SANTRI ENDONESA

Tiada Kata Terlambat Untuk Belajar

Breaking

Home Top Ad

W E L C O M E

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Wednesday, August 22, 2018

TASAWUF AKHLAKI


TASAWUF AKHLAKI,FALSAFI

A.     APA ITU TASAWUF AKHLAKI?
Tasawuf Akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat, guna mencapai kebahagian yang optimal. Manusia harus mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa dan raga. Sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu pembentukan pribadi yang berakhlak mulia. Tahapan-tahapan itu dalam ilmu tasawuf dikenal dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), takhalli (menghiasai diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).[1]
Tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan tuhan sehingga merasa sadar bahwa ia sedang berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isra’ Mi’raj, misalnya, merupakan sebuah contoh puncak pengalaman rohani. Ini adalah pengalaman rohani tertinggi yang hanya dipunyai oleh seorang nabi. Kaum sufi berusaha meniru dan mengulangi pengalaman rohani Nabi itu dalam dimensi, skala, dan format yang sepadan dengan kemampuannya. “Pertemuan” dengan Tuhan merupakan puncak kebahagiaan yang dilukiskan dalam sebuah hadis sebagai “sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata”.[2]
Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari pada Dzat Allah Yang Suci, segala sesuatu itu harus sempurna [perfection] dan suci, sekalipun tingkat kesucian dan kesempurnaan itu bervariasi menurut dekat dan jauhnya dari sumber informasi aslinya. Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang. Oleh karena itu, pada tahap pertama, teori dan amalan tasawuf diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Dengan kata lain, manusia harus lebih dulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan cirri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berahklak mulia.
Sejalan dengan tujuan tasawuf, para sufi berkenyakinan bahwa kebahagiaan yang paripurna dan langgeng bersifat spiritual. Berangkat dari falsafah hidup itu, baik dan buruk sikap mental seseorang dinilai berdasarkan pandangan terhadap kehidupan duniawi. Kaum sufi sependapat bahwa kenikmatan duniawi bukanlah tujuan, tetapi sekedar jembatan. Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental, yang pertama dan utama dilakukan adalah menguasai atau menghilangkan penyebab utamanya, yaitu hawa nafsu. Sebab, menurut imam Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari kerusakan akhlak. Seandainya, menurut Al-Ghozali, bukan karena rasa ketergantungan manusia kepada kenikmatan dan kemewahan harta benda, pasti tidak akan terjadi kerusakan akhlak. Kalau bukan karena adanya kompetisi dalam mengejar atribut-atribut kebesaran duniawi, tentu tidak aka nada tindakan-tindakan manipulasi, korupsi, fitnah, ria, sombong, takabur dan sikap mental lain yang sejalan dengan itu.
Sehingga para sufi dalam rangka pendidikan mental-spiritual, cara yang ditempu oleh para sufi adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi. Aspek lahiriah itu merupakan tahap-tahap awal memasuki kehiduapan tasawuf, seorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah menguasai hawa nafsu; menekan hawa nafsu sampai ke titik terendah; dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali. Untuk itu, dalam tasawuf akhlaqi, simtem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut.
  1. Takhalli
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin.[3] Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari prilaku atau akhlak tercela. Salah satu akhlak tercela yang paling banyak membawa pengaruh terhadap timbulnya akhlak jelek lainnya adalah ketergantungan pada kelezatan duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.
Menurut kaum sufi, kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir, seperti tangan, mulut, dan mata. Maksiat batin adalah segala sifat tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.
Sementara itu, kelompok sufi yang ekstrem berkenyakinan bahwa kehidupan duniawi benar-benar sebagai “racun pembunuh” kelangsungan cita-cita sufi. Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan, karenanya nafsu yang bertendensi duniawi harus “dimatikan” agar manusia bebas berjalan menuju tujuan, yaitu memperoleh kebahagian spiritual yang hakiki. Bagi mereka, cara memperoleh keridaan tuhan tidak sama dengan cara memperoleh kenikmatan material. Pengingkaran ego dengan cara meresapkan diri pada kemauan Tuhan adalah perbuatan utama.
Sikap mental yang tidak sehat sebenarnya diakibatkan oleh keterikatan kepada kehidupan duniawi. Seperti ingin disanjung dan ingin diagungkan itu adalah sifat riya’. Menurut Al-Ghozali, sulit untuk menerima kebesaran orang lain, termasuk untuk menerima keagungan Allah. Sebab, hasrat ingin disanjung itu sebenarnya tidak lepas dari adanya perasaan paling unggul, rasa superioritas, dan ingin menang sendiri. Kesombongan dianggap sebagai dosa besar kepada Allah. Oleh karena itu, Al-Ghozali menyatakan bahwa kesombongan sama dengan penyembahan diri, satu macam dari politeisme.[4]
  1. Tahalli
Tahalli adalah upanya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, prilaku, dan ahklak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah jiwa dikosongkan dari ahklak-ahklak jelek. Pada tahap tahalli, kaum sufi berusaha agar setiap gerak prilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat “luar” maupun yang bersifat “dalam”. Aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, dan haji, sedangkan aspek “dalam” seperti iman, ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.
Dengan demikian, tahap tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan. Sebab, apabila satu kebiasaan telah dilepaskan, tetapi tidak segara ada penggantinya, kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama ditinggalkan, harus segera diisi dengan satu kebiasaan baru yang baik. Jiwa manusia, seperti kata Al-Ghozali, dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.
  1. Tajalli
Tajalli adalah tersingkapnya Nur Ilahi (cahaya Tuhan) seiring dengan sinarnya sifat-sifat kemanusian pada diri manusia setelah tahapan takhalli dan tahalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib.[5]
Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara ahklak dan terbiasa mwlakukan perbuatan luhur tidak berkurang, rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Para sufi sependapat bahwa tingkat kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat ditempuh dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan menperdalam rasa kecintaan itu. Tanpa jalan ini, tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan dan perbuatan yang dilakukan pun tidak dianggap sebagai perbuatan yang baik.[6]
Karakteristik Tasawuf Akhlaki:
a). Melandaskan diri pada Al-Quran dan As-Sunnah.
b). Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat.
c). Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
d). Kesinambungan antara hakikat dan syariat.
f). Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan ahklak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadha (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, tajalli.
Tokoh-tokoh tasawuf ahklaki:
a). Hasan Al-Bashri (21 H  -  110 H) ajaran tasawufnya adalah rasa takut dan pengharapant tidak akan dirundung kemuraman karena mengingat Allah Swt.
b). Al-Muhasibi (165 – 243 H) ajaran tasawufnya adalah ketakwaan kepada Allah Swt, melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meladani Rasulullah Saw.
c). Al-Qusyairi (376 – 465 H) ajaran tasawufnya adalah landasan tauhid yang benar berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah.
d). Al-Ghozali (450 H – 505 H) ajaran tasawufnya berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah Nabi Muhammad Saw, serta doktrin Ahlus Sunnah wa Al-jamaah (tasawuf suni).
B.   APA ITU TASAWUF FALSAFI?
       Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasnya. Terminologis filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yng telah memengarui para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Selain itu, tasawuf falsafi tidak pula dapat dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.[7]
       Menurut At-taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dalam khazanah islam sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak saat itu, tasawuf Falsafi terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan dikalangan para sufi yang juga filsuf sampai masa menjelang akhir-akhir ini.[8]
      Pemaduan antara tasawuf dan filsafat dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf Falsafi bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat diluar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, meskipun mempunyai latar belakang kemudanyaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu. Parah tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, apabila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai Umat Islam.
    Tokoh-tokoh penting yang termasuk kelompok sufi falsafi antara lain :
1).  Ibnu’ Arabi (560 H – 638 H) ajaran tasawufnya adalah wahdat al-Wujud (kesatuan wujud).
2).  Al-Jili (767 H – 805 H) ajaran tasawufnya adalah paham insan kamil (manusia sempurna).
3).  Ibnu Sab’in (614 – 669 H) ajaran tasawufnya adalah paham kesatuan mutlak (wujud adalah satu alias  wujud Allah semata).
    Perbedaan Tasawuf Ahklaki dan Tasawuf Falsafi :
1).  Tasawuf Ahklaki
            Tasawuf Ahklaki adalah ajaran ahklak dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagian yang optimal. Dengan kata lain tasawuf ahklaki adalah tasawuf yang berkonentrasi pada teori-teori prilaku, ahklak atau budi pekerti atau perbaikan ahklak.
2).   Tasawuf Falsafi
           Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketingkah yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu, yaitu wahdatul wujud  (kesatuan wujud).
    Persamaan Tasawuf Ahklaki dan Tasawuf Falsafi :
1).  Merupakan cabang dari Ilmu tasawuf.
2).  Tasawuf  diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’I (tujuan-tujuan syara’), karena bertasawuf pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah.
3).  Sama-sama bertujuan beribadah(pendekatan diri) kepada Allah secara murni.
4),  kesemuanya itu secara esensial semuara bermuara pada penghayatan terhadap ibadah murni (mahdhah) untuk mewujudkan ahklak-alkarimah baik secara individu maupun sosial.     



















