TASAWUF AKHLAKI,FALSAFI
A.
APA ITU TASAWUF AKHLAKI?
Tasawuf Akhlaki
adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang
diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku
secara ketat, guna mencapai kebahagian yang optimal. Manusia harus
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui
penyucian jiwa dan raga. Sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu pembentukan
pribadi yang berakhlak mulia. Tahapan-tahapan itu dalam ilmu tasawuf dikenal
dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), takhalli
(menghiasai diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur
ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).[1]
Tujuan tasawuf
adalah memperoleh hubungan langsung dengan tuhan sehingga merasa sadar bahwa ia
sedang berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan
sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi
dalam Isra’ Mi’raj, misalnya, merupakan sebuah contoh puncak pengalaman rohani.
Ini adalah pengalaman rohani tertinggi yang hanya dipunyai oleh seorang nabi.
Kaum sufi berusaha meniru dan mengulangi pengalaman rohani Nabi itu dalam
dimensi, skala, dan format yang sepadan dengan kemampuannya. “Pertemuan” dengan
Tuhan merupakan puncak kebahagiaan yang dilukiskan dalam sebuah hadis sebagai
“sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata”.[2]
Semua sufi
berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan seseorang ke
hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Karena jiwa manusia merupakan
refleksi atau pancaran dari pada Dzat Allah Yang Suci, segala sesuatu itu harus
sempurna [perfection] dan suci, sekalipun tingkat kesucian dan
kesempurnaan itu bervariasi menurut dekat dan jauhnya dari sumber informasi
aslinya. Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan
pendidikan dan latihan mental yang panjang. Oleh karena itu, pada tahap
pertama, teori dan amalan tasawuf diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap
mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Dengan kata lain, manusia
harus lebih dulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan cirri-ciri
ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi
yang bermoral paripurna dan berahklak mulia.
Sejalan dengan
tujuan tasawuf, para sufi berkenyakinan bahwa kebahagiaan yang paripurna dan
langgeng bersifat spiritual. Berangkat dari falsafah hidup itu, baik dan buruk
sikap mental seseorang dinilai berdasarkan pandangan terhadap kehidupan
duniawi. Kaum sufi sependapat bahwa kenikmatan duniawi bukanlah tujuan, tetapi
sekedar jembatan. Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental, yang pertama
dan utama dilakukan adalah menguasai atau menghilangkan penyebab utamanya,
yaitu hawa nafsu. Sebab, menurut imam Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa nafsu
yang ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari kerusakan
akhlak. Seandainya, menurut Al-Ghozali, bukan karena rasa ketergantungan
manusia kepada kenikmatan dan kemewahan harta benda, pasti tidak akan terjadi
kerusakan akhlak. Kalau bukan karena adanya kompetisi dalam mengejar
atribut-atribut kebesaran duniawi, tentu tidak aka nada tindakan-tindakan
manipulasi, korupsi, fitnah, ria, sombong, takabur dan sikap mental lain yang
sejalan dengan itu.
Sehingga para sufi
dalam rangka pendidikan mental-spiritual, cara yang ditempu oleh para sufi
adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi. Aspek lahiriah itu
merupakan tahap-tahap awal memasuki kehiduapan tasawuf, seorang diharuskan
melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah
menguasai hawa nafsu; menekan hawa nafsu sampai ke titik terendah; dan bila
mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali. Untuk itu, dalam tasawuf akhlaqi,
simtem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut.
- Takhalli
Takhalli berarti membersihkan diri dari
sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin.[3]
Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari prilaku atau akhlak
tercela. Salah satu akhlak tercela yang paling banyak membawa pengaruh terhadap
timbulnya akhlak jelek lainnya adalah ketergantungan pada kelezatan duniawi.
Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam
segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.
Menurut kaum sufi,
kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu maksiat lahir dan
maksiat batin. Maksiat lahir adalah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh
anggota lahir, seperti tangan, mulut, dan mata. Maksiat batin adalah segala
sifat tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.
Sementara itu,
kelompok sufi yang ekstrem berkenyakinan bahwa kehidupan duniawi benar-benar
sebagai “racun pembunuh” kelangsungan cita-cita sufi. Persoalan duniawi adalah
penghalang perjalanan, karenanya nafsu yang bertendensi duniawi harus
“dimatikan” agar manusia bebas berjalan menuju tujuan, yaitu memperoleh
kebahagian spiritual yang hakiki. Bagi mereka, cara memperoleh keridaan tuhan
tidak sama dengan cara memperoleh kenikmatan material. Pengingkaran ego dengan
cara meresapkan diri pada kemauan Tuhan adalah perbuatan utama.
Sikap mental yang
tidak sehat sebenarnya diakibatkan oleh keterikatan kepada kehidupan duniawi.
Seperti ingin disanjung dan ingin diagungkan itu adalah sifat riya’. Menurut
Al-Ghozali, sulit untuk menerima kebesaran orang lain, termasuk untuk menerima
keagungan Allah. Sebab, hasrat ingin disanjung itu sebenarnya tidak lepas dari
adanya perasaan paling unggul, rasa superioritas, dan ingin menang sendiri.
Kesombongan dianggap sebagai dosa besar kepada Allah. Oleh karena itu,
Al-Ghozali menyatakan bahwa kesombongan sama dengan penyembahan diri, satu
macam dari politeisme.[4]
- Tahalli
Tahalli adalah upanya mengisi atau
menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, prilaku, dan ahklak
terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah jiwa dikosongkan
dari ahklak-ahklak jelek. Pada tahap tahalli, kaum sufi berusaha agar
setiap gerak prilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban
yang bersifat “luar” maupun yang bersifat “dalam”. Aspek luar adalah
kewajiban-kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, dan haji,
sedangkan aspek “dalam” seperti iman, ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.
Dengan demikian,
tahap tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan.
Sebab, apabila satu kebiasaan telah dilepaskan, tetapi tidak segara ada
penggantinya, kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karena itu,
ketika kebiasaan lama ditinggalkan, harus segera diisi dengan satu kebiasaan
baru yang baik. Jiwa manusia, seperti kata Al-Ghozali, dapat diubah, dilatih,
dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.
- Tajalli
Tajalli adalah tersingkapnya Nur Ilahi
(cahaya Tuhan) seiring dengan sinarnya sifat-sifat kemanusian pada diri manusia
setelah tahapan takhalli dan tahalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya
nur ghaib.[5]
Agar hasil yang
telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir
mutiara ahklak dan terbiasa mwlakukan perbuatan luhur tidak berkurang, rasa
ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Para sufi sependapat bahwa tingkat
kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat ditempuh dengan satu jalan, yaitu cinta
kepada Allah dan menperdalam rasa kecintaan itu. Tanpa jalan ini, tidak ada
kemungkinan terlaksananya tujuan dan perbuatan yang dilakukan pun tidak
dianggap sebagai perbuatan yang baik.[6]
Karakteristik Tasawuf Akhlaki:
a). Melandaskan diri pada Al-Quran dan As-Sunnah.
b). Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat
pada ungkapan-ungkapan syathahat.
c). Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan
manusia.
d). Kesinambungan antara hakikat dan syariat.
f). Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan ahklak, dan
pengobatan jiwa dengan cara riyadha (latihan mental) dan langkah takhalli,
tahalli, tajalli.
Tokoh-tokoh tasawuf ahklaki:
a). Hasan Al-Bashri (21 H - 110 H) ajaran tasawufnya adalah rasa takut
dan pengharapant tidak akan dirundung kemuraman karena mengingat Allah Swt.
b). Al-Muhasibi (165 – 243 H) ajaran tasawufnya adalah ketakwaan kepada
Allah Swt, melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meladani Rasulullah Saw.
c). Al-Qusyairi (376 – 465 H) ajaran tasawufnya adalah landasan tauhid yang
benar berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah.
d). Al-Ghozali (450 H – 505 H) ajaran tasawufnya berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah Nabi Muhammad Saw, serta doktrin Ahlus Sunnah wa Al-jamaah (tasawuf
suni).
B. APA ITU TASAWUF FALSAFI?
Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasnya.
Terminologis filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yng telah memengarui
para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Selain itu,
tasawuf falsafi tidak pula dapat dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena
sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.[7]
Menurut At-taftazani, tasawuf falsafi
mulai muncul dalam khazanah islam sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para
tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak saat itu, tasawuf Falsafi terus
hidup dan berkembang, terutama di kalangan dikalangan para sufi yang juga filsuf
sampai masa menjelang akhir-akhir ini.[8]
Pemaduan antara tasawuf dan filsafat
dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf Falsafi bercampur dengan
sejumlah ajaran filsafat diluar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama
Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang,
meskipun mempunyai latar belakang kemudanyaan dan pengetahuan yang berbeda dan
beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu. Parah
tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, apabila
dikaitkan dengan kedudukannya sebagai Umat Islam.
Tokoh-tokoh penting yang termasuk kelompok
sufi falsafi antara lain :
1). Ibnu’ Arabi (560 H – 638 H) ajaran tasawufnya
adalah wahdat al-Wujud (kesatuan wujud).
2). Al-Jili (767 H – 805 H) ajaran tasawufnya
adalah paham insan kamil (manusia sempurna).
3). Ibnu Sab’in (614 – 669 H) ajaran tasawufnya
adalah paham kesatuan mutlak (wujud adalah satu alias wujud Allah semata).
Perbedaan Tasawuf Ahklaki dan Tasawuf
Falsafi :
1). Tasawuf Ahklaki
Tasawuf Ahklaki adalah ajaran
ahklak dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagian yang optimal.
Dengan kata lain tasawuf ahklaki adalah tasawuf yang berkonentrasi pada
teori-teori prilaku, ahklak atau budi pekerti atau perbaikan ahklak.
2). Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep
ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio
(filsafat) hingga menuju ketingkah yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal
Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu, yaitu wahdatul
wujud (kesatuan wujud).
Persamaan Tasawuf Ahklaki dan Tasawuf
Falsafi :
1). Merupakan cabang dari Ilmu tasawuf.
2). Tasawuf
diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’I
(tujuan-tujuan syara’), karena bertasawuf pada hakikatnya melakukan serangkaian
ibadah.
3). Sama-sama bertujuan beribadah(pendekatan
diri) kepada Allah secara murni.
4), kesemuanya itu secara esensial semuara
bermuara pada penghayatan terhadap ibadah murni (mahdhah) untuk mewujudkan
ahklak-alkarimah baik secara individu maupun sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,Roshion.Prof.dr.M.ag.2010.Akhlak
Tsawuf.Bandung.CV.Pustaka Setia.
Prof.Dr.H.M.Amin
Syukur.MA.2003.Tasawuf Konteks Problem Manusia Modern .Yogyakarta.Pustaka
Pelajar Offiset.
Dr.M.Afif
Ansori,MA.2004.Tasawuf Falsafy Seyh Hamzah Fansuri.Yogyakarta.Gelombang.Pasang.
No comments:
Post a Comment