DAFTAR PUSTAKA
Anwar,Roshion.Prof.dr.M.ag.2010.Akhlak Tsawuf.Bandung.CV.Pustaka Setia.
Prof.Dr.H.M.Amin Syukur.MA.2003.Tasawuf Konteks Problem Manusia Modern .Yogyakarta.Pustaka Pelajar Offiset.
Dr.M.Afif Ansori,MA.2004.Tasawuf Falsafy Seyh Hamzah Fansuri.Yogyakarta.Gelombang.Pasang.


1  M.Amin Syukur dan Masyaharuddin, Intelektualisme Tasawuf,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), hlm. 45.
2  Nurcholish Madjid, Pengalaman Mistik Kaum Sufi,dalam Tabloid Tekad, Nomor 18/tahun II, 6-12 Maret 2000, hlm. 11.
3. Asmara Studi Tasawuf, (Jakarta Raja Grafindo Persada, 1996, hlm
4. Said, Pengantar……,hlm. 101.
5. Qamar Kailani, Fi At-Tashawuf Al-Islam, Dar Al-Ma’arif, Kairo,1969, hlm.27.
6. M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, Vol. II, Otto Harrasspwitz, Wiesbaden, 1963, hlm. 199.
7.  Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftawani, Maddad id At-Tasawuf Al-Islami 1979, hlm, 187-188.
8.  Rosibon Anwar, Ahklak Tasawuf, (Bandung pustaka Setia, 2010), hlm, 277.

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages